SELUSIN tokoh asosiasi yang tergabung dalam BKS Industri Logam &
Mesin pekan lalu bersidang kilat sehari suntuk di hotel Sahid
Jaya, Jakarta. Ada apa? "Mereka masih menghadapi tekanan berat
dari barang selundupan", sahut Dirjen Industri Logam & Mesin, Ir
Suhartoyo. Sambungnya lagi: "kalau tidak ditangani
sungguh-sungguh, jelas menghambat perkembangan produksi".
Sebabnya karena smokel itu menurut ketua Gabungan Industri
Elektronika & Alat-alat Rumah Tangga, Bachtiar Jahya, "telah
membuat industri elektronika berada di ambang kehancuran".
Keadaan yang serupa juga dilaporkan oleh industri komponen accu,
sambung seorang pengusaha dari Jawa Timur.
50%
Sesungguhnya soal smokel itu laglama yang kembali hangat. Satu
dua tahun lalu masuknya barang gelap itu oleh berbagai gabungan
perusahaan sudah disampaikan kepada DPR dan instansi-instansi
pemerintah agar ditindak tegas. Namun tindak lanjut yang
diharapkan tak kunjung datang, sementara arus smokel kian
menjadi. Tahun lalu. 30%, dari seluruh barang elektronika yang
diperdagangkan berasal dari selundupan. Sekarang, menurut perk
iraan Gabungan Elektronika jumlahnya meningkat sampai sekitar
50%. Dan meliputi segala macam barang seperti radio, televisi,
tape recorder, radio kaset dan macam-macam onderdil.
Tidak hanya itu. Orang pun dengan mudah dapat membeli bola
lampu merek Tungsram, Boston, Osram dari Singapupura, lampu TL
merek Toshiba dari Jepang dan TFC dari Taiwan. Padahal lampu
pijar produksi dalam negeri baru terbatas pada 2 merek saja -
Philips Ralin dan Tri Star. Dengan kata lain merek-merek yang
disebut di atas berasal dari smokel. Anehnya, yang menjerit kena
pukulan smokel bukan hanya produsen radio, tivi dan lampu pijar
yang memang secara resmi sudah dilarang impor. Tapi juga
industri alat penyekat baterai accu (separator). Ini dikemukakan
JF Poluan, direktur PT Intryda produsen pelat separator dari
Sidoardjo.
Produksi pabrik asembling separator pertama di Indonesia ini
tengah dikeroyok separator impor buatan Bulgaria. AS, Jepang dan
Taiwan. Meskipun memang masih boleh diimpor, anehnya menurut dia
harga separator impor yang banyak dijual di Jakarta Kota itu,
"lebih murah". Bayangkan saja: 5 bulan lalu harga separator
impor maupun lokal hampir sama, yakni sekitar Rp 1 per lembar.
Kini separator impor dapat dibeli seharga Rp 15 per lembar harga
itu sangat tidak wajar, mengingat tingginya bea masuk.
Selanjutnya harga bahan baku (tepung plastik PVC) di seluruh
dunia sama, sementara upah tenaga kerja di sini lebih murah.
Jadinya Poluan beraarti mensinyalir bahwa pemasukan separator
dari luar itu dengan cara under invoice alias penyelundupan bea
masuk.
Akibat membanjirnya impor separator itu pabrik Intryda baru
mampu memproduksi 35%, dari kapasitas penuh. Padahal
diperkirakan bahwa dengan 120 karyawan kapasitas produksi penuh
Intryda sebanyak 25 juta pelat separatol setahun bisa laris
terjual. Nyatanya tidak, dan "itupun terpaksa kami jual sekedar
harga pokok", kata Poluan. Kendati demikian, anggota kelompok
Udatimex itu tidak menghendaki proteksi berlebihan seperti stop
impor yang diangapnya tidak populer. Baginya yang penting ada
hak naikkan bea masuk atas barang sejenis produksi dalam negeri
dan pengawasan atas barang-barang yang dilarang impor. Kalau
tidak, Indonesia masih akan tetap jadi sorga bagi penyelundup
dan dikhawatir kan pabrik-pabrik elektronika yang padat karya
akan gugur satu-satu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini