SEBERAPA jauh minyak RRT merupakan ancaman pasaran minyak
Indonesia di Jepang? Ini diterangkan secara panjang lebar oleh
Menteri Pertambangan DR. Sadli di depan Komisi APBN DPR
baru-baru ini. Sekalipun Sadli menegaskan bahwa ekspor minyak
RRT ke Jepang "belum mengkhawatirkan kita", dia mengakui bahwa
saham pasaran minyak Indonesia di Jepang bisa turun menjadi 14%
dari 15% sekarang ini. Dan karena pasaran minyak Timur Tengah
di Jepang tak berobah, maka ekspor minyak RRT ke Jepang, jelas
merupakan "korban kita". RRT tahun- lalu berhasil mengekspor
minyaknya ke Jepang sejumlah 4 juta ton, tapi tahun ini ekspor
ini akan mencapai 8 juta ton. Kenaikan ekspor minyak RRT yang
lipat dalam waktu setahun itu jelas akan mengancam pasaran
minyak Indonesia di Jepang.
Jepang nampaknya tak akan bisa menahan desakan RRT untuk membeli
minyaknya, kalau Jepang ingin RRT sebagai tempat bagi pasaran
barang ekspornya. Tak ada waktu di mana Jepang lebih memerlukan
pasaran RRT dari pada sekarang ini. Dalam usaha untuk melepaskan
diri dari resesi ekonomi yang mencekamnya selama ini, Jepang
memerlukan menaikkan ekspornya secara cepat. Ini kurang bisa
dicapai dengan partner dagangnya di negara industri lainnya.
Sebab mereka ini juga masih belum lepas dari resesi. Lagi pula
harga minyak Cina yang lebih rendah dari harga minyak Indonesia
tentunya akan lebih menarik para pembeli di Jepang Satu
kekurangan yang dialami RRT adalah terlalu sempitnya pelabuhan
RRT bagi kapal tangki Jepang yang datang untuk mengangkut
minyak, seperti dinyatakan Sadli. Sebaliknya Indonesia punya
pelabuhan yang cukup besar untuk menampung kapal tangki Jepang.
Memang ini satu keunggulan Indonesia. Tapi kalau RRT melihat
bahwa ekspor minyaknya ke Jepang mempunyai prospek yang
menggembirakan, bukan tak mungkin mereka akan mengeluarkan biaya
untuk memperluas pelabuhannya.
Kwalitas Jatibarang
Dalam waktu dekat mungkin pengaruh minyak Cina tak akan terasa.
Tapi masalahnya jadi lain dalam 5 atau 10 tahun mendatang.
Sesudah melakukan penyelidikan minyak Cina selama setahun, Selid
Harrison menulis dalam majalah Foreign Policy, bahwa "Peking
nampaknya akan bisa mencapai produksi minyaknya setingkat dengan
produksi Arab Saudi pada 1988 atau bahkan lebih cepat".
Kesimpuian ini antara lain didasarkan atas terus meningkat
cepatnya produksi minyak Cina akhir-akhir ini: 12 tahun lalu
produksi minyak Cina baru 44,8 juta barrel, tahun 1970 meningkat
jadi 140 juta barrel dan tahun lalu produksinya berlipat jadi
490 juta barrel. Cadangan minyak RRT diperkirakan berjumlah 50
milyar barrel, 30 milyar barrel di antaranya merupakan cadangan
lepas pantainya. Ini merupakan jumlah sedikit di bawah cadangan
Arab Saudi sekarang ini. Dan hampir 2 kali lipat cadangan minyak
laut Utara.
Bagi Indonesia, apakah minyak RRT akan merupakan ancaman atau
tidak akan tergantung dari cepatnya pertumbuhan ekonomi RRT.
Kalau pertumbuhan industri RRT berjalan cepat maka kebutuhan
akan minyak juga akan meningkat. Ini akan mengurangi kemampuan
RRT untuk mengekspor minyaknya. Dan memang kemampuan ekspor RRT
juga akan dibatasi oleh kewajiban RRT untuk membantu mengirim
minyak ke negara seperti Korea Utara, Vietnam dan Khmer. Malah
sudah ada komitmen untuk Muangthai pula.
Bagaimana pun, minyak RRT--yang dikatakan Sadli kwalitasnya sama
dengan kwalitas minyak Jatibarang, kwalitas nomor 4 di
sini--akan terus membayangi prospek ekspor minyak Indonesia.
Sekurangnya dialah salah satu penyebab berkurangnya penerimaan
minyak Indonesia, dan yang menyebabkan Menkeu Ali Wardhana
pesimis dengan realisasi penerirnaan dalam negeri APBN sekarang
ini. Dalam laporannya kepada Komisi APBN baru-baru ini, Ali
Wardhana mencatat bahwa penerimaan dalam negeri akan berkurang
dengan lebih dari Rp 100 milyar, yang memaksa pemerintah juga
mengurangi belanjanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini