Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bismillah, sebuah kerinci percobaan

Pengoperasian kapal penumpang kelas satu, k.m kerinci. banyak yang meragukan dan menganggap tidak efisien dan membawa untung. kerugian-kerugian yang diderita pelni sebagai perusahaan pelayaran. (eb)

27 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERKENALKAN, inilah Kerinci, kapal penumpang kelas satu Indonesia pertama yang dirancang dan dibuat untuk kenyamanan para pemakainya. Dengan warna perut cokelat muda, dan putih di lambung, sosok kapal motor bikinan Jerman Barat itu kelihatan menonjol di antara deretan kapal barang di pelabuhan peti kemas Tanjungpriok. Ketika di sana, 20 Agustus pagi, Presiden Soeharto secara simbolis meresmikan pemakaiannya dengan menekan tombol, kapal gagah itu memperdengarkan raungan sirenenya. Jika ratusan tamu pagi itu tampak santai dan kagum memandangi Kerinci, maka Sudharno Mustafa, direktur utama Pelni, justru kelihatan agak tegang. Di tengah keadaan manajemen yang belum begitu rapi, sebagai operator Kerinci, dia bersama stafnya sudah beberapa hari ini harus berpikir keras untuk menjual 1.596 tempat tidur di kapal itu. Disaat kini daya beli sedang menurun tajam, tentu bukan pekerjaan mudah menjajakan karcis kelas I Rp 75 ribu, kelas II Rp 57 ribu, kelas III Rp 45 ribu, kelas IV Rp 38 ribu, dan dek (ekonomi) Rp 30.500 untuk, misalnya, pelayaran Jakarta-Ujungpandang pekan ini. Untuk mengisi ruang palka Kerinci dengan muatan barang -- di tengah kelebihan suplai ruang kapal dan suasana resesi -- direksi Pelni tampaknya perlu kerja ekstra keras. Mengingat kapal itu sandar di setiap pelabuhan hanya lima jam, maka volume barang yang bisa diangkut sekali pelayaran paling banter 75 ton saja. Sementara itu pula, setiap hari kapal ukuran jumbo harapan setiap orang ini membutuhkan biaya operasi sedikitnya Rp 9 juta. Dalam situasi seperti itulah, kalangan pelayaran swasta menduga masuknya Kerinci ke jajaran Pelni justru hanya akan semakin memberatkan posisi keuangan perusahaan itu. Mereka meragukan perusahaan pelayaran negara itu, yang sedang menata diri, akan mampu mengoperasikan kapal itu secara efisien dan mendatangkan keuntungan. Anggapan semacam itu dibenarkan J.E. Habibie, Sekretaris Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, yang menyebut kapal itu sebagai proyek belajar. "Pengadaan Kerinci itu bukan hanya untuk saat ini, tapi untuk beberapa puluh tahun mendatang," katanya. Benarkah kapal ukuran Kerinci yang dibutuhkan untuk angkutan di masa depan? Suatu hasil penelitian yang dilakukan Departemen Perhubungan kabarnya membenarkan anggapan itu. Guna melayani angkutan trayek panjang (long haul) pelayaran dalam negeri, sedikitnya dibutuhkan enam kapal jenis Kerinci dalam tempo beberapa tahun mendatang. Tapi sebuah sumber menyangsikan bahwa Pelni punya kemampuan untuk mengoperasikan keenam kapal jenis itu secara komersial. "Untuk menutup kecilnya penerimaan uang pasasi, sesungguhnya kapal seperti Tampomas II yang bisa mendatangkan uang muatan barang banyak, paling menguntungkan buat dioperasikan perusahaan itu," kata sumber tadi. Lihat saja persentase perolehan Tampomas II dari uang tambang muatan dalam setiap kali pelayaran. Pada pelayaran kesembilan (5-9 Agustus 1980), misalnya, perolehan uang tambang muatan kapal itu mencapai RP 29,3 juta (30%) dari seluruh total pendapatan yang Rp 97,5 juta. Sesudah bisa menyisihkan untuk penyusutan dan cicilan utang (Rp 262,3 juta), dalam 12 kali pelayaran, kapal sial itu toh bisa mendatangkan laba kotor hampir Rp 438 juta. TAPI, untuk melayani kepentingan umum, pertimbangan komersial semacam itu tentu tak selamanya jadi pegangan pemerintah -- apalagi sampai mengesampingkan segi keamanan. Sekalipun merupakan proyek rugi, pelayaran perintis yang sejak tahun lalu dipegang Pelni, toh tetap diselenggarakan melayani angkutan penumpang dan barang, terutama di Indonesia Timur. Hingga kini, angkutan murah jenis ini juga masih diselenggarakan KM Bayan (dioperasikan Pelni Semarang), yang menghubungkan Semarang-Jepara-Karimun jawa-Kumai-Sampit-Banjarmasin. Lama pelayaran normal untuk trayek itu hanya 30 jam. Tapi karena KM Bayan sering mampir untuk cari muatan tambahan, jarak sependek itu, masya Allah, harus ditempuh tujuh hari tujuh malam. Karena itulah jadwal tiba dan bertolak si perintis jadi sering meleset. Sumartini dari Jakarta, misalnya, yang berniat menjenguk mertuanya yang sakit di Sampit, sudah tiga hari tiga malam tidur menggelandang di geladak kapal itu dengan selembar tikar. Penumpang papa ini harus membayar tiket dek resmi Rp 6.105 dengan harga Rp 10 ribu. Kendati daya angkut cuma 40 orang, KM Bayan dengan bobot mati 200 ton itu toh sering juga dijejali sampai 80 penumpang. Kelebihan daya angkut yang melanggar ketentuan itu kabarnya diatur syahbandar. "Kami mau menolak nggak enak, takut retak hubungan dengan syahbandar," ujar Suhadi Winata, 42 tahun, nakoda kapal itu. Alhamdulillah sampai pekan lalu kapal ltu masih tetap sehat. Si lemah macam Sumartini ini jumlahnya ratusan ribu. Mereka inilah yang sesungguhnya membutuhkan banyak ruang kapal berharga murah, sesuai dengan kemampuan kantung. Ratusan orang kelompok ini setiap hari kelihatan hampir selalu memadati Pelabuhan Kalimas, Tanjungperak, Surabaya, tempat ratusan Kapal Motor (KM), dan Perahu Layar Motor (PLM) lego jangkar. Kendati menurut ketentuan, PLM dan KM barang itu tak boleh mengangkut penumpang sama sekali, atas dispensasi syahbandar, penumpang toh bisa naik ke situ. Jika peralatan di sebuah KM lengkap dan cuaca cukup baik, "izin syahbandar maksimal bisa diberikan untuk 12 penumpang," kata Zainal, Hubungan Masyarakat Badan Pengusahaan Pelabuhan Tanjungperak. Tapi Saiff Bakham dari TEMPO justru menemukan kenyataan sebaliknya ketika naik KM Bimas Jaya ke Banjarmasin. Kapal barang ukuran sekitar 8 m x 30 m itu, yang sudah sarat dimuati 100 motor, empat mobil, dan pelbagai barang kelontong, ternyata dijejali sampai 30 penumpang pemegang karcis hanya 19 penumpang yang membayar Rp 19 ribu per orang. Mereka berserakan di lorong kamar mesin, di geladak, buritan, dan di sela-sela sekoci penyelamat. Oknum petugas yang memeriksa kapal itu sebelum angkat jangkar, pura-pura tak memergoki pelanggaran tadi. Bahkan, ketika Bimas Jaya melewati gardu syahbandar di mulut Kalimas menjelang tengah malam, ada lagi titipan delapan penumpang dari situ. Cerita pilu pun sering terdengar dari penumpang kapal barang kelas ini. Sejumlah 12 penumpang Bimas Jaya, misalnya, sebelum naik kapal itu sesungguhnya adalah penumpang Bintang XXIII. Mereka dipindahkan ke situ karena Bintang XXIII mati mesin di perairan Laut Jawa. Selama seminggu kapal barang itu terombang-ambing di laut. Dua kapal barang serupa yang berpapasan dengan Bintang XXIII, mungkin karena sudah sarat muatan, tak mau mengulurkan pertolongan. "Kain jarik dan ember plastik merah sudah kami lambaikan, toh kedua kapal itu tak mau menghampiri," cerita seorang ibu. Dalam keadaan seperti itu, koki kapal tega juga menjual sekepal nasi dengan harga Rp 300 kepada penumpangnya. Untung KM Eska cepat datang memberi pertolongan. Tentu saja tidak semua penumpang kapal punya nasib baik sepetti itu. Belum lama ini ke dasar Laut Jawa, misalnya, telah terkirimkan tubuh PLM Sumber yang, percayalah, menurut kalangan nakoda, dimuati 200 penumpang lebih. Sejumlah 95 penumpang bisa diselamatkan dari neraka itu. Sedang yang tewas, demikian sumber resmi, tercatat tiga penumpang. Belum jelas benar bagaimana nasib para penumpang gelap yang biasanya tak membawa identitas diri itu. Korban tampaknya masih akan ada jika dilihat dari Kalimas itu -- setiap hari dari sana diberangkatkan 15 PLM ke pelbagai tujuan dengan muatan barang dan penumpang. Kebobrokan sistem angkutan penumpang dan barang semacam itu telah dikritik Bank Dunia. Dalam sebuah laporan tebal kepada negara-negara donor menjelang sedang IGGI Juni lalu, lembaga keuangan itu mengungkapkan, "armada pelayaran dan fasilitas pelabuhan di sini hanya bisa mengakomodasi 15% kenaikan permintaan dalam beberapa tahun terakhir." Anggapan semacam itu tentu sulit dibantah. Melihat gejala di Kalimas dan Semarang, bisa dipastikan permintaan angkutan trayek pendek mendesak disediakan. Campur tangan pemerintah, sekalipun harus dengan subsidi cukup besar, tampaknya diperlukan di sini. Tak jelas benar mengapa pemerintah belum menyediakan sarana angkutan memadai untuk golongan ini sekalipun korban sudah jatuh cukup banyak. Suatu survei mengenai tingkat ekonomi penumpang, yang kelak akan menentukan terhadap penyediaan jenis kapal dan penetapan tarif tempat tidur, tentu diperlukan pula. Namun berdasar pengalaman Pelni selama ini, menurut Direktur Utama Sudharno Mustafa, para penumpang kapalnya sebagian besar datang dari kelompok masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. Bertolak dari kenyataan itulah, fasilitas di KM Tampomas I, misalya, sebagian besar ditujukan untuk kelompok ini dengan menyediakan dek yang bisa memuat 1.500 penumpang lebih. Karcisnya pun murah, Rp 27 ribu untuk Jakarta-Medan. Sedang fasilitas kelas di kapal itu hanya disediakan bagi 143 penumpang saja. Tapi dengan alasan pemerintah kini, "berusaha memberikan pelayanan lebih manusiawi," situasi pengaturan fasilitas di Tampomas I itu kini dijungkirbalikkan di Kerinci. Di kapal berkarpet dan ber-AC itu, dek hanya disediakan untuk 500 orang, sedangkan kelas untuk 1.096 orang. Tarif kelas I-nya, menurut Sudharno, ditetapkan sekitar 60-70% dari tarif penerbangan jet Garuda. Untuk pelayaran Jakarta-Ujungpandang, misalnya, harga tempat tidur kelas I di Kerinci itu Rp 75 ribu (64,7% dari harga tiket Garuda yang Rp 115.800). "Jika harga karcis kelas I Kerinci itu sama dengan Garuda, angkutan kapal itu jadi sulit bersaing dong," ujar Sudharno. Menghadapi saingan kuat semacam itu, Pelni tentu saja sulit bisa memperoleh keuntungan jika sebagian besar ruang kapalnya dijual untuk angkutan penumpang -- mengingat pendapatan uang pasasi rata-rata belum mencukupi. Karena itulah, dalam upaya menutup biaya pengeluaran, setiap kapal dari perusahaan itu mengangkut pula muatan barang dalam jumlah besar. Pendapatan uang tambang muatan ini, menurut Husseyn Umar, bekas direktur utama Pelni, setiap tahun cukup tinggi. Pada 1980, misalnya, pendapatan dari muatan barang ini mencapai Rp 17,3 milyar (64% dari total pendapatan Rp 27,2 milyar). Upaya menjual tempat tidur, melalui suatu jaringan pemasaran yang baik, hingga kini belum kelihatan dilakukan oleh Pelni. Informasi mengenai jadwal keberangkatan Tampomas I (Jakarta-Medan pp), dan di mana orang harus beli tiketnya, misalnya, sangat sulit diperoleh. James R. Lapian dari TEMPO, yang berniat membeli tiket kelas I Tampomas I di kantor pusat penjualan Pelni, Jalan Bungur Besar (Jakarta), bahkan sempat kecele ketika tahu telah salah antre. Tak ada petunjuk apa pun di loket untuk dek itu, kecuali mengenai berat barang bawaan yang diperbolehkan dan keharusan menyerahkan fotokopi surat jalan atau tanda identitas diri. Di loket untuk penumpang kelas pun tak ada pemberitahuan mengenai harga tiket. Karena tiket untuk semua jurusan dijual di satu tempat, suasana antrean di loket kelas itu tak ubahnya bagaikan pasar ayam. Dibandingkan dengan loket penjualan tiket kereta api di Gambir (Jakarta), misalnya, pelayanan di situ jelas terlampau jelek. Seorang calon penumpang kapal KM Bayan di Semarang bahkan mengaku "lebih mudah membeli tiket di atas kapal" dibandingkan jika harus antre di kantor Pelni. "Nanti awak kapal akan mengatur segalanya," katanya. Suasana kacau seperti itu, tentu saja tak tampak di pelbagai biro perjalanan, yang mengageni penjualan tiket kapal Pelni. Kendati demikian, pembelian tiket di Kostour (Jakarta), misalnya, hanya diberikan untuk dek (60 tiket Tampomas, dan 15 tiket KM Sapudi yang melayari Jakarta-Ujungpandang) -- dan tak melayani pemesanan tempat. Baru untuk Kerinci kali inilah, biro perjalanan itu memperoleh jatah menjual 42 tiket kelas, dan 20 dek. Tapi untuk memperoleh komisi 2-4% itu saja, Kostour harus menjalani prosedur cukup melelahkan. Jatah tiket baru bisa diberikan -- empat hari sebelum kapal bersangkutan angkat jangkar -- sesudah biro perjalanan ini menyerahkan hasil penjualan tiket sebelumnya. Beberapa saat sebelum kapal berlayar, Kostour harus menyerahkan pula daftar penumpang rangkap 16 kepada pelbagai pihak yang berkepentingan dengan soal itu. Seperti diharuskan Pelni, perusahaan ini pun wajib meminta calon penumpangnya menyerahkan fotokopi tanda bukti diri, sesudah banyak korban Tampomas II kemarin tak diketahui identitasnya. "Garuda tak menuntut hal semacam itu, mengherankan Pelni minta segala macam," kata Ludin Sianipar, direktur utama Kostour. Betapa pun demikian, pelayanan terhadap calon penumpang kapal Pelni masih lebih baik jika dibandingkan dengan pengalaman lima anak muda yang akan naik KM Bimas Jaya dari Kalimas. Herry, 21 tahun, yang gagal ujian masuk UI, terpaksa menyamar sebagai awak kapal -- badan dilumur oli, tanpa alas kaki, dan hanya pakai celana pendek kumal. Kendati sudah membayar Rp 19 ribu untuk pelayaran ke Banjarmasin, Herry masih harus membayar statusnya sebagai penumpang gelap dengan penyamaran mengelikan itu. Di kapal sekecil Bimas Jaya itu gempuran gelombang dengan mudahnya memabukkan para penumpangnya dan mengirimkan mereka ke alam mimpi selama perjalanan. Tidak demikian dengan penumpang dek Tampomas I. Sekalipun sudah bayar Rp 27 ribu, dan tambahan Rp 5.000 untuk memperoleh kapling di situ, kenyamanan mereka toh sering terganggu oleh para penjaja koran dan makanan (saat akan bertolak dari Priok), serta inang-inang penjual barang kelontong (ketika lego jangkar di Tanjungpinang). Di geladak itulah, para inang-inang yang berhasilmemanjat perut kapal dengan tangga tali, menjajakan pelbagai barang "made in Singapore". Tidak seperti penumpang yang memperoleh makanan diantar ke kamar, para penumpang dek ini harus antre membawa tempat makanan sendiri untuk mendapat jatah makan mereka. Dan siapa mengira jika kapal yang sudah lazim digunakan untuk operasi copet itu, pernah pula digunakan oleh seorang penumpang untuk memperkosa seorang wanita. Di depan loket pasasi, foto oknum pemerkosa dan dua pencopet itu dipasang besar-besar. Apa pun dalihnya, kesemrawutan di Bimas Jaya dan Tampomas I itu seolah mencerminkan kehidupan dunia pelayaran yang compang-camping. Selain dililit ketidakbecusan menjual ruang kapal yang menyebabkan biaya pengapalan jadi mahal, demikian menurut Bank Dunia, pelbagai perusahaan pelayaran pada umumnya dikelola "oleh orang-orang yang tidak berpengalaman". Sistem pengaturan alokasi kapal pada suatu trayek, dan penetapan tarif jasa muatan barang pun, kata sebuah sumber, ternyata tidak diawasi oleh aparat perhubungan laut. Buktinya, demikian sumber itu, trayek Jakarta-Belawan yang seharusnya hanya boleh ditempati 19 kapal barang hari-hari ini diperkirakan dijalani oleh 30 kapal. Suplai ruangan kapal di trayek itu sekarang sudah mencapai 70 ribu ton, padahal muatan di trayek itu paling banter hanya 35 ribu ton. Akibat kelebihan suplai ruang itu sudah dirasakan pihak Pelni dan pelbagai perusahaan pelayaran. Ongkos muatan barang sembilan kebutuhan pokok yang tarif standarnya Rp 9.500, misalnya, telah anjlok jadi Rp 3.000 per ton. Di trayek Jakarta-Medan ini, perusahaan pelayaran itu harus pula bersaing dengan angkutan darat yang cepat memberikan pelayanan tanpa prosedur berbelit, sekalipun tarifnya Rp 100 ribu per ton. Untuk muatan kapal, pemilik barang tak bisa secara langsung memunggahkannya ke palka. Di sini barang harus melewati beberapa pintu jasa pelayanan, dan harus dilengkapi dengan dokumen AVI (Surat Pemberitahuan Muatan), yang harus pula dibubuhi sembilan tanda tangan pejabat kepelabuhanan. "Untuk mengangkut ikan asin saja perlu dokumen banyak," ujar Gutomo, Direktur Operasi Pelni. Kerunyaman dalam memperoleh muatan barang itu semakin bertambah manakala puluhan industri kuat juga ikut memiliki kapal sendiri. Jumlah kapal milik industri ini 113 buah (bobot mati 63 ribu ton), atau 26% dari seluruh armada Regular Liner Service (RLS) Nusantara yang berkekuatan total 436 kapal (560 ribu ton). Jika sebelum itu pengiriman barang selalu diserahkan kepada para pemilik kapal, kini mereka bisa melakukannya sendiri. Pelni, yang kini hanya menempatkan 47 kapal (81 ribu ton, atau hanya 14,4% dari kekuatan RLS), sudah merasakan tekanan kapal industri itu secara langsung. "Kalau soal perizinan tidak diatur, banyak perusahaan pelayaran murni akan rontok," ujar Sudharno Mustafa. Dalam situasi serba runyam itu, permintaan akan pengadaan kapal bekas maupun baru lewat fasilitas sewa beli maupun angsuran ke PT PANN ternyata masih besar juga. Sudah 73 kapal barang dan penumpang dimasukkan dengan uluran lembaga keuangan nonbank yang memetik bunga 10% untuk 17 perusahaan pelayaran di sini. "Resesi ternyata tidak mempengaruhi permintaan akan pengadaan kapal," ujar Azril Nazahar, direktur utama PANN. Bahkan perusahaan pelayaran semacam PT Pelayaran Persatuan Nasional, Juli lalu masih berani meluncurkan kapal barangnya yang berbobot mati 1.000 ton. Sekalipun menguntungkan, Gono Tirtowidjojo, direktur perusahaan itu, tak suka melengkapi armadanya yang kini berkekuatan enam kapal (10,3 ribu ton) dengan kapal sewaan. "Bagi saya cara menyewa bukanlah usaha, tapi calo," kata pengusaha berusia 60 tahun ini. Kalau tingkat pengisian ruang kapalnya rata-rata 60%, "biaya pembuatan kapal baru itu (Rp 800 juta) akan kembali dalam tempo 7-8 tahun," katanya. Berapa sebenarnya kebutuhan kapal barang dan penumpang untuk pelayaran Nusantara? Tak jelas benar. Kalangan pelayaran banyak yang beranggapan bahwa suplai ruang kapal di banyak trayek kini sudah berlebihan, sementara di trayek lain (Indonesia Timur) masih kurang. "Diperlukan penataan kembali rencana perkapalan Nusantara," ujar Sudharno. Dengan penataan itu, kata sebuah sumber, peristiwa mubazirnya kapal penumpang semacam jetfoil, "insya Allah, tidak akan terulang lagi." Bima Samudera I, kapal bikinan Boeing Amerika yang diageni Pelni itu, ternyata dianggap tidak ekonomis jika dioperasikan, karena memakan banyak bahan bakar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus