Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Petral Menggugat Credit Suisse
Pertamina Trading Limited (Petral) akan meng-gugat Bank Credit Suisse di Singapura untuk mengganti deposito mereka US$ 8,2 juta (Rp 69,7 miliar) yang "lenyap" di bank tersebut.
Direktur Utama Petral, Ari H. Soemarno, seperti dikutip Reuters, menuding bank asal Swiss tersebut gagal men- jalankan fungsinya.
Kisah raibnya deposito Petral ini memang masih belum tersibak seluruhnya. Direktur Utama Pertamina, Ariffi Nawawi, pernah menyebut kasus ini terkait dengan kontrak jual-beli berjangka minyak mentah dengan sebuah perusahaan di Singapura.
Dari keterangan berbagai sumber di Pertamina, Koran Tempo memuat versi lain mengenai pembobolan deposito Petral. Kisah itu bermula dari kerja sama antara Petral dan Risk Asia pada Februari tahun lalu.
Sebulan kemudian, kongsi dua perusahaan itu menga- jukan permohonan kredit ke Credit Suisse dengan jaminan deposito Petral. Credit Suisse kemudian mencairkan pinjaman itu, dan ditransfer ke rekening milik Risk Asia pada April 2002. Belakangan, kredit itu macet sehingga deposito Petral pun tersita.
Bau keterlibatan orang dalam Petral terendus keras dalam kasus ini. Tak mengherankan jika Alkomar, kepala internal audit Pertamina, menyebut bahwa perusahaan berlogo kuda laut ini tidak hanya akan me-nuntut Credit Suisse, tapi juga para oknum yang terkait.
Perusahaan Baru untuk BPPN Komite Kebijakan Sektor Keuangan menyetujui pembentukan perusahaan induk untuk menampung aset-aset milik Badan Pe-nyehatan Perbankan Nasional (BPPN) setelah dibubarkan. Seperti telah diketahui secara luas, BPPN pernah mengajukan gagasan untuk mendirikan tiga perusahaan induk, yang masing-masing mengelola aset properti, aset berupa saham bank, dan aset kredit yang tersisa. Kepala BPPN, Syafruddin Temenggung, mengungkapkan bahwa perusahaan induk itu nantinya akan berada di bawah pengelolaan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara. Namun, badan hukum perusahaan induk tersebut masih belum ditetapkan apakah menjadi perusahaan negara atau anak perusahaan dari BUMN yang kini telah ada. Kendati BPPN menargetkan pengalihan aset tersebut dapat tuntas pada pertengahan Januari mendatang, beberapa hal teknis yang menyangkut pengalihan dan penilaian aset masih belum jelas betul. Syafruddin hanya menyebut bahwa modal perusahaan induk tersebut akan bersifat penyertaan modal sementara dari pemerintah. Beberapa aset kredit yang hingga kini diketahui masih tersisa di buku BPPN adalah Grup Texmaco (dengan nilai buku Rp 27 triliun), PT Dirgantara Indonesia (Rp 2 triliun), Bakrie Nirwana Resort (Rp 2 triliun), Grup Tirtamas (Rp 3 triliun). Sementara itu, aset dalam bentuk saham di bank nasional yang masih digenggam BPPN adalah saham PT Bank Lippo Tbk. (52,05 persen), PT Bank Permata (97,70 persen), dan PT Bank Internasional Indonesia Tbk. (22,7 persen).
Medco Mengakuisisi Novus Medco Energy Pty. Ltd. (Australia) Senin pekan lalu mengajukan rencana pembelian 100 persen saham Novus Petroleum Limited. Anak perusahaan PT Medco Energy International itu membeli saham perusahaan minyak asal Australia itu seharga Aus$ 1,74 per lembar. Direktur Utama Medco Energi, Hilmi Panigoro, menyebut pembelian senilai Aus$ 326,5 juta (Rp 2,04 triliun) akan dilunasi secara tunai. Sebagai perusahaan minyak yang bergerak di sektor eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi, Novus memiliki 26 blok minyak yang tersebar di Indonesia, Australia, Amerika Serikat, Oman, Emirat Arab, Filipina, dan Pakistan. Di Indonesia, Novus menguasai saham 25 persen di blok Kakap dan 50 persen di blok Brantas. Akuisisi ini penting bagi Grup Medco karena dengan demikian mereka dapat menguasai dua blok itu.
Utang Terakhir dari IMF Dana Moneter Internasional (IMF) mengumumkan pencairan pinjaman sebesar US$ 505 juta (Rp 4,29 triliun) bagi Indonesia, pada Jumat (19 Desember) waktu Washington, AS Pinjaman ini merupakan pencairan tahap terakhir dari paket bantuan keuangan IMF untuk Indonesia dengan nilai total US$ 5,3 miliar (Rp 45,05 triliun). Pinjaman tahap terakhir ini dicairkan setelah IMF memberi nilai positif atas ekonomi Indonesia. Kebijakan fiskal Indonesia dinilai kian baik, dengan adanya reformasi di sektor pajak dan bea cukai. IMF tak lupa menyorot stabilitas moneter Indonesia, yang tecermin dari antengnya nilai tukar rupiah dan merosotnya suku bunga perbankan. Dengan kian mantapnya berbagai indikator makro itu, Deputi Direktur Pe- laksana IMF, Shigemitsu Sugisaki, menyarankan agar Indonesia memprioritaskan bantuan tahap terakhir untuk memulihkan sektor investasi. Mengingat Indonesia akan mencicil utang sesuai dengan jadwal normal, pada tahun mendatang Indonesia harus mengikuti masa post-program monitoring IMF.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo