Apa yang membedakan antara meminjam uang di bank konvensional dan di bank syariah? Jika pertanyaan itu dilontarkan pada Asep Solichin, 35 tahun, dia akan menjawab, "Para petugas bank syariah tak pernah menanyakan fee dari uang yang akan dipinjam."
Jangankan meminta uang pelicin atau suap, "Saya kirimi parsel saat Lebaran saja mereka ragu-ragu menerimanya. Mungkin takut itu termasuk suap yang diharamkan," kata Asep, Direktur Utama PT Sofani Mitra Usaha, yang sejak setahun lalu mendapat pembiayaan untuk bisnis produksi garmen dari Bank Muamalat Cabang Slipi sebesar Rp 300 juta.
Kelebihan bank syariah yang lain adalah kemudahan proses mengurus kredit (dalam sistem syariah, lebih umum disebut pembiayaan atau financing—Red). Ia tak perlu repot menyediakan jaminan yang terlalu besar. "Yang penting, bisnisnya jelas dan berprospek."
Duit Rp 300 juta dari Bank Muamalat itu digunakannya sebagai modal membeli bahan-bahan pembuat sweater yang akan diekspor ke Jerman dan beberapa negara Eropa lain atas pesanan pemilik merek terkenal "Esprit". Jumlahnya rata-rata 12 ribu potong per bulan. "Saya juga memasok potongan-potongan setengah jadi untuk jaket dan sebagainya."
Dari kegiatan produksinya, Asep mengaku mampu mendapat keuntungan rata-rata 20 persen. Nah, angka itulah yang menjadi dasar pembagian hasil dengan bank. "Saya harus membaginya 18 persen untuk bank."
Angka 18 persen itu relatif tak berbeda dengan bunga pinjaman yang dipatok bank konvensional. Yang berbeda, kata Asep, di bank syariah, dirinya tak harus membayar setiap bulan, tapi empat bulan sekali. "Saya baru akan bayar jika hasilnya sudah ada. Dan karena ini ekspor, uang baru kembali dalam empat bulan itu," tutur pengusaha yang berbisnis di Pasar Kemis, Tangerang, itu.
Selain itu, besarnya porsi bagi hasil tidak sama untuk setiap pembiayaan, tergantung jenis usahanya. "Kami bisa negosiasikan. Kalau margin lebih kecil, bagi hasilnya juga bisa dikurangi. Di bank biasa, mana bisa begitu."
Y. Tomi Aryanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini