Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Politik Panggung, Panggung Politik

28 Desember 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

The stage is like a cage of light. People are no longer afraid of you—there are the ones out in the dark, watching.

Gerald Depardieu


Tiba-tiba saja banyak tokoh merasa perlu berbenah diri.

Wajah, pengucapan, tubuh, hingga isi batok kepala. Tiba-tiba saja mereka merasa gelisah dengan penampilannya yang terlalu "biasa" bagi seorang calon presiden. Surya Paloh merapikan dasinya, meluncur ke sauna, mencuci rambut di salon, lalu terbang dengan pesawat pribadi. Amien Rais mencukur kumis dan jenggotnya agar kelihatan kelimis, lalu bersalaman dengan orang banyak, menuju ring tinju atau perkumpulan para santri. Abdurrahman Wahid tak bersolek, tapi ia tahu bagaimana harus mendudukkan diri di hadapan para pendukungnya: membiarkan tangannya dikecup orang, berselonjor kaki di sofa ketika berbicara dengan pencintanya yang duduk di lantai. Demikian juga para calon yang lain: Wiranto, Akbar Tandjung, Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie....

Pemilihan presiden langsung 2004 memang mengubah banyak hal. Politik bukan cuma lobi dan kasak-kusuk di ruang tertutup atau strategi memenangkan partai—sebuah kumpulan orang ramai. Politik adalah juga teknik menjaga citra diri.

Maka, sesuatu yang komunal kini berubah menjadi personal. Memenangkan Golkar, misalnya, kini menjadi satu hal yang tak terpisah dengan menjaga citra para calon presiden partai itu.

Tahun 2004 akan menjadi panggung politik yang semarak. Yang bergincu akan naik panggung. Yang menyasak rambut akan memenuhi layar televisi. Tentu saja mereka memiliki ide politik. Tapi semua harus dibungkus kertas kado.

Politik panggung, panggung politik: semua adalah sangkar cahaya. Lalu, seperti kata aktor Prancis Gerald Depardieu, orang-orang yang berdiri di luar, dalam gelap, akan menonton. Mereka: calon pemilih yang perhatiannya kini sedang habis-habisan diperebutkan para aktor.

Amien Rais
Setapak Pertama Menuju Istana

Di atas ring tinju, dia tidak meninju lawan politiknya, tapi membantu memasangkan sarung tinju. Amien Rais, salah satu warga Indonesia yang sudah berani mencalonkan diri sebagai presiden pada masa Orde Baru, kini tengah sibuk berkeliling memperkenalkan dirinya. Doktor ilmu politik dari Universitas Chicago, Amerika Serikat, itu tampak menikmati pertandingan tinju yang disiarkan langsung sebuah stasiun televisi swasta dan ikut sibuk memasangkan sabuk gelar juara.

Di sela kesibukannya membuat wajahnya bersinar dengan bercukur rutin, mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu berani "bergerilya" menembus daerah "tapal kuda" yang menjadi basis Partai Kebangkitan Bangsa, yakni beberapa pesantren di Jawa Timur.

Di Jakarta, dia bersedia diundang ke berbagai media, termasuk majalah ini, untuk membeberkan platformnya. Belum tentu ia terpilih. Bisa saja ia terpilih. Tapi ia mencoba melakukan apa yang harus dilakukannya: berjalan setapak demi setapak agar wajah dan pemikirannya dikenal rakyat.

Surya Paloh
Calon Presiden dengan Luapan Harum

Wajah, sorot mata, dan wewangi tubuh menjadi seluruh perangkat penting bagi Surya Paloh. Bukan hanya karena dia pengusaha flamboyan pemilik Metro TV, harian Media Indonesia, Hotel Sheraton Media, tetapi juga karena dia mencalonkan diri sebagai presiden negeri ini.

Tidak aneh jika wartawan TEMPO Jobpie Sugiharto dan fotografer Rully Kesuma bukan hanya mengikuti kegiatannya bertemu dengan banyak orang; mereka juga bertemu dengan berbagai perangkat yang sungguh penting untuk penampilan tubuh: sauna, creambath, cermin, dasi dan segenap wewangian yang pasti meruapkan cuping hidung wanita.

Di Uluwatu Spa, Hotel Intercontinental Resort, Bali, kedua wartawan TEMPO ini ikut nyemplung untuk mengetahui kebiasaan sang "Abang" bersauna. "Cepat, dong, Abang kedinginan, nih," ujar Surya Dharma Paloh, 52 tahun, kepada Rully Kesuma, yang sibuk merekam setiap gerak-geriknya.

Tanpa beban Surya mengikuti keinginan TEMPO agar berfoto sambil sauna—di dalam ruang lapis kayu berhawa panas oleh kobaran batu bara. Walau tubuh hanya ditutup selembar cawat kertas berwarna biru tua cap Uluwatu, ia tak jengah bergaya.

Memanjakan tubuh dengan spa sudah menjadi "ritual" rutin yang dilakoninya 3 kali seminggu, antara lain di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta, atau jika sedang di Bali, ia akan mampir ke Intercontinental Resort, miliknya. Tapi urusan berendam dan sauna tak lengkap kalau tak berlanjut dengan pijat. "Mau foto Abang lagi pijat?" katanya menawarkan. Sayang, acara pijat-memijat gagal karena pengurus Partai Golkar di Bali harus ditemui saat itu juga.

Selesai? Belum. Setelah memanjakan tubuh, Surya merasa perlu menjaga penampilannya dengan cuci rambut. Ia diladeni dua orang pegawai salon.

Flamboyan adalah nama tengah Surya Paloh. Pengusaha yang memiliki pesawat dengan 15 kursi bekas milik Ratu Inggris ini mungkin calon presiden yang paling bermodal dan paling wangi. Perjalanan mencari dukungan ke daerah-daerah—dalam rangka Konvensi Nasional Partai Golkar—tak perlu lagi dipusingkan dengan keterlambatan jadwal penerbangan komersial. "Apa yang membuat saya lebih rendah dari calon lain?" tanyanya kepada TEMPO.

Akbar Tandjung
Akbar, yang Masih Bertahan

Seperti yang disarankan namanya, dia "akbar" paling tidak karena mampu bertahan sebagai politikus paling tangguh di negeri ini; tak peduli dengan berbagai atribut negatif yang tersandang: tersangka, terpidana, dan seterusnya. Itu semua bisa menjadi sebuah "sejarah" belaka; atau sekadar dongeng pada cucu-cucunya.

Ruang kerjanya—dia masih menjabat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat—selalu saja sesak dengan para kolega yang telah, sedang, dan akan makan siang. Semua boleh mengambil apa saja, makan kapan saja, di mana saja. Di meja, ada kumpulan seafood. Juga gulai kepala ikan kakap merah, bakwan udang, udang pedas ditambah tahu, tempe, dan sayur gado-gado. Dan fotografer Fernandez Hutagalung merekam semua kegiatan itu.

Terminologi "Buloggate", Golkar, dan seterusnya itu hanya masa lalu yang tak punya arti. Tulisan dan catatan pengadilan silakan menjadi kenang-kenangan. Saat ini, Akbar masih terus didatangi oleh mereka yang banyak berharap padanya untuk masuk dalam lingkarannya. Karena dia saat ini adalah Akbar.

Abdurrahman Wahid
Melangkah Tetap dengan Tongkat dan Tekad

Matahari masih tertidur nyenyak ketika Abdurrahman Wahid sudah mulai meniupkan kehidupan di rumahnya di Ciganjur. Pukul empat pagi! Maka fotografer Tempo News Room ikut terbangun dan mulai beringsut mengikuti sang mantan presiden, yang duduk di sofa panjang dengan celana pendek. Ia menuangkan idenya untuk sebuah kolom di harian ternama di Indonesia. Ketika terdengar bunyi "klak-klik" rekaman fotonya, Gus Dur—demikian panggilannya—bertanya, "Sapa kuwi?" "Tirta, Gus! Mau motret," jawab Santirta, setengah menguap. "Oh ya, ya, silakan," jawab Gus Dur.

Dua jam kemudian, tamu sudah berdatangan. Diawali dengan ciuman tangan, para tamu meminta doa restu, ada yang meminta petunjuk, ada yang meminta dana pembangunan pesantren, dan diakhiri dengan keberangkatan Gus Dur menuju kantor PB Nahdlatul Ulama pada pukul 08.00. Dan seharian itu diisi dengan kesibukannya menerima berbagai tamu yang memenuhi ruang tunggu.

Senja sudah datang. Rombongan Gus Dur meluncur lagi ke sebuah wihara di kawasan Ancol untuk bertemu dengan 300 biksu yang sengaja mengundang beliau sebagai tamu kehormatan dalam acara makan malam bersama umat Buddha yang lain. Meja sudah disediakan untuknya di antara para pemimpin umat Buddha dari Thailand, Cina, dan India. Semua memberikan penghormatan kepadanya, bagaikan menghormati tamu agung yang patut untuk diagungkan. Tubuhnya mulai rontok, tapi Gus Dur tampak masih kuat melanjutkan kegiatannya. Dengan tongkat, dengan kacamata, dan dengan segenap kekuatan pikiran, Gus Dur masih menggenggam sejumlah kekuatan dan keinginan. Memimpin negeri ini (kembali).

Ketika malam mulai turun, Abdurrahman Wahid beserta rombongannya menutup hari dengan denting gamelan wayang kulit yang mengiring telinga di Ciganjur. Meski bunyi gamelan itu datang dari sebuah tape recorder mobil, irama itu telah cukup membuai mantan presiden ini untuk tertidur. Sebuah hari sudah selesai untuk sang Gus.

Jusuf Kalla
Bersama Kalla ke Ufuk Timur

Bersama deru angin, pesawat Fokker 28 miliknya mengangkat seorang Jusuf Kalla dan segumpal tekad baja. Dia menuju Makassar, Ternate, dan Palu tidak hanya untuk mengurus soal pengungsi dan kesejahteraan rakyat, tapi sekaligus mempersiapkan diri untuk menjadi calon presiden.

Untuk bangun pukul empat pagi dan mengikuti gerak cepat Jusuf Kalla, fotografer Fernandez Hutagalung kemudian ikut terbang ke timur. Di kota-kota itu, kameranya kemudian merekam semua langkahnya yang cepat, caranya menggertak, dan gayanya berpidato yang berapi-api.

Di timur Indonesia, dia dielu-elukan bak selebriti. Dengan kemeja tanpa dasi dan lengan kemeja digulung, dia siap bekerja. Di tempat yang formal dengan lingkungan berdasi atau di antara pengungsi yang mengadukan nasib mereka.

Keesokan harinya, matahari di Makassar baru saja muncul. Jusuf Kalla sudah tiba di ruang tunggu VIP Bandar Udara Hasanuddin, menunggu rombongan datang dan berangkat pulang ke Jakarta. Dalam cuaca yang tidak berkawan, Fokker 28 melaju dan ketegangan di dalam pesawat sering muncul setiap bertabrakan dengan awan. Saat roda pesawat menyatu dengan landasan Halim, seorang Jusuf Kalla bertepuk tangan girang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum