Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak punya duit resah. Dibayangi duit berlimpah bingung. Begitulah suasana hati para pengelola bank syariah belakangan ini. Dulu mereka kerap mengeluhkan minimnya dana pihak ketiga yang mengalir ke bank yang mengharamkan bunga ini. Menurut data Bank Indonesia, bank syariah memang baru menyerap 0,6 persen dari total Rp 800 triliun dana pihak ketiga di perbankan. Itu berarti cuma sekitar Rp 4,8 triliun duit masyarakat yang ada di bank syariah.
Jumlah dana yang cekak itu ditaksir bakal membengkak setelah terbitnya "fatwa" tentang haramnya bunga bank yang dikeluarkan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dua pekan lalu. Adalah Endang Kurnia Saputra, peneliti dari Direktorat Penelitian dan Pengaturan Bank, Bank Indonesia, yang mensinyalir hal tersebut. Menurut simulasi yang ia lakukan, tahun depan akan ada gerojokan Rp 88 triliun dana masyarakat yang hijrah dari bank konvensional ke bank syariah gara-gara "fatwa" itu.
Menghadapi bayangan banjir dana dadakan itu, kini giliran para pengelola bank syariah yang ngeper sendiri. "Angka itu rasanya terlalu tinggi," kata Wahyu Dwi Agung, Ketua Umum Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo).
Menurut hitungan Wahyu, dalam empat bulan pertama 2004, dana pihak ketiga di perbankan konvensional yang akan pindah ke sistem syariah paling banyak sekitar Rp 15,5 triliun. Rinciannya, dana perseorangan yang hijrah Rp 5 triliun, dana Bank Tugu yang beralih menjadi Bank Syariah Indonesia Rp 5,5 triliun, dan pertambahan dana akibat langkah bank besar yang ramai-ramai membuka cabang syariah Rp 5 triliun.
Wahyu mengaku pihak bank syariah akan kesulitan bila harus menyalurkan dana Rp 88 triliun, terlebih bila datang seketika laksana air bah. Selama ini, kemampuan bank syariah dalam menyalurkan dana memang cukup fantastis bila dibandingkan dengan bank konvensional. Rasio pembiayaan bank syariah, yang dikenal sebagai financing to deposit ratio (FDR), mencapai kisaran 110 persen—jauh di atas rata-rata rasio kredit (loan to deposit ratio/LDR) bank konvensional, yang cuma 40 persen.
Namun dana itu disalurkan secara berangsur-angsur dan sebagian besar berbentuk pembiayaan murabahah (jual-beli barang dengan harga yang dinaikkan). Jelas pembiayaan jenis ini tak banyak mendorong bergeraknya sektor riil.
Menurut data, porsi murabahah, yang biasanya berupa pembiayaan untuk pembelian kendaraan bermotor, saat ini mencapai 72,2 persen. Sedangkan pembiayaan mudarabah (bagi hasil antara bank dan nasabah), yang mirip modal ventura, baru mencapai 14,3 persen. Adapun musyarakah (kerja sama bank dengan nasabah) hanya 2,9 persen.
"Banyak bank syariah takut mengambil risiko melakukan pembiayaan mudarabah atau musyarakah," ujar seorang praktisi perbankan syariah. Tapi boleh jadi juga menemukan pengusaha jujur seperti Asep Solichin (lihat Kiriman Parsel pun Menakutkan), yang memiliki bisnis menjanjikan, agaknya memang bukan pekerjaan yang gampang.
Bila dana yang bertambah cuma Rp 15,5 triliun, Wahyu optimistis bank syariah masih akan mampu menyalurkannya. Tapi, kalau mencapai Rp 88 triliun, "pasti sulit tersalur," ujarnya. Bila dana terlampau berlimpah, ia tak menutup kemungkinan bank-bank syariah akan menyimpannya di Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI).
SWBI ini berbeda dengan Sertifikat Bank Indonesia (SBI), yang biasa dijadikan sarana investasi perbankan konvensional. SBI memakai suku bunga satu atau tiga bulanan, sedangkan SWBI memakai sistem bagi hasil dengan pemberian "bonus" dari sejumlah dana yang ditanamkan perbankan syariah. "Kadang-kadang bonus itu juga tidak diberikan. Terserah BI," kata Wahyu.
Masalahnya, ada sementara kalangan bank syariah yang menganggap SWBI masih "berbau" riba. "Memangnya dari mana BI membayar bagi hasil SWBI?" tanya seorang praktisi, "Itu sama saja dengan pembayaran bunga SBI, yaitu dari pencetakan uang baru." Kelemahan lain bila mengandalkan SWBI adalah keuntungannya yang sangat kecil—berkisar 5-6 persen.
Sebetulnya banyak wahana investasi lain yang tersedia bagi perbankan syariah untuk menyalurkan duitnya. Salah satunya adalah ijarah (jasa sewa/leasing) dan rahn (gadai). Instrumen lain adalah pembelian obligasi syariah yang diterbitkan oleh korporasi. Hasil keuntungan dari surat utang jenis ini pasti lebih tinggi dibandingkan dengan SWBI. Belum lagi pembelian saham yang memenuhi kriteria syariah.
Sayangnya, pengelolaan dana di bank syariah masih terpaku pada pola tradisional. Padahal, bila sedikit saja kreatif, banyak jalan terbentang luas.
Tapi masih ada waktu "berlatih" sebelum banjir dana benar-benar datang. Pekan ini MUI menunda pembahasan pleno yang tadinya direncanakan mengkaji "fatwa" itu.
Nugroho Dewanto, Y. Tomi Aryanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo