Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENGGAGALKAN eksekusi pengadilan rupa-rupanya sudah menjadi keahlian PT Timor Putra Nasional (TPN). Tahun lalu, TPN menentang eksekusi pajak di pabriknya dan eksekusi penyegelan kantornya di Jakarta. Rabu pekan lalu, TPN lagi-lagi mencoba menghalangi eksekusi. Dan kali ini mereka juga berhasil. Caranya hampir sama: mengandalkan kekerasan.
Tameng kekerasan TPN terdiri atas 300 lelaki bersenjata golok dan mengenakan ikat kepala putih bertulisan ’’Allahu Akbar”. Mereka menghadang petugas pengadilan yang datang dari Karawang, Jawa Barat, yang berusaha mengosongkan tanah pabrik mobil Timor di Desa Kamojing, Cikampek, Karawang.
Sesuai dengan vonis kasasi dan peninjauan kembali dari Mahkamah Agung, tanah seluas 73 hektare akan diserahkan kepada PT Sarana Produksi Pertanian (Saprotan)—sebuah perusahaan pertanian di Bandung—yang keluar sebagai pemenang perkara. Tanah 73 hektare adalah bagian dari lahan 237,5 hektare yang diperkarakan itu. Namun, berhadapan dengan pria bergolok, petugas eksekusi—kendati diperkuat aparat keamanan—terhalang memasuki area pabrik.
Selain gerbangnya tertutup, tanahnya dipagari kawat berduri setinggi 1,5 meter. Pengacara TPN, Masiga Bugis, memacu semangat laki-laki bergolok dengan teriakan, ’’Kami siap mati di sini.” Menurut sang pengacara, ia dan 300 orang yang berstatus karyawan TPN akan mempertahankan tanah tersebut. Alasannya, TPN sedang mengajukan ke pengadilan upaya perlawanan terhadap eksekusi tersebut. Pengadilan Tinggi Jawa Barat juga telah memerintahkan agar Pengadilan Negeri Karawang meneliti bukti-bukti pihak TPN yang membeli dan memiliki tanah secara sah.
Kegagalan eksekusi itu kontan membuat Direktur Utama PT Saprotan, Budi Prakoso, berang. ’’Itu sikap arogan. Boro-boro mau mematuhi putusan hukum dengan menyerahkan lahan, mereka malah mengerahkan preman,” Budi menyindir. Ia sendiri mengaku membeli lahan seluas 237,5 hektare itu pada 1991 melalui PT Saprotan.
Pada awal perkara, sebenarnya nama Budi tak tercantum. Dulu, pada 1990, PT Saprotan berencana mendirikan pabrik pupuk fosfat di lahan seluas 237,5 hektare itu. Komisaris utama PT Saprotan adalah Raden Uus Mochamad Kusno Setiawan, dengan direktur utamanya Syarief Hidayat—meninggal pada 1998. Karena kesulitan dana, Saprotan lantas bekerja sama dengan Raden Ayu Moniek Sriwidiyatni dan Imam Sunario.
Ternyata, Uus dan Syarief digusur oleh Moniek dan Imam. Dua pengusaha dari Jakarta itu berhasil menguasai 100 persen saham Saprotan. Dan begitu diangkat sebagai direktur utama, Moniek menjual lahan milik Saprotan kepada PT Mandala Pratama Permai, yang 90 persen sahamnya dimiliki Tommy Soeharto. Selanjutnya, saham itu dijual Tommy kepada PT Bali Pecatu Indah, pada 1998. Padahal, di PT Mandala Pratama Permai, Moniek juga menjabat direktur utama.
Dari situlah kemudian persil-persil lahan dialihkan, di antaranya ke TPN, yang juga dimiliki Tommy, PT Kia Timor Motors selaku mitra asing TPN, dan PT Timor Industri Komponen. Belakangan, rentetan bisnis curang itu disalahkan oleh Mahkamah Agung melalui putusan kasasi pada 28 Desember 1998 dan vonis peninjauan kembali pada 2 Februari 2000. Berdasarkan dua putusan itu, lahan sengketa harus diserahkan kembali kepada Saprotan.
Namun, Masiga tetap beranggapan bahwa eksekusi kedua putusan itu sulit dilaksanakan. Sebab, TPN sebagai pembeli tanah dari PT Mandala seharusnya dilindungi undang-undang. Lagi pula, lahan itu kini termasuk aset yang dikuasai negara karena kredit macet Timor sekitar Rp 3 triliun pada sindikasi 16 bank telah diambil alih Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Instansi pajak pun masih terus memburu utang pajak Timor sekitar Rp 3 triliun.
Protes keras juga datang dari PT Kia, mitra TPN dari Korea. Menurut kuasa hukum Kia, Anton Hermanto, aksi itu bisa berakibat buruk bagi investasi asing. Apalagi Presiden K.H. Abdurrahman Wahid telah sepakat dengan Kia untuk melanjutkan bisnis Timor —tentu setelah Tommy keluar dari proyek itu. ’’Kia sudah mengeluarkan banyak uang dan membangun pabrik. Kok, tiba-tiba tanahnya mau diambil?” kata Anton.
Budi Prakoso, sebagai pemilik lebih dari 50 persen saham Saprotan, pantang mundur. Ia bahkan optimistis bisa melanjutkan bisnis mobil Timor bersama kakaknya, pengusa ha Setiawan Djody, yang memang pernah mengajukan proposal penyelamatan proyek mobil Timor kepada pemerintah. Setidaknya, Budi yakin, siapa pun yang akan melanjutkan proyek mobil Timor harus lebih dulu menyelesaikan urusan tanah dengan dia.
Happy Sulistyadi, Setiyardi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo