Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Haruskah Joko Lepas?

Pengadilan pidana melepas Joko Tjandra, tokoh kunci skandal Bank Bali. Yang kini layak dipertanyakan bukan integritas hakim, tapi keberanian dan tekadnya untuk menomorsatukan kepentingan rakyat.

19 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HUKUM itu ibarat busana, karena itu hukum harus dibuat sesuai dan pas dengan kebutuhan rakyat yang memakainya; dan rakyat adalah majikan tempat hukum harus mengabdi dan melayani. Dengan kata lain, hukum mengabdi pada kepentingan masyarakat banyak, bukan pada kepentingan kelompok atau orang tertentu. Juga bukan untuk mengabdi pada hukum itu sendiri.

Tapi sosok hukum yang muncul dalam vonis Hakim R. Soenarto—dalam kasus cessie Bank Bali yang memerkarakan Joko S. Tjandra—adalah sosok yang mengabdi pada kepentingan hukum itu sendiri. Padahal, vonis hakim benar-benar ditunggu rakyat karena mereka tahu vonis itu akan langsung memengaruhi pemulihan ekonomi yang kini giat dirintis oleh pemerintahan Abdurrahman Wahid. Bahwa pihak Bank Dunia sampai mempertanyakan vonis tersebut, dengan sendirinya itu menjelaskan betapa negara-negara kreditur kecewa akan komitmen penegak hukum di negeri ini terhadap pemberantasan korupsi. Selama komitmen itu benjol-benjol, selama itu pula dunia luar menilai Indonesia tidak siap menegakkan demokrasi dan supremasi hukum.

Seperti diketahui, muatan korupsi dalam kasus cessie Bank Bali menonjol sekali. Muatan itu tak bisa dikelirukan sebagai sesuatu yang lain—bahkan tidak oleh majelis hakim yang dipimpin oleh R. Soenarto. Tapi vonis yang diputuskan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu telah menafikan muatan korupsi tersebut. Tanpa rikuh sedikit pun—karena tidak mempertimbangkan dimensi kepentingan rakyat dalam vonisnya—R. Soenarto mementahkan kasus cessie itu dengan tidak menerima dakwaan jaksa terhadap tokoh kunci, yakni Joko S. Tjandra, bos kelompok bisnis Mulia merangkap Direktur PT Era Giat Prima (EGP).

Menurut ketua majelis hakim R. Soenarto, peradilan Joko tak perlu dilanjutkan karena kasusnya menyangkut perjanjian cessie (pengalihan hak piutang) antara Bank Bali dan PT EGP yang terhitung perkara perdata. "Seharusnya, cacat-tidaknya perjanjian cessie itu digugat dulu dan diputuskan oleh pengadilan perdata," demikian pertimbangan majelis hakim. Pengadilan lalu mengharuskan Jaksa Ridwan Moekiat melepas Joko dari tahanan kota yang dilakoninya sejak 11 Februari lalu.

Dari lika-liku penyelidikan kasus cessie Bank Bali yang dilakukan DPR tahun lalu, tak perlu diragukan bahwa perjanjian pencairan piutang Bank Bali sebesar Rp 904 miliar itu telah melibatkan segelintir pejabat dan beberapa pengusaha. Berkat keterlibatan para pejabat jualah, dasar hukum untuk pencairan itu bisa dibuat. Dan seperti yang terungkap dari acara dengar pendapat di DPR, dana Rp 546 miliar—dari kucuran Rp 904 miliar—kemudian disalurkan ke rekening sejumlah pejabat, juga rekening Partai Golkar. Otomatis, Golkar dituding melakukan money politics hingga menghambat langkah B.J. Habibie untuk terpilih menjadi presiden kedua kalinya.

Lika-liku cessie Bank Bali sebenarnya sudah begitu terang-benderang, hingga kalau para hakim tak bisa jelas melihatnya, hal itu jangan lalu disalahkan kepada jaksa yang mempersiapkan berkas tuntutannya. Majelis hakim yang rabun "penglihatan" itu menilai bahwa kasus cessie merupakan kasus perkara perdata. Sikap hakim yang konvensional ini menyimpulkan bahwa selain bukan pidana, cessie juga bukan kasus korupsi. Masya Allah.

Atau untuk jelasnya, hakim semata-mata menganggap perkara itu perdata karena cessie diatur pada Pasal 613 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Padahal, perjanjian cessie yang menjadi sarana utama sekaligus pemicu skandal Bank Bali itu penuh lika-liku delik. Sebagaimana diketahui, dalam perjanjian cessie tanggal 11 Januari 1999, Bank Bali mengalihkan tagihan piutangnya di Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) kepada PT EGP. Pada 1 Juni 1999, piutang Bank Bali di BDNI sebesar Rp 904 miliar pun cair. Selanjutnya, EGP memperoleh imbalan Rp 546 miliar, sebagian dari jumlah itu dikucurkan Joko ke rekening sejumlah orang dan yang kemudian terungkap dalam audit PricewaterhouseCoopers.

Cessie itu sendiri penuh kejanggalan. Pertama-tama, PT EGP bukanlah perusahaan anjak piutang yang boleh menjalankan bisnis pengalihan piutang. Cessie itu juga tak diketahui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), padahal BDNI milik Sjamsul Nursalim sudah masuk dalam "perawatan" BPPN. Cessie itu pun tak dilaporkan ke Bapepam dan PT BEJ, padahal Bank Bali sudah masuk bursa.

Selain itu, PT EGP juga tak membayar sejumlah dana ataupun menyerahkan surat-surat berharga—menurut kesepakatan—untuk menalangi kebutuhan dana Bank Bali. Pada kenyataannya justru bukan PT EGP yang aktif menagih piutang Bank Bali di BDNI, tapi Bank Bali sendiri yang menagihnya ke BPPN. Akhirnya, secara "ajaib" piutang itu pun cair.

Memang, masih banyak lagi rentetan perbuatan melawan hukum dalam proses pencairan piutang Bank Bali itu. Semuanya berlangsung mulus antara lain berkat lobi Joko dengan berbagai pejabat di pemerintahan Habibie. Selain Joko Tjandra, yang juga terlibat adalah Direktur Utama PT EGP Setya Novanto, Wakil Ketua BPPN Pande Lubis, mantan Direktur Utama Bank Bali Rudy Ramli, mantan Menteri Negara Pendayagunaan BUMN Tanri Abeng, pejabat BI Erman Munzir, pengusaha Marimutu Manimaren, mantan Ketua DPA A.A. Baramuli, mantan Menteri Keuangan Bambang Subianto, dan Gubernur BI Syahril Sabirin. Tapi empat nama terakhir sampai kini masih berstatus saksi.

Ternyata, perkara Joko dikempiskan hakim. Hakim ketua R. Soenarto tidak menerima dakwaan jaksa dengan alasan bahwa perkara Joko tak bisa diadili sebelum perjanjian cessie yang dijadikan kendaraan untuk memuluskan korupsi itu diuji keabsahannya. Untuk memutuskan menyimpang-tidaknya cessie dari ketentuan hukum, hal itu adalah wewenang pengadilan perdata, bukan pengadilan pidana.

Pengacara Joko, O.C. Kaligis, tak dapat menyembunyikan kegembiraannya. Sejak awal, Kaligis sudah yakin bahwa kasus Joko terhitung perkara bisnis biasa. Joko cuma berperan sebagai penghubung, sementara proses pencairan piutang itu pun sudah sesuai dengan peraturan. Dan Kepala BPPN Glenn Yusuf serta Menteri Keuangan Bambang Subiantolah yang sangat menentukan pencairannya.

Sementara itu, Jaksa Agung Marzuki Darusman menyatakan bahwa instansinya akan menempuh upaya perlawanan (verzet) atas putusan itu ke pengadilan tinggi. "Bagaimanapun, putusan itu sangat mengusik rasa keadilan masyarakat," ujar Marzuki kepada Andari Karina Anom dari TEMPO.

Di luar pengadilan, ternyata vonis hakim itu diwarnai isu suap Rp 3 miliar yang dikucurkan oleh Joko. Ketua majelis hakim R. Soenarto membantah tuduhan itu (lihat Gila, Isu Suap itu). Yang jelas, luputnya Joko dari jangkauan hukum telah memicu reaksi keras. Menurut pengamat hukum Pradjoto, putusan itu bisa terjadi tak lain lantaran kesalahan strategi jaksa dalam menangani kasus Bank Bali. Seharusnya, para pelakunya tidak dijerat melalui cessie, tapi dari proses yang merugikan keuangan negara sebelum dan setelah cessie itu terjadi. Untuk itu, "Yang harus diseret ke pengadilan adalah kakap-kakapnya (maksudnya, para pejabat yang terlibat skandal itu). Merekalah sumber penyalahgunaan kekuasaan. "Jangan dari hilir ke hulu," kata Pradjoto, yang pertama kali mengungkap Baligate pada Agustus 1999.

Tanggapan senada juga diutarakan ahli hukum pidana Dr. Andi Hamzah. Dia berpendapat, seharusnya para pejabat yang berwenang mengeluarkan uang negara itu yang diusut dulu. Setelah itu, kalau terbukti mereka disuap, barulah orang swasta seperti Joko yang diadili.

"Kalau perjanjian cessie-nya, itu agak sulit dianggap melawan hukum. Kontrak cessie kan biasa dalam dunia bisnis," ujar Andi Hamzah. Namun, mantan anggota DPR Ichsanuddin Noorsy berpendapat cessie dalam kasus Bank Bali sangat menyimpang dari kepatutan. "Tak ada bisnis yang memberikan imbalan sampai 60 persen. Itu gila. Imbalan bisnis paling banter 30 persen. Itu pun harus dengan kontrak yang jelas," tuturnya.

Dengan demikian, mestinya hakim berani menerobos cessie yang berunsur delik itu. Artinya, hakim pidana tak sekadar bersikap konvensional, dengan melimpahkan urusan itu ke hakim perdata. Kalau tidak, bisa-bisa preseden Joko merembet ke perkara terdakwa lainnya, termasuk para pejabat yang terlibat Baligate.

Happy Sulistyadi, Hendriko L. Wiremmer, Wenseslaus Manggut, dan Ardi Bramantyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus