Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lelang’Pesawat’ IPTN |
Pabrik pesawat kebanggaan Indonesia, IPTN, melelang pesawat N-250 kepada publik. Jangan terkejut. Yang dijual bukan pesawatnya, tapi bahan bakunya saja: lempengan baja dan aluminium, yang nilainya sampai Rp 350 miliar. Baja pesawat ini akan dijual seperti besi tua, dengan harga Rp 30 ribu sekilo.
Batalkah rencana pembuatan N-250? Kepala Humas IPTN, Rohendi, dengan tegas menampiknya. Menurut Rohendi, dua prototipe sudah selesai dibuat, tapi tak bisa beruji coba terbang karena belum mendapatkan sertifikat kelaikan terbang dari Badan Kelaikan Udara Indonesia dan FAA (Amerika Serikat). Kelanjutan proyek ini akan tergantung pada sertifikasi kelaikan terbang untuk kedua prototipe itu. Nah, sementara menunggu, kelebihan baja dan aluminium—yang ketika itu memang dibeli untuk bahan baku pembuatan sejumlah pesawat—dijual.
Sayang, lelang ini peminatnya tak banyak. Kendati sudah dua kali digelar, terakhir dua pekan lalu, belum ada yang terjual. ’’Padahal, semuanya impor dan kualitasnya bagus,” kata Rohendi kepada Rinny Srihartini dari TEMPO. Mudah-mudahan, nasib rongsokan material ini tidak sama dengan salah satu pesawat andalan IPTN, Tetuko: sing tuku ora teka-teka, sing teka ora tuku-tuku, yang beli kagak datang-datang, yang datang kagak beli-beli.
Hutchison, Juragan Baru Priok |
Tanjungpriok jatuh ke tangan asing? Boleh jadi. Saat ini, konglomerasi Hutchison Group dari Hong Kong telah menguasai mayoritas saham PT Jakarta International Container Terminal (JITC), yang mengelola Terminal Peti Kemas I dan II Tanjungpriok. Pekan ini, operator pelabuhan terbesar dunia itu mengincar 48 persen Terminal Koja—satu-satunya unit terminal peti kemas Tanjungpriok yang masih terbebas dari tangan asing. Jika berhasil, Hutchison akan menguasai 70 persen arus ekspor dan 60 persen impor dari dan ke Indonesia.
Akan berhasilkah Hutchison? Tergantung pada banyak hal. Pertama, penyelesaian utang Humpuss Intermoda Transportasi (HIT), pemilik Terminal Koja. Perusahaan publik yang sahamnya dikuasai Tommy Soeharto itu punya utang macet Rp 230 miliar kepada pemerintah. Restrukturisasi utang HIT membuka peluang bagi pemerintah untuk ikut memiliki saham di Koja. Kedua, tergantung pada restu. Pagi-pagi, Asosiasi Perusahaan Perkapalan Indonesia (INSA), konsumen terbesar Koja, sudah memprotes rencana ini. Jika Koja jatuh ke tangan Hutchison, konglomerat Hong Kong ini akan mengangkangi arus barang di Priok. Ini tentu bertentangan dengan Undang-Undang Antimonopoli, yang mulai digelar pekan ini.
Cemex, Juragan Baru Semen Gresik |
Boleh jadi, inilah buntut terpenting krisis: jatuhnya penguasaan perusahaan negara ke tangan asing. Setelah pelabuhan Priok, kini giliran Semen Gresik yang segera dikuasai perusahaan luar negeri. Kepastian itu diperoleh setelah produsen semen terbesar keempat dunia, Cemex SA, bertemu Gus Dur, Jumat lalu. ’’Secara prinsip, pemerintah setuju (Cemex menguasai Gresik),” kata Menteri Investasi Laksamana Sukardi, yang mengantar para eksekutif Cemex menemui Presiden.
Saat ini, Cemex memiliki 24 persen saham Gresik. Rencananya, Cemex akan menambah kepemilikannya menjadi 51 persen, 11 persen dari pemerintah dan 16 persen sisanya dibeli dari publik. Kelak, jika transaksi ini selesai, kepemilikan Gresik akan terbagi pada Cemex (51 persen saham), pemerintah (40 persen), dan publik (9 persen).
Sebelumnya, pada zaman pemerintahan Habibie, Indonesia telah berniat melepaskan mayoritas saham Gresik, tapi rencana ini ditentang masyarakat Sumatra Barat. Mereka tak ingin salah satu aset daerah itu, Semen Padang, yang anak perusahaan Gresik, dikuasai asing. Belum jelas benar, apakah rencana Gus Dur ini juga ditentang orang Minang.
Bank Bali Tergantung pada DBC |
Ongkos penyehatan Bank Bali makin mahal. Menurut hasil uji tuntas terbaru, Bank Bali memerlukan injeksi modal Rp 4,6 triliun, Rp 500 miliar lebih mahal dari angka pada Januari. Kebutuhan modal Bank Bali terus membengkak karena pemerintah terus menunda program penyuntikan bank papan tengah itu. Setiap bulan, Bank Bali menombok Rp 20-30 miliar untuk menutup kerugian operasional. Menurut pengumuman pemerintah pekan lalu, injeksi modal Bank Bali akan digelar Maret ini.
Tapi, itu bukan harga mati. Kemungkinan besar, rencana penambahan modal ini terganjal tuntutan Badan Pengawas Pasar Modal, yang meminta Deutsche Boerse Clearing AG alias DBC, penguasa 40 persen saham Bank Bali, membuka diri. Namun, perusahaan Jerman itu belum juga bersedia menjelaskan siapa berada di belakangnya. Jika DBC bertahan, Bapepam akan melarangnya ikut menginjeksi modal Bank Bali. Dan itu berarti pemerintah yang harus menombokinya. Padahal, pemerintah tak punya duit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo