Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Sisi Lain Sebuah Perang

Three Kings menyajikan sisi lain sebuah perang. Tak ada lagi hura-hura heroisme gaya Hollywood.


12 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

THREE KINGS (1999)
Sutradara:David O. Russell
Pemain:George Clooney, Ice Cube, Mark Wahlberg, Spike Jonze
Produksi:Warner Bros
Perang, siapa pun mafhum, adalah peristiwa yang mengerikan. Namun, dalam buku sejarah, ia bisa menjadi sebuah cerita yang menarik. Jumlah korban yang mati makin menentukan kehebatan perang itu. Begitu pun dalam tradisi Hollywood, dengan menjual sosok hero, perang adalah ladang duit. Tak terkecuali dalam film macam Platoon atau Saving Private Ryan, perang adalah tontonan yang mengasyikkan. Dan Amerika tak pernah kalah.

Tunggu dulu. Walau film ini mengambil setting Perang Teluk, bukan kebetulan bahwa Amerika Serikat dan sekutunya yang berhasil menjadi pemenang. Three Kings tak lantas jadi ajang hura-hura heroisme ala pabrik film Amerika itu, meski gelagat itu tetap ada. Pada Maret 1991, Saddam Husein keok. Tawanan Irak harus dilucuti. Secara tidak sengaja, tiga prajurit Amerika, Troy Barlow (Mark Wahlberg), Chief Elgin (Ice Cube), dan Conrad Vig (Spike Jonze), menemukan peta penyimpanan emas yang disembunyikan, maaf, di dubur seorang tawanan.

Rezeki nomplok. Ketiganya merancang pencarian harta karun itu, tapi keburu ketahuan sang atasan, Archie Gates (George Clooney). Kabar ini pun terendus reporter televisi Adriana Cruz (Nora Dunn). Setelah mengelabui Cruz, empat serdadu ini pun berangkat mencari emas hasil jarahan dari negeri Kuwait yang disembunyikan tentara Irak di sebuah bungker itu.

Sesampai di bungker penyimpanan emas itu, mereka menyaksikan sebuah kenyataan yang ''mengguris" hati. Pemberontak Irak yang berjuang membebaskan diri dari cengkeraman Saddam Husein dibekap kelaparan, sementara moncong senjata pasukan Irak tepat berada di atas kepala. Sampai di sini, tradisi Hollywood agaknya akan berulang. Empat serdadu ini sepertinya akan bertindak menjadi hero dengan membebaskan penduduk itu.

Namun, David O. Russell, sang sutradara, tidak melakukannya. Ia melompat pada sebuah lahan yang tak pernah tergarap dalam sebuah film perang. Dengan mencampurkan perspektif tak umum seperti halnya Oliver Stone lewat JFK dengan visualisasi ala Spike Lee dalam Summer of Sam, Russel menghadirkan sisi lain sebuah perang. Lantas, kamera bergerak bak sebuah film dokumenter. Ditambah sentuhan pengelantangan warna dan editing yang mengejutkan, Russel menyuguhkan sebuah cerita yang sarat dengan ambiguitas dan absurditas, lingkungan yang rusak akibat perang.

Di wilayah yang lebih sempit, ia mengetengahkan sebuah kebimbangan yang menjerat para prajurit itu. Gencatan senjata membuat mereka tak tahu apa yang semestinya dilakukan. ''Apakah kita perlu menembak orang itu?" kata Trow Barlow saat melihat pria Arab berdiri di atas sebuah gundukan tanah. Ternyata, kemenangan tak juga menguapkan ketegangan dan kebimbangan para tokoh. Yang patut dicatat adalah penampilan memikat Mark Wahlberg dan Spike Jonze. Keduanya berhasil menampilkan sebuah akting yang maksimal. Sementara itu, ketampanan George Clooney, apa boleh buat, telah menjelma menjadi pesona tersendiri.

Film ini merupakan karya ketiga David O. Russell. Debutnya dimulai dengan film berbiaya rendah. Ia membuat Spanking the Monkey (1996), yang merupakan sebuah film komedi hitam tentang inses, masturbasi, dan retaknya sebuah kepribadian. Film pertamanya, Flirting with Disaster (1994), yang juga mengemas sebuah komedi, meraih penghargaan Festival Film Sundance. Pengalamannya itu membekalinya dalam menggarap film yang dibuat berdasarkan cerita yang ditulis John Ridley ini. Ternyata, elemen komedi itu tak luntur dalam filmnya ini.

Humor-humor cerdas dalam film ini berhasil menyeret penonton untuk menertawakan berbagai keganjilan sebuah perang. Ia juga berhasil memainkan emosi dengan adegan-adegan yang terasa meneror, misalnya saat Trow disiksa dan disuruh meminum minyak. Menurut para penyiksanya, inilah benda yang menyebabkan Amerika merangsek ke Kuwait untuk mengusir Irak.

Three Kings juga mempertanyakan keterlibatan Amerika dalam kegiatan militer di Vietnam, Grenada, Kuwait, dan kawasan Balkan. Apakah itu dalam rangka melegitimasi politik, untuk alasan kemanusiaan dan patriotisme, atau malah sekadar untuk mendongkrak rating TV?

Sayangnya, Russel tak mampu berkelit dari pola umum Hollywood. Persoalan diselesaikan dengan sebuah kegembiraan. Meski begitu, bagaimanapun, Three Kings menyadarkan kembali bahwa perang, sekalipun dalam permainan video game tampak mengasyikkan, sebenarnya bukanlah sebuah peristiwa yang menyenangkan.

Irfan Budiman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum