Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kembalinya Warna

Sebuah pameran yang terkesan sederhana, di ruang seni yang memang sekadarnya. Kendati cuma persyaratan untuk D-III, karya Dhiky Sasra secara mengejutkan mengembalikan sesuatu yang selama ini hampir hilang dari fotografi kontemporer Indonesia.

12 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada cukup banyak alasan mengapa pameran ini nyaris gagal. Ruang tempat Dhiky Sasra menggelar 35 karya fotonya boleh jadi berlokasi di salah satu pusat kesenian paling tersohor di Jakarta. Namun, untuk mencapainya, seorang pengunjung bukan cuma harus menelusuri lorong-lorong gelap, kumuh, dan berkubang di belakang Taman Ismail Marzuki, tapi juga tersasar di antara gedung-gedung lain yang mengangkangi bangunan mungil itu. Tapi itulah. Pameran ini sekadar tugas akhir seorang mahasiswa jurusan fotografi Institut Kesenian Jakarta. Tampaknya, ruang bergengsi macam Galeri Cipta di seberang pagar sekolahnya, apalagi Galeri Nasional tempat para pengajar lembaga ini ramai-ramai berlaga beberapa tahun silam, tidak disediakan untuk fotografer pemula seperti Dhiky. Bahkan tajuk pamerannya sendiri, Permulaan Suatu Harapan, seperti hendak mengejek nasib Dhiky yang harus puas dengan sarana ala kadar Fakultas Seni Rupa. Toh, demikian pemikiran yang umum di kampusnya, apa yang dipajang seorang siswa kemungkinan besar hanya akan ditengok kalangannya sendiri—rekan-rekan sejurusan—serta segelintir dosen yang, syukur-syukur, bisa mencuri waktu dari kesibukan mereka di berbagai proyek kesenian dan kebudayaan. Maka, jangan heran bila pameran ini akan terlewatkan begitu saja. Selain jadwal yang kelewat singkat (29 Februari hingga 4 Maret 2000), kegiatan ini pun tidak didukung oleh publikasi yang memadai, baik dalam jumlah maupun bentuk. Brosur hitam-putih yang disebarkan Dhiky menjelang acara pembukaan malah mengacaukan persepsi calon penonton. Dari sana, kita cuma bisa menyimak topik sosial-politik yang sebenarnya sudah sangat menjemukan. Juga pilihan foto dengan sudut pandang yang tidak baru lagi. Misalnya, foto tentang pertentangan rakyat dan militer, yang digambarkan melalui kaki-kaki tentara di hadapan botol minuman bekas berhiaskan bendera merah putih. Padahal, ini adalah karya-karya dalam bahasan warna, dan kenyataan itu menjadi satu-satunya yang menyelamatkan pameran ini. Maka, tak ada cara lain. Untuk menyingkap kejutan mahasiswa angkatan 1995 itu, kita harus langsung menyambangi ruang pamer yang kaku dan pengap. Di situ kita akan melihat bahwa warna dalam foto bukan sekadar bagian dari deskripsi harfiah, tapi juga bisa menjadi simbol yang menggugah emosi bawah sadar manusia. Misalnya, dalam alam pikiran manusia Indonesia, warna merah disepakati sebagai lambang keberanian. Yang jarang dibicarakan adalah bahwa konsep itu juga menyiratkan suatu bentuk pengorbanan—bisa berujung pada kematian atau kehancuran total. Itu yang kita tangkap dalam dua karya Dhiky, yang masing-masing menampilkan wajah Presiden Sukarno dan Soeharto. Dalam foto pertama, sepotong wajah manusia yang buram dan gelap nyaris mengambil sebagian besar ruang gambar. Di belakangnya, tampak potret Bung Karno muda dalam bingkai merah. Warna-warna yang hadir—cokelat, merah, dan hitam—mengingatkan kita pada darah yang mengering. Ditambah dengan gambar jam di dinding, lengkap sudah tafsiran foto ini sebagai sebuah cerita tentang sejarah yang terkubur. Sebaliknya, yang terjadi dalam foto yang kedua, Merah yang menciprati kain putih pada tulisan "SOEHARTO", lebih menyerupai merahnya darah orang-orang yang habis dibantai. Ada bau anyir dan kengerian di situ, yang tidak serta-merta menandingi adegan-adegan dramatis dalam foto pers dewasa ini. Pasalnya, penggunaan warna oleh mantan fotografer magang di tabloid berita itu bukan untuk membuat gambarnya sesuai dengan realitas, tapi untuk membangunkan kesadaran realitas itu sendiri. Dalam memformulasikan bahasa baru ini, ia tak segan-segan mencari nuansa warna yang bahkan jauh dari alami. Contohnya pada sebuah foto yang cuma menampilkan benda-benda sederhana berupa kursi, dinding, lampu, dan tanda petunjuk. Karena pengaruh lampu pada warna, dan melalui proses kimiawi pada film, dinding seperti menyala dengan warna hijau. Sementara itu, lampu lilin bertangkai tiga berpijar bagai sebuah cahaya kudus yang membakar (menelan?) tulisan "TOILET" di atasnya. Apa pun arti gambar ini, kita sudah dibuat ngeri sekaligus terpesona. Sepuluh tahun silam, para pewarta foto muda juga mencari efek serupa. Mereka meyakini bahwa realitas bisa jadi dramatis melalui penggambaran hitam putih. Masalahnya, estetika warna yang saat itu berkembang dianggap terlalu apa adanya. Dalam perjalanan waktu, karya fotografer seperti Donny Metri, Poriaman Sitanggang, dan Oscar Motuloh bahkan sudah tak bisa dipisahkan lagi dari kenyataan seperti yang kita lihat di halaman majalah dan dinding galeri dewasa ini. Malah, beberapa waktu yang lalu, dominasi medium ini nyaris komplet, ketika para fotografer komersial papan atas Indonesia menggelar pameran khusus hiatm-putih di Galeri Nasional. Maka, yang tak kalah penting dari pameran ini adalah kontribusi kecil Dhiky dalam mengguncang fotografi Indonesia dari sebuah kemapanan baru. Dalam hal ini, ia berada dalam satu kelompok bukan saja dengan fotografer senior seperti Ray Bachtiar, tapi juga para seniman sekolahan seusianya. Di antara para seniman sekolahan itu adalah kakak kelasnya sendiri, Heri Hermawan, serta para fotografer Institut Seni Indonesia di Yogyakarta yang tahun lalu menggelar "Revolusi #9" di Galeri Foto Jurnalistik Antara. Masalahnya sekarang, apakah keberhasilan itu cukup untuk mengetuk pintu hati almamater agar lebih peduli terhadap karya mahasiswanya sendiri. Yudhi Soerjoatmodjo (Pengamat fotografi/Imaging Center)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus