Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ini kabar buruk bagi mereka yang belum punya rumah. Setelah bertahan selama empat tahun, pemerintah akhirnya menaikkan standar harga rumah sederhana dan sangat sederhana, masing-masing 30 dan 25 persen. Rumah sangat sederhana (luas bangunan 21 meter persegi) di wilayah III (Jakarta), misalnya, yang tadinya Rp 5,9 juta, kini menjadi Rp 7,4 juta. Sedangkan rumah sederhana tipe 36, di wilayah yang sama, naik menjadi Rp 27,85 juta dari sebelumnya Rp 21,4 juta. Agar daya beli masyarakat tak berkurang, kenaikan harga itu disertai dengan kelonggaran kredit. Untuk rumah sangat sederhana, misalnya, pemerintah membolehkan plafon (batas maksimal) kredit sampai 90 persen dari harga rumah. Artinya, konsumen diberi keringanan untuk memberikan jaminan cuma 110 persen dari nilai kredit. Padahal, untuk rumah-rumah berkelas, nilai jaminan setidaknya sampai dua kali kredit. Wajarkah kenaikan itu? Ini yang jadi perdebatan. Menurut Menteri Negara Perumahan dan Permukiman, Theo Sambuaga, kenaikan harga ini cukup adil untuk mengejar kenaikan harga-harga barang selama empat tahun terakhir. Tapi Ketua Real Estate Indonesia, Agusman Effendi, tak sependapat. Bagi dia, kenaikan itu belum mengimbangi laju kenaikan ongkos produksi. Semula REI mengusulkan kenaikan harga kedua tipe rumah murah itu 30 hingga 50 persen. Konsumen? Kalau saja ikut ditanya, tentu saja mereka ingin harga yang murah dan terjangkau, mutu yang baik, serta suku bunga kredit yang ringan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo