Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mahkamah yang Perlu Digugah

Golkar dan PDR diduga memainkan politik uang pada pemilu lalu. Panwaslu tampaknya mulai tak sabar karena MA, sebagai pengawas dan pemberi sanksi, sampai kini bersikap pasif.

11 Juli 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

-------------------------------------------------------------------------------- DENGAN segenap kekurangannya, pemilihan umum 7 Juni 1999 tetap diharapkan bisa mengantar bangsa ini menuju era baru yang demokratis, sadar hukum, dan sadar hak asasi. Berbagai persyaratan ini tidak mudah dipenuhi, karena itu pemilu harus benar-benar jujur dan adil, sehingga mampu mewakili aspirasi rakyat. Untuk itu, Mahkamah Agung (MA) diberi wewenang mengawasi perilaku partai politik peserta pemilu. Ketentuan mengenai wewenang pengawasan seperti ini tidak tercantum pada aturan main pemilu sebelumnya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, MA bisa mencabut hak sebuah partai dalam mengikuti pemilihan umum bila partai itu melanggar ketentuan jumlah sumbangan. Pembatasan besarnya sumbangan orang atau perusahaan dimaksudkan agar tak terjadi penyalahgunaan uang untuk kepentingan politik (money politics). Kasus begitu pernah terjadi sewaktu pengusaha Indonesia James Riady menyalurkan sejumlah besar uang untuk dana kampanye calon presiden Bill Clinton di Amerika Serikat. Dalam mengatur soal transparansi keuangan partai dan penilaian masyarakat terhadap partai tersebut, undang-undang juga mengharuskan partai agar menyampaikan laporan keuangan ke MA. Bila itu dilanggar, MA bisa menghentikan bantuan anggaran negara kepada partai tersebut. Dan bila ada partai yang curang sehingga pemilihan umum tak adil dan tak jujur, MA dapat membekukan atau membubarkan partai itu. Pelimpahan wewenang yang besar pada MA tentulah dimaksudkan untuk mewujudkan supremasi hukum, sebagaimana diterapkan di banyak negara. Contohnya, mahkamah agung di Malaysia yang memvonis United Malays National Organization (UMNO) sebagai partai politik yang tidak sah, pada Februari 1988. Itu lantaran UMNO melakukan kecurangan menjelang muktamarnya pada 1987. Sebelumnya, pengadilan tinggi di Kuala Lumpur membubarkan partai yang berkuasa itu karena dianggap melanggar undang-undang pemilihan umum. Bagaimana dengan MA di Indonesia? Sayang seribu sayang, sampai kini belum terdengar aksi konkretnya. Padahal, seperti dituturkan Sekretaris Panitia Pengawas Pemilihan Umum Pusat, Satya Arinanto, lembaganya—biasa disebut Panwaslu—sudah tiga kali menyampaikan rekomendasi, yakni pada 2 Juni, 3 dan 6 Juli lalu, ke MA. Pada rekomendasi itu, Panwaslu meminta agar MA menangani kasus politik main uang yang diduga dilakukan oleh Partai Golkar, Partai Daulat Rakyat, (PDR), dan kader Golkar A.A. Baramuli. Dugaan itu berupa penyalahgunaan dana Jaring Pengaman Sosial oleh Golkar, dana kredit usaha tani oleh PDR, dan tebar uang miliaran rupiah yang dilakukan Baramuli di Sulawesi Utara. Seharusnya, "Untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat, MA segera melakukan tindakan hukum," ujar Satya. Itu kalau MA benar-benar menjadi benteng terakhir peradilan pemilu sekaligus bertindak selaku mahkamah penjaga konstitusi (UUD), yang mengutamakan kedaulatan rakyat. Menghadapi tudingan itu, baik Marzuki Darusman dari Golkar maupun Latif Burhan dari PDR tegas-tegas membantah. Keduanya sama-sama menyatakan bahwa tuduhan itu sama sekali tak berkaitan dengan partainya. Sebab, partai mereka tak pernah menelurkan kebijakan ataupun memberikan instruksi tentang politik uang. "Baramuli bukan pengurus Golkar. Ia di Dewan Penasehat. Uang yang digunakan juga bukan berasal dari kas Golkar," kata Marzuki. Kalaupun delik penyuapan terjadi, menurut Marzuki dan Latif, itu semata-mata tanggung jawab pribadi. Dengan kata lain, yang bersangkutan bisa dikenai sanksi pidana dari Undang-Undang Nomor 3 tentang Pemilihan Umum. Namun, kedua tokoh partai itu mempersilakan MA memproses pengaduannya, asalkan tetap melalui proses peradilan yang fair dan partainya diberi kesempatan mengklarifikasi. Tapi, "Saya kira sulit membuktikan money politics," ucap Marzuki. Harapan Marzuki agaknya cocok dengan sikap MA. Hingga sekarang, peradilan tertinggi itu masih berkutat pada aspek tata cara penjatuhan sanksi terhadap partai. Menurut Sekretaris Jenderal MA, Pranowo, MA baru bisa beraksi bila ada gugatan tertulis dari masyarakat (class action) dan melalui proses peradilan. Alasannya, demi kepastian hukum. Tak jelas kapan tata cara penjatuhan sanksi itu muncul, terlebih bila ada upaya peninjauan kembali atau surat sakti. Jadi, jangankan MA mampu menghukum partai politik yang curang, penggunaan wewenang MA untuk mengatur hubungan kerja dengan Panitia Pengawas, Panitia Pelaksana, dan Komisi Pemilihan Umum, juga tak pernah terdengar. Mau ke mana, MA? Happy Sulistyadi, Hardy R. Hernawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus