Dengan jengkel, lelaki perlente itu menutup telepon genggamnya. "Gila, tinggal 17 persen," katanya. Ia termenung, tapi cuma sejenak. Buru-buru ia membuka lagi sambungan telepon anginnya dan berkata singkat, "Okelah, di-roll-over satu bulan lagi."
Apa boleh buat, lelaki perlente itu agaknya tak punya pilihan lain. Sejak pensiun dua tahun lalu, ia cuma menggantungkan hidupnya pada usaha "beternak" rupiah. Semula, hasilnya luar biasa. Di tengah masa krisis, ketika banyak orang menjerit kekurangan sumber dana, ia malah bisa kipas-kipas dengan menikmati suku bunga 60 persen, bahkan pernah 70 persen.
Tapi, dalam tiga bulan terakhir, lelang sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang digelar setiap Rabu terus menekan suku bunga rupiah hingga makin merosot. Akibatnya, setiap kali ia memperpanjang depositonya, setiap kali itu pula ia menyadari bahwa tingkat penghasilannya makin melorot. Setelah menikmati bunga 35 persen tiga bulan lalu, kini ia harus beradaptasi dengan tingkat bunga cuma separuhnya—sejak pekan lalu. Bukan mustahil, bulan depan, ia mesti bersiap-siap menghadapi tingkat reproduksi ternaknya turun lagi sampai di bawah 15 persen.
Sebenarnya, gerak merayap ini bukan tak bisa dihambat. Para penabung bisa saja memperlambat laju penurunan dengan membuka deposito jangka panjang, enam bulan atau bahkan kalau perlu satu tahun. Dengan trik ini, setidaknya mereka bisa mengunci suku bunga agar tidak merosot setiap bulan. Tapi penguncian ini bukan tak berisiko. Soalnya, tepat pada fajar milenium baru 1 Januari nanti, jaminan pemerintah atas kewajiban bank terhadap para deposan akan berakhir.
Artinya, sejak tanggal itu, pemerintah tak lagi punya keharusan untuk menalangi kewajiban bank, termasuk simpanan publik. Jika bank ditutup, dana masyarakat akan dibayar hanya dari pencairan aset-aset bank. Kalau tak cukup? Apa boleh buat, para deposan harus merelakan simpanannya raib tak terbayar.
Ngeri? Memang. Lebih-lebih, penutupan bank tidak mustahil dilakukan. Bahkan, Deputi Gubernur BI Subarjo Joyosumarto sendiri menegaskan bahwa bank-bank kategori A (bank yang terus hidup tanpa bantuan injeksi modal pemerintah) pun bukan tak mungkin akan ditutup. Jika pemilik bank-bank ini tak mampu melewati uji kelayakan yang digelar bank sentral, Subarjo memastikan, bank-bank ini pasti akan gugur. Kalau tak bisa mempertahankan tingkat kecukupan modalnya, mereka juga pasti kena sapu.
Jadi? Para deposan agaknya memang tak bisa menutup mata terhadap risiko penutupan bank ini. Karena itu, para penasihat investasi kini mulai memberikan aba-aba yang seragam: mulailah meneliti kesehatan bank. Yang pertama mesti dicatat, setiap bank harus mampu menjaga kecukupan modalnya (dihitung berdasarkan rasio dari modal terhadap aset bank yang berisiko) minimal 4 persen, hingga akhir tahun ini. Dua tahun mendatang, akhir 2001, batas bawah itu dinaikkan sampai 8 persen.
Artinya, besar-kecilnya modal bank amat menentukan. Makin besar modal bank (relatif terhadap aset bank), makin baik. Tapi, mesti diingat, modal bank berubah-ubah tergantung jumlah kredit macet dan kinerja usaha bank. Jika bank bisa mencatat laba, besar kemungkinan modal bank akan terus bertambah. Sebaliknya, jika bank merugi, modal bakal makin merosot.
Persoalannya: bagaimana bisa mengintip kredit macet dan menaksir kinerja usaha bank? Kepala Treasury Bank Buana Indonesia, Pardi Kendy, punya beberapa saran. Pilih bank yang pemiliknya tak tersangkut kredit macet, katanya. Bank pasti kecipratan masalah ruwet bila kekayaan pemiliknya disita negara. Masih ada lagi. "Jangan pilih bank yang terlalu agresif dan punya puluhan unit usaha," ujar Pardi.
Selain itu, ada sejumlah pedoman umum: sebaiknya pilih bank yang tak kelewat tinggi memberikan bunga. Sebenarnya, sejak pemerintah menetapkan batas suku bunga simpanan yang dijamin, jorjoran bunga sudah mulai menghilang. Tapi satu-dua bank tetap saja menawarkan bunga di atas angka rata-rata. Anda layak waspada. "Itu tanda bank kesulitan duit," kata Endarto Weltam, manajer treasury IBJ di Jakarta.
Meskipun begitu banyak rambu, jangan buru-buru gemetaran. Masa berakhirnya jaminan pemerintah atas kewajiban bank belum tentu tak diperpanjang. Menurut Deputi Gubernur BI Miranda Goeltom, pemerintah masih belum memutuskan apakah masa penjaminan itu akan berakhir sesuai dengan keputusan semula atau diulur lagi. Selain itu, ada kemungkinan penjaminan ini akan diganti dengan membentuk semacam badan asuransi deposito. Karena itu, katanya, "Masyarakat tak perlu khawatir."
Mardiyah Chamim dan Iwan Setiawan
Suku Bunga SBI | 3 Maret 1999 10 Maret 1999 17 Maret 1999 24 Maret 1999 30 Maret 1999 7 April 1999 14 April 1999 21 April 1999 28 April 1999 5 Mei 1999 12 Mei 1999 19 Mei 1999 26 Mei 1999 2 Juni 1999 9 Juni 1999 16 Juni 1999 2 3 Juni 1999 30 Juni 1999 7 Juli 1999 | 37,42% 37,64% 37,60% 37,48% 37,42% 36,4% 35,58% 34,54% 33,21% 31,47% 29,99% 27,88% 26,12% 24,65% 23,48% 22,5% 20,34% 18,84% 17,15% |
Sumber: Bank Indonesia Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini