Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Film Masa Depan tanpa Langkah Baru

Dunia dalam The Matrix adalah paket mimpi. Pretensius tapi sangat menghibur

11 Juli 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

THE MATRIX
Sutradara:Andy & Larry Wachowski
Skenario:Andy & Larry Wachowski
Pemain:Keanu Reeves, Laurence Fishburne, Carrie-Anne Moss
Produser:Warner Bros, 1999

Tersebutlah sebuah kehidupan di tahun 1999. Thomas Anderson (Keanu Reeves) menjalani kehidupan ganda, sebagai programer dan hacker dengan nama samaran Neo. Sekalipun digambarkan berpenghasilan lumayan, Neo selalu gelisah karena merasa ada tangan-tangan gaib yang menelikungnya. Dalam upaya mencari jawab, ia menemukan sosok Morpheus (Laurence Fishburne).

Neo akhirnya berhasil menjumpai Morpheus melalui Trynity (Carrie-Anne Moss). Tapi, bukannya lega, logika Neo justru tergampar karena Morpheus bercerita bahwa dunia saat ini sebetulnya berada pada tahun 2199—sebuah dunia yang suram, dan hanya Neo yang bisa tampil sebagai sang Pembebas. Lalu, di mana dunia tempat hidup Neo sebelumnya? Dunia bertajuk tahun 1999 adalah dunia virtual reality alias kenyataan semu yang diciptakan Matrix, ras mesin.

Inilah kira-kira film futuristis model "baru" yang lama dari Hollywood. Ideologi dalam film futuristis Hollywood adalah: masa depan adalah kekacauan dan tipu daya. Inilah ideologi yang diyakini Hollywood. Hampir semua film bergenre futuristis cenderung menggambarkan manusia sebagai budak mesin yang melata, budak bagi mesin, robot, android, dan cyborg yang bukan sejenis manusia. Bibit penderitaan dimulai ketika manusia bermain sebagai "tuhan" dengan menciptakan makhluk baru dengan kecerdasan buatan. The Matrix, film terbaru garapan dua bersaudara Andy dan Larry Wachowski—setelah kisah Thriller Bound, yang juga bercerita tentang masa depan— juga tak mampu lepas dari pola ini.

Dalam film ini, manusia hanyalah ternak yang dipelihara dalam cangkang untuk disedot energinya. Agar otak tetap berfungsi—agar "makhluk malang" ini tetap hidup—Matrix menghadirkan hidup yang lain, yang semu. Lalu, mengapa hidup yang semu ini adalah kenyataan yang kita hadapi sehari-hari, harus penuh darah dan kekerasan? "Saat kita diberi impian yang tanpa cela, semua ternak justru musnah," ujar salah satu agen Matrix.

Dialog semacam ini bertaburan sepanjang film. Banyak kalimat filosofis dan banyak wajah serius. Tapi itu tidak berarti film ini menjadi film serius. Ia lebih menjadi sebuah film yang penuh pretensi.

Sebetulnya, upaya Wachowski bersaudara untuk menawarkan sebuah dunia alternatif cukup menarik. Pameran efek spesial dalam film ini cukup inovatif. Adegan laga yang dikoreografikan oleh Yuen Wo Ping—instruktur kungfu dan sutradara dari Hong Kong yang pernah menangani bintang kungfu seperti Jackie Chan dan Jet Li—adalah modal utama film ini. Keindahan jurus Reeves dan Fishburne ketika melayang, berayun, dan bersalto menghibur secara visual sehingga penonton bisa melupakan akting yang tak istimewa. Buktinya, di Amerika Serikat saja film ini telah berhasil menembus angka US$ 160 juta, rekor baru untuk Reeves—setelah Speed, yang menghasilkan US$ 140 juta.

Namun, sukses komersial itu tampaknya belum bisa mengantarkan film ini menjadi cult movie alias film yang menjadi ikon budaya baru serta dijadikan rujukan untuk film sejenis (kecuali untuk adegan laga yang eksotis). Berbeda halnya dengan film Blade Runner produksi 1982 arahan Ridley Scott—film noir untuk genre ini—yang berhasil membuat sineas lain menjadi epigon, film The Matrix belum membuat terobosan serupa dalam dunia sinema.

Sinematografi Blade Runner—dari setting kota yang suram hingga penonjolan metafor—membuat film itu menjadi klasik dan masih menjadi kajian sinematik hingga kini.

Dialog yang mengupas android juga tampil menggelitik. Misalnya, ketika Deckard (Harrison Ford) mencoba merayu Rachael (Sean Young), sang android jelita bermata sedih. Saat Deckard makin bernafsu, Rachael dengan kalem berujar, "Apakah ini tes untuk menguji apakah aku replikan atau lesbian, Mr. Deckard?"

The Matrix memang tak memiliki roh semacam Blade. Bahkan, plot satu tokoh sebagai pembebas dunia juga sudah diangkat Luc Besson dalam The Fifth Element. Namun, bila di akhir film ini Neo tidak tuntas membasmi sang musuh, hal itu bukan kegagalan Wachowski dalam bercerita. Artinya, bersiaplah menunggu The Matrix jilid kedua.

Yusi A. Pareanom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus