Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah surat dari jauh memicu kesibukan di kantor Kejaksaan Agung, Jakarta. Sepanjang pekan lalu, misalnya, Direktur Perdata Yoseph Suardi Sabda terpaksa pontang-panting menghadiri rapat. Para petinggi Kejaksaan pun selalu minta kabar kemajuan kasus kepada pria berkacamata tebal tersebut.
Surat itu dikirim dengan faksimile oleh Kedutaan Indonesia di Inggris 20 September 2006 lalu ke Kejaksaan Agung. Isinya tak bisa dianggap sepele, yakni permintaan dari pengadilan Guernsey untuk terlibat sebagai pihak (intervening party) dalam kasus gugatan perdata Garnet Investment Limited of Trident melawan Banque Nationale de Paris and Paribas (BNP Paribas), yang kini tengah berjalan.
Dalam gugatannya, Garnet Investment sebagai penggugat mendalilkan sendiri sebagai perusahaan milik Tommy Soeharto, anak kesayangan mantan orang berkuasa semasa Orde Baru. Sebagai tergugat adalah kantor cabang BNP Paribas, salah satu bank swasta tertua di Prancis, karena dianggap telah menahan duit milik Tommy selama delapan tahun. ”Jumlahnya mencapai jutaan euro,” kata Yoseph kepada Tempo.
Sejak Soeharto jatuh, 21 Mei 1998, tidak pernah bisa dibuktikan bahwa keluarga Cendana memiliki aset di luar negeri. Meski media dalam dan luar negeri ramai menyebut—mulai kapal mewah sampai resor—tetap tak pernah bisa dibuktikan. Pada tahun 1999, investigasi pemerintah menelusuri kembali harta keluarga Soeharto di luar negeri tetap tak membawa hasil. Ketika tahun itu sebuah majalah ternama dunia mengaku menemukan harta Soeharto di Swiss, Jaksa Agung Andi Ghalib dan Menteri Kehakiman Muladi langsung terbang ke negara kecil di Pegunungan Alpen itu. Hasil laporannya: kabar itu tidak benar.
Kini, kabar itu muncul sendiri dari Guernsey, sebuah pulau seluas 194 kilometer persegi—sedikit lebih luas dari Jakarta Timur—di Selat Channel yang memisahkan Inggris dan Prancis. Pulau yang merupakan bagian dari gugusan pulau-pulau Channel ini adalah koloni Inggris. Negara ini hidup dari jasa keuangan. Separuh lebih pendapatannya berasal dari sektor perbankan, manajemen keuangan, dan asuransi.
Adapun Garnet Investment juga datang dari tempat yang jauh. Perusahaan ini berbadan hukum di British Virgin Islands, sebuah negara koloni Inggris di Kepulauan Karibia. Tak disebutkan jelas dalam gugatan mereka, tapi dalam perhitungan Tempo sekurang-kurangnya duit yang disengketakan minimal sekitar Rp 330,2 miliar.
Dalam gugatannya, Garnet bercerita begini. Pada 22 Juli 1998, Tommy Soeharto membuka tiga rekening di BNP Paribas Guernsey. Ini artinya hanya sekitar dua bulan setelah Soeharto lengser dan Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh (BPPC) milik Tommy tak mampu melunasi utang senilai Rp 1,749 triliun pada koperasi dan petani cengkeh. Saat menutup kewajiban pada pemilik cengkeh, Tommy hanya membayar Rp 800 miliar, sebagian berasal dari dana hasil penjualan Goro pada Induk Koperasi Unit Desa (Inkud) sebesar Rp 140 miliar, dan sisanya dibayar dengan 38 ribu ton cengkeh yang ada di gudang BPPC.
Barangkali karena takut terendus aparat hukum, duit itu tak disentuh selama empat tahun lebih. Baru pada 28 Oktober 2002, Tommy memerintahkan agar dilakukan transfer dana dari rekeningnya, masing-masing sejumlah 6,450 juta euro (sekitar Rp 76,1 miliar), 15 juta euro (Rp 177 miliar), dan 6,460 juta euro (Rp 76,2 miliar) ke tiga rekening lain. Tak disebutkan di mana tiga rekening tujuan tersebut. Saat itu, Tommy tengah menjalani hukuman 15 tahun penjara di Nusakambangan lantaran terbelit kasus penembakan hakim agung dan pemilikan senjata gelap.
Permintaan itu ternyata tidak dilaksanakan oleh bank. Malah, pada 4 November 2002, BNP menghubungi Garnet dan menyatakan mereka memerlukan tambahan informasi sebelum melakukan transfer. Belum lagi permintaan itu dipenuhi, 12 November, Tommy mengirim perintah kedua. Yakni agar bank memindahkan dana, masing-masing 47.500 poundsterling (Rp 836 juta) dan 7.960,49 poundsterling (sekitar Rp 140 juta), kepada Peter Amy, Direktur Garnet. Perintah ini juga ditolak bank.
Pada 10 Desember, Tommy mengulangi perintah agar BNP Paribas melaksanakan dua perintah yang sudah diberikannya. Perintah ini dijawab oleh bank dengan surat tertanggal 23 Desember 2002, isinya antara lain ”bahwa bank memerlukan keterangan asal-muasal dana dalam rekening, sebelum melakukan transaksi atas rekening tersebut”.
Pada 23 Februari 2003, Tommy memerintahkan BNP untuk memindahkan seluruh dana ke rekening miliknya di Overseas Bank Limited di Singapura. Pria penggemar reli ini hanya minta disisakan dana sejumlah US$ 1 juta (sekitar Rp 8,5 miliar dengan kurs saat itu) di rekeningnya. Tommy juga menyatakan perintah tersebut menghapus dua instruksi sebelumnya.
Bank kukuh menolak. Tanggal 23 Februari 2003, mereka menyampaikan surat kepada Tommy. Isinya antara lain: ”keadaan dipidananya Hutomo Mandala Putra menunjukkan bahwa yang bersangkutan mungkin terlibat dalam tindakan korupsi di Indonesia, sehingga harus diajukan pertanyaan mengenai asal-usul kekayaan pribadinya.”
Dalam gugatannya, Garnet menyatakan bahwa BNP Paribas melanggar kewajiban sebagai bank karena tidak melaksanakan perintah penggugat. Mereka mengajukan beberapa tuntutan. Pertama, agar pengadilan menyatakan Tommy sebagai pemilik sah atas tiga rekeningnya. Kedua, menyatakan bank telah melanggar wewenang (mandate). Tuntutan ketiga, agar BNP Paribas memenuhi semua instruksi yang diterbitkan oleh penggugat, dalam hal ini Tommy Soeharto.
Pengadilan Guernsey (Royal Court of Guernsey), sesudah mendengar keterangan dari pihak tergugat, termasuk permohonan untuk menangguhkan pemeriksaan perkara dari BNP Paribas yang diajukan 14 Juli 2006, pada 13 September 2006 menerbitkan perintah (court order) kepada Christopher Edwards, seorang pengacara setempat yang menjadi kuasa hukum Garnet Investment, untuk memberi tahu pemerintah Indonesia. Intinya, apakah pemerintah Indonesia akan ikut serta dalam perkara tersebut.
Court order ini kemudian diteruskan oleh Edwards ke Kedutaan Indonesia di London. Duta Besar Marty Natalegawa kemudian meneruskannya ke Jakarta. ”Kita langsung mengirimkan ke Jakarta setelah ditambah dengan pertimbangan fakta dari kami,” kata Marty. Pertimbangan itu antara lain menyangkut sistem hukum Guernsey mensyaratkan pengacara lokal dalam persidangan mereka.
Kasus Tommy ini, menurut Marty, adalah kasus pertama menyangkut aset keluarga Cendana yang terungkap di Inggris. Koran The Independent pernah menulis bahwa keluarga Soeharto memiliki rumah mewah di London. Namun, kedutaan mengaku tak tahu. ”Karena hal semacam itu harus didasarkan pada bukti kuat. Tidak bisa sembarangan,” kata mantan juru bicara Departemen Luar Negeri ini.
Meski Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menyatakan akan melakukan intervensi dalam perkara di Guernsey, bukan berarti tak ada masalah. ”Kita akan ikuti kasusnya. Detailnya sedang dikumpulkan,” kata Abdul Rahman. Keterangan yang diperoleh Kejaksaan memang amat sedikit. Bahkan jumlah pasti uang di rekening Tommy pun tidak diketahui.
Menurut Yoseph Suardi Sabda, pengadilan meminta bukti tertulis dalam intervensi. Masalahnya, tidak ada perkara korupsi yang melibatkan Tommy sebagai tersangka atau terpidana di Indonesia sekarang. ”Bukti lain yang bisa diajukan adalah menyangkut utang Tommy pada pihak ketiga, pemerintah, atau badan usaha pemerintah,” kata jaksa senior ini. Untuk soal terakhir ini, cukup banyak perkara Tommy. Ada juga usahanya yang bangkrut dengan menyisakan utang.
Sementara itu, pengacara Christopher Edwards ketika dihubungi Tempo mengaku telah mengajukan gugatan perdata ke pengadilan di Saint Peter Port, ibu kota Guernsey. Namun ia menolak diwawancarai per telepon. Pengacara lokal ini meminta daftar pertanyaan tertulis dikirimkan ke alamat surat elektroniknya. Hingga tulisan ini selesai dibuat, jawaban darinya tak kunjung diterima Tempo.
Semua bukti itu kini tengah dikumpulkan menjelang sidang 22 Januari nanti. Sejauh ini, Tommy selalu menang dalam perkara menyangkut duit negara yang pernah dinikmatinya. Dalam perkara Timor, gugatan menyangkut utang pajak Rp 1,3 triliun dimenangkan Tommy. Bahkan utang investasi Rp 4 triliun sudah dijual Badan Penyehatan Perbankan Nasional ke pihak ketiga. ”Mudah-mudahan, pengadilan di luar negeri bisa obyektif,” kata Yoseph berharap.
Arif A. Kuswardono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo