Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Minyak Dunia Kembali Membubung
HARGA minyak mentah dunia kembali gonjang-ganjing. Kali ini sumbu pemicunya adalah kekhawatiran bakal dijatuhkannya sanksi Dewan Keamanan PBB terhadap Iran setelah negeri ini dituding Amerika Serikat dan negara-negara Eropa mengembangkan senjata nuklir.
Pasar khawatir jika produsen minyak terbesar kedua di dunia ini kena sanksi PBB, akan terjadi krisis minyak. Negeri ini mengekspor minyak 2,5 juta barel per hari. Iran juga menguasai Selat Hormuz, jalur perdagangan penting di Timur Tengah.
Menurut analis Rand Corp., James Bartis, kalaupun nanti Iran hanya mengurangi sedikit pasokan ke pasar, misalnya setengah juta barel per hari, harga minyak tetap akan melonjak hebat. “Bisa melewati US$ 100 per barel,” ujarnya.
Akibat kekhawatiran itu, harga minyak dunia di bursa komoditas New York, Senin pekan lalu, sempat mencapai US$ 68,97 per barel. Namun, Kamis pekan lalu, harga minyak mentah ringan untuk pengiriman Maret turun menjadi US$ 66,26 per barel.
Ultimatum Perusahaan Pembiayaan
TIGA kali surat peringatan telah dilayangkan Direktorat Perbankan dan Perusahaan Pembiayaan, Departemen Keuangan, kepada 33 perusahaan pembiayaan. Ini disebabkan hasil audit laporan keuangan 2004 tak kunjung diserahkan oleh para pengelola dana investasi publik itu.
Surat peringatan ketiga disampaikan 13 Januari dan berlaku hingga 13 Februari. ”Jika dalam satu bulan tidak menyampaikan laporan audit, sanksinya pembekuan,” kata Ngalim Sawega, Direktur Perbankan dan Perusahaan Pembiayaan.
Sebelumnya, 10 perusahaan pembiayaan yang tak memenuhi persyaratan modal disetor minimum Rp 10 miliar telah dibekukan pada 11 Januari 2006. ”Pembekuan itu berlaku untuk enam bulan ke depan,” kata Ngalim. Dirjen Lembaga Keuangan, Darmin Nasution, menambahkan, sejumlah perusahaan juga sedang diperiksa karena tidak memenuhi aturan. ”Ada yang tidak memenuhi persyaratan modal,” katanya kepada Tito Sianipar dari Tempo.
Pengemplang BLBI Menyerah
SETELAH lari ke Singapura sejak 2002, Komisaris Utama PT Bank Indonesia Raya (Bira), Atang Latief, akhirnya menyerahkan diri ke polisi, Jumat pekan lalu. Pengemplang dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai Rp 170 miliar ini dijemput Komisaris Besar Benny Mamoto, anggota Satuan Tugas Pemburu Koruptor.
Menurut Kapolri Jenderal Sutanto, saat krisis keuangan mendera, Bank Bira milik Atang (Lauw Thin Ho alias Apyang) menerima kucuran BLBI Rp 325 miliar. Pada tahun 2000, ia membayar Rp 155 miliar dalam skema penyelesaian utang di Badan Penyehatan Perbankan Nasional.
Pemerintah saat itu, kata Sutanto, telah berjanji tidak akan memproses hukum para penerima BLBI. Namun, karena ada ancaman dari beberapa orang, Atang memutuskan pergi ke luar negeri. ”Atang khawatir proses hukum berjalan tidak adil,” ujarnya.
Juru bicara Mabes Polri, Komisaris Besar Bambang Kuncoko, menambahkan, status Atang selama ini orang bebas. ”Tapi punya tanggungan untuk menyelesaikan kewajiban kepada negara.” Setelah menyerahkan diri, Atang yang kini berusia 80 tahun akan langsung masuk ke rumah sakit. ”Mabes Polri akan berkoordinasi dengan kejaksaan untuk memproses status hukumnya,” kata Sutanto.
Suntikan Modal Bank Persyarikatan
NASIB baik menghampiri Bank Persyarikatan Indonesia (BPI). Bank milik Muhammadiyah ini baru-baru ini telah memperoleh tambahan suntikan modal Rp 169 miliar dari tujuh pemegang sahamnya, yang terdaftar pada 12 Januari lalu.
Suntikan modal itu berasal dari Bank Bukopin Rp 42 miliar, Mega Kapital Rp 35 miliar, Bakrie Kapital Rp 35 miliar, PT Jamsostek Rp 35 miliar, Emil Abeng Rp 5 miliar, Muhammadiyah Rp 9 miliar, dan PT Mitra Usaha Sarana Rp 8 miliar.
”Sehingga modal kami sekarang mencapai Rp 252 miliar,” kata Direktur Utama BPI, Syafril, kepada Astri Wahyuni dari Tempo. Ia menambahkan, suntikan modal itu merupakan upaya penyehatan BPI yang hingga kini masih dalam pengawasan intensif Bank Indonesia.
Dengan tambahan modal ini, otomatis BPI akan keluar dari daftar 27 bank yang bermodal kurang dari Rp 80 miliar. Bank sentral telah mengultimatum, kalau sampai akhir tahun depan, modal bank-bank ini tak juga beranjak naik melampaui batas itu, mereka harus turun derajat. Tak boleh lagi beroperasi sebagai bank umum dan devisa (lihat Tempo, 23 Januari 2006).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo