Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LIMA botol sampanye pemberian Putera Sampoerna hingga kini masih tersimpan rapi di PT Danareksa. Baru satu yang sudah ludes disesap ketika merayakan negosiasi pembelian PT Kiani Kertas yang di ambang sukses, 23 Desember lalu. Putera saat itu memang sedang happy. Pabrik bubur kertas yang dulu milik Mohammad ”Bob” Hasan di Kalimantan Timur itu tinggal selangkah lagi masuk ke genggamannya.
Pertanda sukses terpancar dari perundingan dengan Prabowo Subianto, pemilik baru Kiani, di gedung Bank Mandiri, pagi hari itu. Merasa tak ada lagi aral melintang, Putera pun langsung terbang ke Houston, Texas, Amerika Serikat, untuk berlibur akhir tahun.
Tak lupa enam botol sampanye dikirimkannya ke Danareksa, negosiator transaksi. ”Good job...! And thank you for helping me to invest my money,” kata Putera memberikan selamat kepada Lin Che Wei, Presiden Direktur Danareksa.
Jalan buat Putera kian lempang setelah pada 2 Januari lalu kesepakatan awal diteken Prabowo, Mandiri, dan Danareksa—wakil Sampoerna Strategic, perusahaan milik Putera. Isinya, Sampoerna siap membeli saham Kiani dari Prabowo US$ 200 juta, plus melunasi utang Kiani ke Mandiri US$ 201 juta.
”Kami telah menyetujui 98 persen persyaratan transaksi,” kata Putera dalam wawancara, Ahad malam dua pekan lalu. Sebagai tindak lanjut, draf perjanjian jual-beli utang bersyarat dikirim Danareksa ke Mandiri untuk ditandatangani pada 17 Januari.
Nah, di sini persoalan tiba-tiba muncul. Direksi Mandiri merasa isi perjanjian tidak melindungi kepentingannya. Draf revisi (counter-offer) pun disodorkan ke Danareksa pada 16 Januari. Tapi, apa lacur, Putera langsung berang dan memutuskan menghentikan negosiasi.
Gara-garanya, kata sumber Tempo, sederet persyaratan Mandiri tak realistis. Sampoerna diminta membayar tunai US$ 100 juta dan menyerahkan standby L/C US$ 101 juta begitu perjanjian diteken. Padahal Sampoerna telah menaruh US$ 300 juta di rekening Mandiri. Mandiri juga bisa membatalkan perjanjian secara sepihak, dan Sampoerna tak diberi akses penuh untuk uji tuntas (baca Tempo, 23 Januari 2006).
Untuk memperjelas sikapnya, Putera berkirim surat ke Menteri BUMN dan Menteri Kehutanan, Jumat dua pekan lalu. ”Saya belum menarik diri dari transaksi,” ujarnya. ”Yang saya lakukan menghentikan negosiasi.”
Salah satu sebabnya, ia tak kunjung mengantongi surat pernyataan Prabowo bahwa aset Kiani—yang sebelumnya ditawarkan ke United Fiber System Ltd. (Singapura) milik Wisanggeni Lauw, keponakan Prajogo Pangestu—free and clear. ”Sehingga menjadi jelas bagi saya, tak ada keinginan serius dari penjual dan ada keengganan dari kreditor,” katanya.
Soal tudingan ketakseriusan dirinya? ”Bagaimana mungkin?” kata Putera dengan nada tinggi. ”Saya sudah menaruh US$ 300 juta dan mempercepat kepulangan dari liburan di Texas.” Harga tawaran juga telah dinaikkan dari US$ 370 juta menjadi US$ 401 juta. Ia pun bersedia kena denda 5 persen jika transaksi batal.
Ini semua dilakukannya karena sebuah rencana besar. ”Kiani akan menjadi salah satu bisnis inti kami,” kata Putera, yang tahun lalu meraup US$ 2 miliar dari penjualan sahamnya di PT H.M. Sampoerna Tbk.
Sekretaris Korporasi Mandiri, Ekoputro Adijayanto, menyatakan counter-offer dimaksudkan untuk memperjelas komitmen Sampoerna. Sebab, dana simpanan US$ 300 juta itu baru disimpan Sampoerna di rekening biasa—bukan di rekening penampungan—yang tak diikat perjanjian apa pun. ”Dan soal ini pun tak diatur dalam draf perjanjian.”
Itu sebabnya, Sampoerna dimintai setoran tunai. ”Bagaimana mungkin hak tagih utang Kiani kami alihkan sebelum mendapat komitmen tunai?” kata Eko. ”Ini krusial, karena menyangkut risiko bank.” Lantas soal berbagai persyaratan lainnya? ”Itu kan bisa dinegosiasikan. Jadi tak benar kalau kami disebut unwilling creditor.”
Menanggapi tawaran terbaru Sampoerna, menurut Eko, pada dasarnya pihaknya membuka kesempatan kepada semua calon investor. ”Sepanjang ada proses negosiasi yang berkesinambungan dan komitmen untuk close the deal.”
Jika begitu, peluang tampaknya belum tertutup buat Sampoerna. Apalagi, seperti kata Said Didu, Sekretaris Menteri BUMN, buat pemerintah yang penting persoalan kredit macet Mandiri—yang masih sekitar Rp 25 triliun (23,4 persen)—dapat segera diselesaikan. ”Dan dari proposal yang masuk, Sampoerna paling siap.”
Metta Dharmasaputra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo