Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Berita Tempo Plus

Dalam Dekapan Mimpi Buruk

Ribuan anak korban banjir di Jember dan Banjarnegara menderita trauma. Mendengar suara kereta pun mereka ketakutan.

30 Januari 2006 | 00.00 WIB

Dalam Dekapan Mimpi Buruk
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Sekeluar dari ruang bedah Rumah Sakit PT Perkebunan Negara IX Jember, Jawa Timur, wajah Tedi Dwi Nurhidayat masih terlihat pucat. Rabu pekan lalu, dokter mengganti perban di kepala bagian belakang dan tangan kanannya. Bibinya, Waqiah, berusaha meraih untuk menggendongnya. Namun, si kecil minta diturunkan. ”Saya mau jalan kaki,” ujar bocah berusia lima tahun ini.

Dipapah Waqiah, 35 tahun, anak dengan kedua kaki penuh bekas luka dan telapak kaki pecah-pecah itu berjalan tertatih-tatih. Sesekali ia meringis menahan sakit menuju kamar inap yang jaraknya 100 meter dari kamar bedah. ”Ini baru pertama kali dia minta berjalan sendiri, biasanya selalu minta digendong,” kata Waqiah.

Tedi merupakan salah satu korban banjir bandang yang menimpa Desa Kemiri, Kecamatan Panti Jember, Jawa Timur, awal tahun ini. Musibah itu membuatnya kehilangan kedua orang tua dan saudara kandungnya, Rian Budiyanto, 16 tahun, yang hanyut tersapu air bah.

Menurut Waqiah, si keponakan ditemukan kakeknya, Yan, 45 tahun, keesokan harinya, sekitar delapan jam setelah banjir datang. Air bah yang diikuti tanah longsor datang dari pegunungan Hyang Argopuro, dan luapan air di Sungai Kaliputih menyapu desa mereka.

Dalam kondisi menggigil, Tedi ditemukan di atas pohon alpukat yang nyaris tumbang sekitar 300 meter dari rumahnya yang telah musnah tersapu lumpur. Seluruh tubuhnya terbalut lumpur tebal. Ketika tubuh bocah kecil itu dibersihkan, terlihat luka di sekujur tubuh, kepala, dan wajahnya. Luka robek sepanjang 15 sentimeter pada bagian belakang telinganya menganga merah. Diduga, luka ini akibat terkena hantaman kayu atau balok. Pangkal lengannya pun patah.

”Dia juga mengalami luka bagian dalam karena kemasukan air dan lumpur,” kata Ninik Setyowati, perawat di Rumah Sakit PT Perkebunan Negara. Setelah dua pekan dirawat di rumah sakit, kondisi Tedi mulai membaik. Namun, persoalan lain muncul. Anak pasangan almarhum Tono dan Paeni ini ternyata mengalami trauma.

Bocah yang dulunya periang itu kini menjadi pendiam. Dia tidak mau bicara kepada siapa pun kecuali bibinya. Sang bibi terpaksa berbohong tiap kali Tedi menanyakan keberadaan ibu, bapak, dan kakaknya. ”Saya takut dia semakin syok, makanya saya selalu bilang mereka sibuk bekerja,” kata Waqiah.

Nasib malang tak cuma menimpa Tedi. Fisik dan jiwa 2.000-an anak dan bocah berusia di bawah lima tahun yang tinggal di 15 tempat penampungan pengungsi yang tersebar di Kecamatan Panti, Sukorambi, Rambipuji, dan Kaliwates juga masih tertoreh luka.

Dinas Kesehatan Jember mencatat, jumlah korban yang menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) mencapai 1.908 orang. Penderita myalgia (sakit otot) 1.142 orang, diare 384 kasus, luka ringan 256 kasus, penyakit kulit 329 orang, gangguan mata dan telinga 80 orang, dan penyakit lainnya 1.081 kasus. Dari jumlah itu, 15 persennya adalah anak-anak. ”Semua kasus itu bisa kami tangani dengan baik,” ujar Kepala Hubungan Masyarakat Dinas Kesehatan Jember, Yumarlis.

Gangguan fisik lekas tertangani, tapi tidak demikian dengan luka di jiwa lantaran trauma. Beruntung sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) turun tangan membantu menanganinya. LSM Raudlatul Ulum dan Qur’ani, misalnya, membuka pos bantuan di Kecamatan Sukorambi. Mereka melakukan konseling dan mengajak anak-anak bermain dan bernyanyi bersama. ”Kami ajarkan mereka lagu-lagu religius agar mereka tenang,” kata Mohammad Zaini, relawan Qur’ani.

Salah satu bentuk trauma adalah berkecambahnya rasa ketakutan. Di Kecamatan Panti, sebagian anak-anak tak mau bersekolah. Sebagian lagi baru mau pergi ke sekolah jika salah satu orang tua mengantarkan dan menunggui mereka sampai selesai jam pelajaran. ”Anak-anak ketakutan jika harus terpisah dari orang tuanya, apalagi sekarang setiap hari turun hujan,” ujar Dokter Aris Prasetyo, relawan dari Bulan Sabit Merah, yang membuka pos bantuan di Kecamatan Panti.

Dosen di Universitas Jember itu menyarankan Dinas Kesehatan Jember dan Satuan Koordinasi Pelaksana Bantuan Bencana segera mendirikan pos penanganan trauma anak-anak setelah bencana yang menewaskan 120 orang itu.

Jika hanya mengandalkan bantuan LSM, ia khawatir hanya beberapa tempat penampungan pengungsi yang tertangani. Padahal banyak juga anak-anak yang tidak mengungsi karena orang tuanya memilih tinggal di rumahnya sendiri.

Contohnya terjadi di Dusun Sodung dan Dusun Gentong, Desa Kemiri, Kecamatan Panti. Kedua dusun itu berjarak 4 kilometer dari pos bantuan di Desa Kemiri. Sedikitnya 27 kepala keluarga di sana berikut puluhan anak-anak tidak mengungsi. Mereka bertahan tinggal di rumah masing-masing, kendati rumah itu sempat terendam banjir.

”Hampir setiap malam anak-anak menangis jika hujan deras,” ujar Aris, relawan yang sempat mendatangi Dusun Sodung. Di dusun ini terdapat 50 rumah yang selamat dari bencana air bah. Lokasinya cuma sekitar 200 meter dari jalur luapan air bah. Kondisi dusun ini sungguh memprihatinkan. Hampir setiap malam gelap-gulita karena listrik belum masuk ke sana. Sarana kesehatan pun tak ada.

Trauma tak cuma mendera anak-anak yang berada di tempat terpencil. Ratusan anak yang tinggal di gedung milik kantor Perusahaan Daerah Perkebunan dan di Balai Pendidikan dan Latihan Kabupaten Jember juga selalu dilanda cemas.

Kebetulan, tak jauh dari gedung itu ada lintasan kereta api. Jika ada kereta lewat, anak-anak langsung berlarian mendekap ibunya. ”Anak saya selalu menangis jika hujan deras. Apalagi jika mendengar suara sepur di tengah malam,” kata Sadiyah, 36 tahun, yang tinggal bersama 800 pengungsi lainnya di Balai Diklat Jember.

Beruntunglah, setelah dua pekan musibah banjir, Dinas Kesehatan Jember akhirnya mengirim tim psikiater gabungan dari Universitas Jember, Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Soebandi, dan RS Dokter Soetomo, Surabaya. Tim ini melakukan konseling dan mewawancarai seluruh korban, termasuk balita dan anak-anak.

Para korban ditanyai apakah takut jika mendengar hujan deras; apakah takut jika mendengar suara keras; hal-hal apa yang membuat mereka menjadi takut pascabencana longsor dan banjir; dan bagaimana cara mereka menghilangkan rasa takut itu. Jawaban semua pertanyaan itu akan dianalisis untuk mengetahui seberapa banyak korban yang mengalami post-trauma stress disorder (PTSD). Dari sana bisa diketahui terapi yang tepat untuk menyembuhkan mereka. Sayangnya, ”Hasil analisis baru bisa diketahui 4-6 bulan ke depan,” kata Kepala Dinas Kesehatan Jember, Dr Olong Fajri Maulana.

Trauma tak cuma mendera anak-anak di Jember, tapi juga di Banjarnegara, Jawa Tengah. Akibat bencana longsor, 14 anak di Desa Sijeruk, Banjarnegara, kehilangan orang tuanya. Kini mereka tinggal di rumah tetangga dan saudaranya. Bencana itu juga mengubur hidup-hidup 76 orang dan membuat 13 orang lainnya lenyap tak berbekas. Tanah setinggi 3-5 meter yang longsor itu juga menimbun 104 rumah.

Nasib malang antara lain dialami Eka Lusia, 2 tahun, yang kehilangan ibunya akibat bencana. Sang ibu terkubur saat bukit di belakang kampung Dusun Gunungraja, Desa Sijeruk, Kecamatan Banjarnegara, runtuh dan menimbun desa mereka 4 Januari lalu. Saat itu Juwariyah, sang ibu, tengah mencuci di kali, tak jauh dari rumah. Beruntung Eka bisa diselamatkan ayahnya, Juwarto, 38 tahun.

Sejak ibunya lenyap tertimbun longsoran tanah, Eka tak mau lepas dari gendongan bapaknya. Jika ada orang lain yang menggendongnya, ia selalu menangis. Juwarto terpaksa selalu berbohong jika gadis kecil itu menanyakan ibunya. ”Supaya enggak nangis terus, saya selalu bilang masih nyuci di sungai,” kata Juwarto.

Kisah tragis juga dialami Daryanti, siswi kelas satu Madrasah Tsanawiyah (setingkat sekolah menengah pertama) Banjarmangu, Banjarnegara. Gadis berusia 15 tahun ini kehilangan kedua orang tuanya. Saat longsor menimpa Desa Sijeruk, Daryanti masih melihat ibu dan bapaknya menyeret ia dan adiknya ke luar rumah. ”Tapi bapak-ibu saya teruruk tanah,” katanya sambil terisak.

Sejak itu, gadis periang ini menjadi pemurung. Bahkan ia sering menyendiri. Ketika ditemui Tempo di tempat pengungsian di Sekolah Dasar Sijeruk, Daryanti merapatkan tubuhnya ke sudut tembok. ”Dia hampir setiap hari begitu,” kata Ahmad, tetangganya.

Yono, relawan dari Children Center, menyatakan hampir semua pengungsi, termasuk anak-anak, mengalami trauma mendalam. Setiap kali hujan deras datang, mendadak para pengungsi yang berjumlah 200-an bangkit dari duduknya, lalu berlari ke luar ruangan. ”Para ibu langsung menggendong anak-anaknya dan siap berlari,” katanya. Tingkah laku orang dewasa ini membuat anak-anak cemas dan ketakutan.

Tak hanya itu, para pengungsi juga sering dihantui mimpi buruk. Hampir tiap malam ada saja yang berteriak: ”Awas, lemah ambruk,” ”Awas, longsor,” ”Tolong!” Teriakan itu tentu saja mengganggu kondisi kejiwaan anak-anak, terutama mereka yang menjadi yatim-piatu lantaran musibah. Mereka sering menjerit-jerit memanggil bapak dan ibu mereka yang sudah tiada.

Eni Saeni, Mahbud Djunaidy (Jember), Ari Aji H.S. (Banjarnegara)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus