Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bisnis Sepekan

14 November 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kontroversi Pajak Ekspor Batu Bara

SILANG pendapat antara Menteri Keuangan Jusuf Anwar dan Menteri Koordinator Perekonomian Aburizal Bakrie soal pajak ekspor batu bara kian runcing. Jusuf menolak usulan yang disetujui Aburizal bahwa pajak baru dikenakan jika harga batu bara di pasar internasional mencapai US$ 50 per ton. ”Sampai kodok berbulu pun harga batu bara tak akan sampai US$ 50,” kata Jusuf di kantornya, Jumat pekan lalu. ”Bilang saja tak mau bayar pajak!”

Menurut kalkulasi Direktur Jenderal Pajak Hadi Poernomo, jika patokan US$ 50 dipakai, bisa dipastikan perolehan pajak akan nol sehingga negara dirugikan. ”Potensi pajak yang hilang mencapai Rp 4 triliun,” katanya.

Perseteruan bermula dari dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan No. 95/PMK/02/2005, 11 Oktober lalu. Dalam peraturan baru itu ditetapkan pajak ekspor batu bara sebesar 5 persen, berapa pun harga jualnya. Padahal, selama ini ekspor batu bara bebas pajak. Kalangan pengusaha kontan menolak aturan itu. Departemen Energi pun mengatakan potongan pajak akan memberatkan pengusaha. ”Pengusaha-pengusaha kecil bisa mati,” ujar Poernomo.

Daihatsu Tambah Investasi

SETELAH Juli lalu berhasil meluncurkan produk mobilnya yang kesejuta unit, PT Astra Daihatsu Motor berencana meningkatkan kapasitas produksinya dari 114 ribu unit menjadi 150 ribu unit per tahun.

Menteri Perindustrian Andung A. Nitimihardja menjelaskan, Daihatsu akan membenamkan investasi US$ 70 juta (sekitar Rp 700 miliar). ”Pekerjaan penambahan kapasitas akan dilakukan mulai Desember 2005 hingga Maret 2007,” tuturnya.

Daihatsu memperhitungkan, penambahan investasi ini dapat menyerap 1.500 tenaga kerja baru sehingga total tenaga kerja Daihatsu pada 2007 akan mencapai 6.700 orang. Selain untuk pasar dalam negeri, Daihatsu juga menjual sebagian produksinya ke luar negeri.

Saat ini, perusahaan patungan antara Daihatsu dan Astra International itu telah mengekspor 3.200 unit Xenia per bulan dalam bentuk completely knockeddown ke Malaysia. Dengan investasi baru, diharapkan ekspor meningkat menjadi 4.000-4.500 unit per bulan. Daihatsu berniat pula menjual mobil dalam bentuk completely built-up ke Afrika Selatan, Meksiko, dan Filipina sejumlah 600-800 unit per tahun.

Garibaldi Jual Gajah Tunggal

GARIBALDI Venture Fund Limited melepas separuh kepemilikan sahamnya di PT Gajah Tunggal Tbk. Perusahaan dana investasi itu telah melego 22,47 persen sahamnya di Gajah Tunggal kepada Denham Pte. Ltd., yang berdomisili di Singapura.

Proses jual-beli saham berlangsung awal bulan ini dan telah dilaporkan ke Bursa Efek Jakarta. Dengan penjualan itu, kepemilikan Garibaldi di perusahaan produsen ban itu kini tinggal 21,11 persen.

Meski begitu, Garibaldi masih menjadi pemilik saham mayoritas. Sebab, porsi pemegang saham lainnya—Campagnie Financiere Michelin, Global Union Fiber Investment Ltd., dan publik—masih di bawah 20 persen.

Tak diketahui persis alasan Garibaldi menjual separuh sahamnya. Tapi, sejak membeli 78 persen saham Gajah Tunggal dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional pertengahan tahun lalu, kepemilikannya terus berkurang hingga kini. Sebelum dijual BPPN, Gajah Tunggal semula milik Sjamsul Nursalim.

Pertamina Tuntut Batavia Air

DIREKTUR Utama PT Pertamina, Widya Purnama, rupanya gerah juga dengan tudingan Batavia Air bahwa avtur yang dipasok perusahaan minyak milik negara itu dioplos dengan air. ”Saya komplain besar, saya akan tuntut balik,” katanya dengan nada berang.

Widya berkeras, Pertamina selalu menjalankan prosedur yang ketat dalam menyalurkan avtur ke perusahaan penerbangan. Ia pun yakin, dalam proses pembuatan avtur, ada saringan yang tak mungkin dilewati air.

Perseteruan antara Pertamina dan Batavia dipicu penemuan avtur yang bercampur air dalam tangki pesawat Boeing 737-200 milik Batavia Air pada 19 Oktober lalu. Diduga, air itu hadir saat pesawat mengisi bahan bakar di depo Pertamina di Bandar Udara Hasanuddin, Makassar.

Menurut hasil penelitian PT Sucofindo, kandungan air dalam avtur di pesawat itu mencapai 96,4 persen. Polisi segera bertindak. Hasilnya, empat karyawan Pertamina dijadikan tersangka dengan tuduhan mencampur avtur dengan air.

Menteri Energi, Purnomo Yusgiantoro, menyatakan kondensasi yang menimbulkan air dapat saja terjadi di luar pekerjaan pengisian avtur. Ia pun menegaskan, sejauh ini belum ada maskapai penerbangan yang merasa dirugikan oleh Pertamina berkaitan dengan pengisian avtur. ”Pertamina itu sudah mengisi ribuan pesawat, ini bukannya saya membela,” ujarnya.

Korupsi Tarif Terminal Pelabuhan

PEMERINTAH mulai berang menghadapi ulah sejumlah perusahaan pelayaran asing yang bandel menerapkan tarif lama bongkar-muat kargo di terminal (THC) seharga US$ 150. Padahal sejak 1 November mulai berlaku ketentuan baru pemerintah yang hanya mematok tarif US$ 95 per peti kemas ukuran 20 kaki. PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo), PT Jakarta International Container Terminal (PT JICT), dan Indonesian National Shipowners Association (INSA) pun sudah mengeluarkan surat edaran resmi yang menyatakan pemberlakuan tarif baru.

Menteri Perhubungan Hatta Radjasa menyatakan pelanggaran tarif itu merupakan indikasi korupsi. Karena itu, ”Saya akan memproses kasus ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi,” katanya, Jumat pekan lalu. Menteri Koordinator Perekonomian Aburizal Bakrie juga mengatakan, tindakan perusahaan asing yang menerapkan tarif lebih tinggi—dengan alasan untuk menutup pembayaran pungutan liar di pelabuhan—jelas merupakan praktek korupsi. ”Jika perusahaan asing melakukan korupsi di negara lain, mereka bisa kena ketentuan hukum di negaranya juga,” katanya.

Dewan Pemakai Jasa Angkutan Laut telah melaporkan tiga perusahaan pelayaran di Surabaya dan sembilan perusahaan di Jakarta yang melakukan pelanggaran. Mereka adalah Max Lines, Evergreen, dan Malaysia International Shipping Corporation (MISC) di Surabaya. Sedangkan di Jakarta adalah CMA CGM Shipping, Samudera Shipping Lines, Heung A Shipping, K-Lines, Hanjin, MISC, Kuanhai, dan Evergreen.

Telkom Tekan Utang Dolar

ANCAMAN fluktuasi kurs rupiah memaksa PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. terus berupaya menekan jumlah utang dolarnya. Manajemen perusahaan telekomunikasi itu menargetkan, dalam dua bulan mendatang bisa membayar utangnya US$ 150 juta atau sekitar Rp 1,5 triliun.

Dengan begitu, diharapkan rasio utang dolar Telkom saat tutup buku tahun ini susut menjadi tinggal 51 persen. Pada paruh kedua tahun ini, Telkom memang terus-menerus mengurangi utang dolarnya. Akibatnya, hingga akhir September lalu rasio utangnya dapat ditekan dari 62 persen menjadi 59 persen. Menurut Direktur Keuangan Telkom, Rinaldi Firmansyah, pada Oktober lalu, Telkom telah membayar utangnya US$ 50 juta. ”Secara berkala tiap bulan kami terus membayarnya,” ujarnya di Jakarta, pekan lalu.

Rinaldi menambahkan, sebenarnya utang tersebut baru jatuh tempo setelah 2010. Tapi manajemen ingin meringankan beban bunga yang mesti ditanggung. Adapun total utang Telkom dalam mata uang rupiah, dolar, dan yen mencapai Rp 15 triliun. Hingga akhir tahun nanti, utang dolar perusahaan ditargetkan tinggal US$ 700 juta.

Ekspor Gas Dikaji Ulang

PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan Menteri Purnomo Yusgiantoro mengkaji kelayakan perpanjangan penjualan gas alam cair alias liquefied natural gas (LNG) ke Jepang.

Purnomo mengatakan, Presiden memintanya mempresentasi kebutuhan gas dalam negeri. ”Presiden minta hal ini disampaikan dalam rapat kabinet terbatas,” kata Purnomo setelah mendampingi Presiden menerima manajemen Sumitomo Corporation.

Menurut Purnomo, Sumitomo menginginkan kontrak pembelian gas alam cair dari Bontang, Kalimantan Timur, sebesar 12 juta ton per tahun, diperpanjang. Kontrak pertama akan habis pada 2010.

Wakil Presiden Jusuf Kalla sebelumnya meminta sisa ekspor 6 juta ton ke Jepang dialihkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang bakal meningkat. Apalagi ada rencana pembangunan pipa transmisi gas dari Kalimantan Timur ke Jawa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus