Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Impor Udang Sampai Desember
TAK mau hanya dijadikan bulan-bulanan udang Cina dan Vietnam, pemerintah Indonesia buru-buru membatasi pasar udang impor. Sejak Amerika Serikat menutup pintu pasarnya untuk udang kedua negara itu dengan bea masuk tinggi, pasar Indonesia memang menjadi tujuan baru udang Cina dan Vietnam. Pemerintah akhirnya sampai pada kesimpulan: membatasi impor udang sampai Desember tahun ini.
Semula pemerintah berencana melarang impor udang atau mengenakan bea masuk tambahan 40 persen, seperti yang diusulkan pengusaha udang lokal. Menurut catatan Departemen Kelautan dan Perikanan, hingga Juni lalu, volume udang impor sudah mencapai 554 ton. Rabu pekan lalu, Menteri Rokhmin Dahuri menjelaskan, kurun waktu itu dipilih lantaran para petambak udang mulai panen secara nasional.
Meski masih dibuka, kegiatan impor udang ini tidak akan semudah sebelumnya. Setidaknya ada lima syarat sebelum udang impor bisa masuk pasar. Impor harus berbentuk produk olahan, importir harus menyerap semua produksi lokal dengan harga wajar, produk impor memenuhi kriteria mutu (bebas antibiotik dan penyakit), udang impor tidak dijual ke pasar lokal, dan dilarang melakukan transshipment langsung (pindah pengapalan).
Pemerintah mengaku tidak bisa menutup keran impor secara langsung karena permintaan pasarnya masih tinggi. Pengusaha udang olahan mengeluhkan pula terbatasnya pasokan udang lokal. Jadi, "Ini sudah baik bagi petambak udang dan pengusaha udang olahan," kata Menteri Rokhmin.
Di Tubir Deindustrialisasi
INI mungkin pekerjaan rumah berat bagi presiden mendatang. Indonesia diam-diam mengalami proses kemunduran industri atawa yang disebut "deindustrialisasi". Ukurannya "naif" belaka: ekspor industri manufaktur terus menurun, investasi langsung tak bergerak naik. Peringatan itu dilontarkan pengamat ekonomi dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi UI, Chatib Basri, Rabu pekan lalu.
Saat ini memang produk domestik bruto sudah mencapai level sebelum krisis. Namun hal itu lebih banyak didorong oleh kegiatan konsumsi. Investasi yang masuk pun lebih suka pada sektor nonmanufaktur, seperti perdagangan, properti, dan jasa. "Orang lebih suka mendirikan supermarket karena konsumsi besar menjadikan Indonesia pasar menarik," kata Chatib.
Ujung-ujungnya, sektor manufaktur sebagai mesin pertumbuhan ekspor melemah. Hasilnya pun tidak bisa kompetitif dengan pesaing yang kinerja ekspornya terus membaik. Dalam periode 1993-1997, produktivitas sektor manufaktur mencapai 3,47 persen, tapi pada periode 1998-2002 anjlok hingga minus 0,55 persen.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia, Sofjan Wanandi, sependapat dalam soal ini. Saran dia, pemerintah harus memperbaiki ekonomi biaya tinggi, menegakkan kepastian hukum, serta membuat kebijakan perburuhan yang mendorong produktivitas kerja dan daya saing produk. "Kalau gejala deindustrialisasi ini dibiarkan, Indonesia akan menghadapi krisis sektor riil," katanya.
Stok BBM Menurun Aman
AWAS, jangan berlebihan mengkonsumsi bahan bakar minyak. Saat ini kemampuan PT Pertamina memasok BBM di Tanah Air semakin turun. Badan usaha milik negara itu hanya mampu menyediakan stok BBM nasional sampai 21 hari, padahal biasanya 24-25 hari. Bahkan stok BBM tertentu seperti premium, solar, dan minyak tanah di tujuh depo mencapai level kritis.
Tapi Deputi Pemasaran Direktorat Hilir PT Pertamina, Rachmat Dradjat, menjelaskan kondisi pasokan BBM di Tanah Air masih aman. Apalagi Pertamina menganut sistem in-out. Artinya, selalu ada pengganti stok BBM yang keluar. Saat in stok malah sudah meningkat menjadi 22,1 hari. "Stok BBM masih aman karena masih di atas 19 hari," kata Rachmat kepada TEMPO, Kamis pekan lalu, "Di bawah itu baru kritis."
Akan halnya tujuh depo yang stoknya kritis, ia menyebutkan antara lain depo di Sibolga, Sumatera Utara, di Bali, dan di Pangkalanbun, Kalimantan Tengah. Meski begitu, Pertamina menerapkan early warning system, sehingga stoknya selalu ada dan tidak habis. Keterganjalan stok itu, katanya, semata karena kendala transportasi.
Sehari sebelumnya, Manajer Humas Pertamina Hanung Budya menyatakan bahwa kemampuan Pertamina memenuhi stok pada batas aman sulit dilakukan belakangan ini. Soalnya, keuangan Pertamina untuk membeli BBM impor sangat terbatas. Seperti diketahui, hampir 25 persen kebutuhan BBM nasional diimpor. Dana untuk membeli BBM impor inilah yang tidak dimiliki perseroan.
Rencana pencairan dana subsidi BBM bulan Juni senilai Rp 5,1 triliun, seperti dijanjikan Departemen Keuangan, hingga medio Juli tak kunjung turun. "Bila dalam satu-dua pekan ke depan pencairan dana subsidi masih berlarut-larut, baru Pertamina kesulitan menjaga stok BBM nasional," katanya. Untunglah Kamis pekan lalu Departemen Keuangan mencairkan sebagian dana subsidi BBM Juni sebanyak Rp 2,38 triliun. Sisanya akan ditentukan setelah pembahasan Pertamina dengan Departemen Keuangan rampung, yang dimulai pekan ini.
Pertamina Siap Bayar Karaha
SENGKETA bisnis dengan Karaha Bodas Company yang menggerogoti keuangan Per-tamina mulai mendekati babak final. BUMN satu-satunya di sektor minyak dan gas, petrokimia, dan panas bumi ini bersedia membayar ganti rugi kepada pengembang proyek panas bumi asal Amerika Serikat itu. Sesuai dengan keputusan badan arbitrase internasional pada Desember 2000, Pertamina dinyatakan kalah dan harus membayar ganti rugi senilai US$ 261 juta. Lantaran beban bunga, kini nilai itu menjadi US$ 294 juta.
Menurut Komisaris Pertamina Roes Aryawijaya, Pertamina akan membayar ganti rugi Karaha Bodas sebesar US$ 294 juta bila memang dinyatakan kalah. Pertamina juga tidak akan meminta bantuan dana dari pemerintah untuk menyelesaikan kewajiban itu. "Kalau Pertamina memang dinyatakan kalah, ya, harus memenuhi kewajiban," kata Roes, Kamis pekan lalu.
Meski begitu, Pertamina masih berharap bisa memenangi sengketa bisnis ini. Kini harapan itu digantungkan pada Mahkamah Agung New York dengan meminta kasasi. Meski tipis, peluangnya tak sama sekali tertutup. "Masih ada kemungkinan menang bagi Pertamina," ujarnya. Pemerintah secara tegas menyatakan memang Pertamina sendiri yang harus membayar ganti rugi itu. Kalau pemerintah ikut menanggung, dana pemerintah yang tertahan di 12 rekening Pertamina di Bank of New York dan Bank of America akan sulit dicairkan.
M. Syakur Usman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo