Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bisnis Sepekan

28 Juni 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Boediono Semprit Pertamina

Kasus penjualan dua unit tanker raksasa Pertamina terus bergulir. Menteri Keuangan Boediono menegaskan, Pertamina seharusnya melapor ke Departemen Keuangan terlebih dahulu sebelum menjual dua tanker berbobot mati 260 ribu ton itu.

Konsultan tender yang ditunjuk Pertamina, Goldman Sachs, pekan lalu sudah memberikan rekomendasi kepada Pertamina agar menunjuk Frontline Ltd. dari Amerika Serikat sebagai pemenang tender karena memberikan harga penawaran tertinggi, US$ 184 juta (Rp 1,65 triliun, kurs Rp 9.000 per dolar AS).

"Prinsipnya memang tak perlu izin, tetapi sebaiknya ada persetujuan proforma karena Pertamina masih dalam masa transisi menjadi perseroan," kata Boediono dalam rapat anggaran di Panitia Anggaran DPR, Rabu pekan lalu.

Dan penilaian kembali atau revaluasi seluruh aset Pertamina hingga kini belum tuntas. Jadi, jika suatu saat Badan Pemeriksa Keuangan mengaudit penjualan tersebut dan ternyata ada proses yang salah, Pertamina harus bertanggung jawab mengganti kerugian negara.

DVD Kena Cukai

Pemerintah kelihatannya makin gemar saja mengais-ngais duit dari masyarakat. Buktinya, produk rekaman seperti kaset, compact disk (CD), video compact disk (VCD), digital video disc (DVD), dan laser disc (LD) akan dikenai cukai. Padahal selama ini barang-barang itu sudah dikenai pajak pertambahan nilai (PPN).

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Eddy Abdurrachman beralasan, pengenaan cukai untuk melindungi industri rekaman di Tanah Air. Sebab, saat ini 90 persen produk rekaman di pasar adalah bajakan.

Tujuan lainnya, meningkatkan pendapatan negara. Survei Departemen Keuangan menunjukkan, jika diasumsikan setiap produk rekaman kena cukai Rp 750 dan persentase produk yang terkena 30 persen, pendapatan negara akan bertambah Rp 98,41 miliar per tahun.

Bila persentase barang yang dikenai cukai 40 persen, pendapatan negara menjadi Rp 122,35 miliar. Dan Jika 50 atau 60 persen, pendapatan negara lebih besar lagi, masing-masing Rp 146,29 miliar atau Rp 170,2 miliar.

Tanah BPPN Tak Layak

Aset properti bekas Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang ditawarkan ke Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah ternyata masih bermasalah. Dari aset tanah seluas 2,7 juta meter persegi yang ditawarkan, hanya 14 persen, atau 368 ribu meter persegi, yang layak dibeli.

Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Soenarno menjelaskan, kriteria layak beli adalah tanah itu mempunyai sertifikat tanah dan didukung surat-surat lengkap. "Aset tanah itu juga tidak memenuhi syarat tata ruang," kata Soenarno, seperti dikutip Tempo News Room, Kamis pekan lalu.

Departemen Permukiman meminati tanah seluas 66.877 meter persegi di Bandung, dan dua lokasi di Palembang seluas 154.090 dan 147.571 meter persegi. Selain itu, juga diminati tujuh lokasi yang akan dimanfaatkan sebagai perumahan pegawai negeri sipil.

Sesuai dengan keputusan Komite Kebijakan Sektor Keuangan, Departemen Permukiman diizinkan membeli tanah BPPN dengan harga 20 persen dari harga standar. Dananya berasal dari Badan Pengelola Bantuan Perumahan, yang saat ini mencapai Rp 2 triliun. Dari jumlah tersebut, Departemen Permukiman menganggarkan Rp 44 miliar untuk pembelian aset bekas BPPN.

BDB Masih 'Hidup'

Repot nian Bank Indonesia menghadapi PT Bank Dagang Bali (BDB). Sudah salah urus dan jebol kanan-kiri, para pengelolanya tetap saja tak rela BDB ditutup.

Dan ternyata Pengadilan Tata Usaha Negara di Jakarta melalui putusan selanya memenangkan mereka, dan proses pembubaran harus ditunda. Pengadilan memerintahkan agar operasional BDB dikembalikan ke pengurus lama.

Terang saja bank sentral kecewa. Mereka akan melakukan upaya hukum apa pun yang diperlukan untuk melawannya. Proses likuidasi harus tuntas. "Kami akan banding sampai putusan terakhir. Kalau sudah begini, hati nurani yang harus digunakan," kata Deputi Gubernur Senior BI, Anwar Nasution, pekan lalu.

Untuk itu, tim hukum bank sentral sedang mengkaji berbagai kemungkinan yang ada. Sebab, menurut Anwar, keputusan membubarkan BDB dan PT Bank Asiatic didasarkan atas penyimpangan yang dilakukan oleh pengurus bank. "Kami tidak akan membiarkan orang-orang itu. Kami tidak akan mengizinkan satu sen pun uang rakyat digunakan untuk yang tidak-tidak," kata Anwar.

Apa pun keputusan PTUN, katanya, proses likuidasi berikut pembayaran dana nasabah BDB tidak akan dihentikan. Bank sentral juga tidak akan mengakui pemegang saham lama karena mereka sudah tidak lulus fit and proper test. "Kami sudah melaporkan mereka ke pihak yang berwajib," ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus