Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sembilan smelter di Kawasan Industri Ketapang, Kota Pangkalpinang, Bangka Belitung, Jumat, 5 April 2024, tak terlihat kegiatan produksi sama sekali.
Para pemilik smelter khawatir mengolah pasir timah ilegal seperti yang tengah diusut aparat penegak hukum di tengah masifnya pertambangan timah ilegal di Bangka Belitung.
Tak beroperasinya smelter membuka risiko penyelundupan timah di Bangka Belitung.
PABRIK-pabrik peleburan atau smelter timah di Kawasan Industri Ketapang, Kota Pangkalpinang, Bangka Belitung, senyap. Dari pantauan Tempo di sembilan smelter, Jumat, 5 April 2024, tak terlihat kegiatan produksi sama sekali.
Pintu masuk ke smelter-smelter tertutup rapat. Dari dalam terlihat hanya beberapa orang yang mengenakan pakaian satuan pengamanan sedang duduk. Ketika dihampiri, mereka mengatakan hanya karyawan outsourcing yang ditugaskan menjaga aset smelter. Sudah beberapa bulan ini tidak ada aktivitas, baik pengiriman pasir timah maupun proses peleburan timah.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang dan Pengolahan Pasir Mineral Indonesia Rudi Syahwani mengkonfirmasi hampir semua pabrik peleburan timah di Bangka Belitung tutup, setidaknya sejak tiga bulan terakhir. Dia mencatat hanya Arsari Group—perusahaan milik Hasjim Djojohadikusumo—yang beroperasi. Itu pun baru-baru ini saja.
Menurut Rudi, tutupnya smelter dipicu masalah administrasi. Pemerintah baru menyetujui rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) perusahaan tambang pada akhir Maret lalu. Normalnya, persetujuan terbit pada awal tahun. Konsekuensinya adalah nihil pasokan timah untuk diolah.
RKAB merupakan dokumen yang disusun perusahaan pertambangan setiap tahun. Dokumen ini diajukan untuk disetujui oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). RKAB menjelaskan rencana pertambangan, dari eksplorasi, gali-muat angkut, pengolahan-pemurnian, hingga tahap pemasaran, baik untuk domestik maupun tujuan ekspor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang warga melakukan penambangan untuk mencari sisa pasir timah di lokasi bekas tambang liar di kawasan Hutan Lindung Pantai Penyusuk Belinyu, Bangka Belitung, 2013. TEMPO/Iqbal Lubis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat, Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Tri Winarno menyatakan sudah ada persetujuan RKAB per 26 Maret lalu. Namun baru 15 RKAB perusahaan yang disetujui dengan kapasitas produksi sebesar 46.444 ton. Tahun lalu, kapasitas produksi tambang timah mencapai 74 ribu ton.
Meski pemerintah sudah menyetujui rencana produksi ini, Rudi mengatakan, tidak semua pemilik smelter berani langsung beroperasi lagi. Sebagian besar dari mereka tiarap setelah Kejaksaan Agung mengusut dugaan korupsi timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk selama periode 2015-2022.
Menurut Rudi, para pemilik smelter khawatir mengolah pasir timah ilegal seperti yang tengah diusut aparat penegak hukum di tengah masifnya pertambangan timah ilegal di Bangka Belitung. "Mereka menyadari tidak mengolah timah dari IUP mereka sendiri," ujarnya kepada Tempo, kemarin.
Tutupnya smelter ini tecermin dari kinerja ekspor timah Indonesia. Badan Pusat Statistik Bangka Belitung mencatat realisasi ekspor timah pada Januari-Februari 2024 nihil. Padahal, tahun lalu, ekspor bisa mencapai kisaran 4.000 ton pada periode yang sama. Akibatnya, ekspor timah nasional sampai 5 April 2024 cuma 54.464 kilogram. Sebab, Bangka Belitung merupakan produsen timah terbesar di Indonesia.
Di tengah kondisi ini, Rudi mengingatkan pemerintah agar waspada. "Ada risiko penyelundupan timah," ujarnya. Pasalnya, kegiatan penambangan timah rakyat tak berhenti. Buat masyarakat Bangka Belitung, aktivitas ini merupakan salah satu sumber pendapatan utama.
Ketika smelter tidak bisa menampung hasil tambang mereka, ada potensi muncul penampung gelap. "Letak geografis Bangka Belitung sangat memungkinkan untuk itu."
Dino, penambang timah di Kecamatan Simpang Katis, Kabupaten Bangka Tengah, mengakui mulai kesulitan menjual pasirnya setelah smelter menutup diri. Dia masih punya opsi untuk bertransaksi dengan kolektor. Tapi pengepul ini memasang harga yang kurang menarik.
"Harga jual pasir yang ditawarkan para pengepul malah membuat kita rugi karena biaya operasional yang dikeluarkan lebih besar," ujarnya. Upaya negosiasi meminta harga sedikit lebih tinggi pun gagal lantaran para pengepul tidak berani membeli dalam jumlah banyak.
Menurut Dino, timah basah saat ini hanya dihargai Rp 110 ribu per kilogram. Sedangkan untuk timah kering di harga Rp 205 ribu per kilogram. Nilainya jauh dari harga normal timah basah yang bisa mencapai Rp 170-190 ribu per kilogram dan timah kering Rp 270-290 ribu per kilogram.
Dino juga tidak bisa menjual hasil tambangnya ke PT Timah lantaran perusahaan hanya mengolah timah dari IUP mereka. "Di luar itu, mereka tidak mau," katanya.
Area pertambangan timah terlihat dari udara di Kabupaten Belitung, 2011. TEMPO/Imam Sukamto
Penyelundupan Timah
Kekhawatiran Rudi terbukti nyata. Pada 15 Maret lalu, Kepolisian Resor Bangka Barat menangkap tiga tersangka dugaan penyelundupan timah. Mereka adalah pemilik pasir timah, pemilik gudang, dan pemilik kapal yang akan membawa pasir tersebut.
Aparat menemukan 273 karung berisi pasir timah dengan berat total 10,037 ton di Pantai Mentigi, Desa Teluk Limau, Kecamatan Jebus, Kabupaten Bangka Barat. Menurut Kepala Polres Bangka Barat Ajun Komisaris Besar Ade Zamrah, para tersangka berencana menyelundupkan komoditas tersebut ke luar negeri. "Kita masih mengembangkan kasus ini dengan memburu pihak lain yang diduga terlibat," ujarnya. Ada tersangka yang diduga berperan sebagai orang yang membuka jalur penyelundupan.
Berhentinya operasi smelter dan penyelundupan mengancam bisnis timah Bangka Belitung. Sebab, provinsi ini sangat bergantung pada komoditas tersebut.
Penjabat Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, Safrizal Zakaria Ali, memperkirakan ada imbas terhadap pendapatan daerah. Sepanjang 2023, ekspor timah berkontribusi 72,2 persen dari total ekspor provinsi ini. Sementara itu, sampai Februari ini, tidak ada sumbangan sama sekali dari timah. "Multiplier effect-nya adalah daya beli masyarakat yang berprofesi sebagai penambang rakyat menurun. Pasar-pasar lebih sepi pembeli," katanya kepada Tempo.
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Bangka Belitung Edih Mulyadi mencatat produk domestik regional bruto (PDRB) Bangka Belitung dalam empat tahun terakhir didominasi sektor timah serta pengolahannya pada 2023. Kontribusinya mencapai 13,5-16 persen terhadap total PDRB Bangka Belitung.
Selain itu, warga Bangka Belitung yang bekerja di sektor terkait dengan timah mencapai 16,54 persen, kedua terbesar setelah sektor pertanian. Artinya, saat industri timah menurun, ada risiko tambahan pengangguran di provinsi tersebut. Hal ini bisa mempengaruhi tingkat kemiskinan. Biaya hidup di wilayah tersebut tinggi, sebesar Rp 13,6 juta per orang per tahun. Angkanya jauh di atas biaya hidup secara nasional yang cuma Rp 12 juta per orang per tahun.
Di sisi lain, aktivitas penambangan dan pengolahan timah mendatangkan penerimaan negara melalui pajak, royalti, penerimaan negara bukan pajak (PNBP), serta dana bagi hasil (DBH) yang diterima pemerintah daerah. Pada 2023, royalti dari aktivitas tersebut sebesar Rp 827,29 miliar dan penerimaan pajaknya mencapai Rp 879,8 miliar. Penerimaan ini berkontribusi 37,91 persen terhadap total penerimaan negara dari sektor sumber daya alam yang mencapai Rp 4,48 triliun pada 2023.
Provinsi Bangka Belitung juga menerima DBH Rp 974,61 miliar pada 2023. Edih memperkirakan nilainya turun drastis pada tahun ini. "Kasus yang sekarang berjalan berpengaruh terhadap sektor timah sehingga penerimaan negara diprediksi turun. Akibatnya, DBH yang dibagikan juga turun," katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Servio Maranda berkontribusi pada penulisan artikel ini.