Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BANDUNG – Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyatakan belum mengubah target produksi Blok Masela pada 2027. Lembaga itu optimistis berbagai kendala dalam mengeksploitasi cadangan gas di sekitar Laut Aru bakal diselesaikan pada akhir tahun ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu kendala Blok Masela adalah sulitnya menggandeng investor. Shell Upstream Overseas Services Limited, yang bermitra dengan Inpex Corporation untuk mengembangkan lapangan tersebut, memutuskan hengkang dua tahun lalu. Upaya menjual 35 persen saham milik Shell tak kunjung membuahkan hasil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saham Shell belum dilirik antara lain karena urusan emisi. Dengan tren transisi ke energi terbarukan, investor pun lebih senang mengeluarkan dana untuk proyek-proyek bersih. “Makanya mereka berusaha mengajukan penggunaan CCUS (carbon capture, utilization, and storage) dalam proposal sekarang,” ujar pelaksana tugas Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas, Mohammad Kemal, kemarin.
Proposal baru yang mencantumkan pemanfaatan teknologi tangkap karbon dioksida itu akan diselesaikan akhir tahun ini. Kemal menyatakan urusan mitra baru Inpex juga bakal rampung sebelum 2022 berakhir. “Sehingga kita masih akan tetap menargetkan produksi untuk 2027.”
Menurut Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, Presiden Joko Widodo telah meminta langsung untuk mencari pengganti Shell. Prosesnya diklaim masih berlangsung karena perusahaan yang dicari tak hanya harus kuat dari sisi modal, tapi juga mampu menyamai kemampuan teknologi Shell. Untuk memenuhinya, Bahlil memperkirakan pengganti Shell bukan hanya satu perusahaan.
“Kami mencari konsorsium di dalamnya itu adalah INA (Indonesia Investment Authority), Pertamina, dan ada beberapa perusahaan lain yang berminat,” kata Bahlil. Dia menyatakan kemungkinan besar anggota lainnya merupakan perusahaan asing. Mereka nantinya disatukan untuk kemudian mengambil alih peran Shell.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif menyatakan Pertamina sedang menimbang kemampuan mereka untuk bergabung di Blok Masela. “Baik untuk masuk sendiri maupun dengan perusahaan lain,” kata Arifin.
Pertamina Siap Bergabung dengan Inpex
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati. ANTARA/Aditya Pradana Putra
PT Pertamina (Persero) sudah menyatakan minatnya bergabung dengan Inpex. Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menyatakan timnya sedang melakukan uji tuntas atas investasi tersebut. “Kami melakukan commercial feasibility tentang harga dan sebagainya,” kata Nicke dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi Energi DPR pada 9 September lalu.
Dimintai konfirmasi mengenai perkembangannya, Sekretaris Perusahaan Pertamina Hulu Energi, Arya D. Paramita, menyatakan pengkajian masih berjalan. “Pertamina terus menjalin komunikasi dengan pemangku kepentingan terkait,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Migas Nasional, Moshe Rizal, mengingatkan Pertamina untuk tak gegabah mengambil keputusan investasi di Blok Masela. Dia menyatakan tantangannya besar, terutama dengan beban perseroan yang sekarang mengelola lapangan-lapangan tumpuan produksi minyak dan gas. “Kalau memang Pertamina mau ambil, saya sarankan tidak sendiri, tapi mencari mitra yang setara atau lebih kuat dari sisi keuangan dan teknologi,” katanya.
Menurut Moshe, sejauh ini tak banyak investor yang tertarik pada proyek blok migas karena biaya investasinya yang besar untuk tahap pengembangan. Dia mencatat butuh sekitar US$ 20 miliar sampai akan mulai produksi. Sementara itu, proses komersialisasi di lapangan baru akan terjadi lima tahun kemudian. Di sisi lain, belum ada kepastian soal penyerapan gasnya di dalam negeri.
Tertunda Sejak Pindah ke Darat
Moshe mengatakan tersendatnya investasi di Blok Masela harus menjadi catatan pemerintah. Proyek strategis nasional ini terus tertunda sejak skema pembangunannya diubah. Inpex dan Shell mengajukan pengembangan Blok Masela di lepas pantai. Namun Jokowi memerintahkan agar rencana skema offshore itu dialihkan ke darat. Dari sisi investasi, fasilitas di darat lebih mahal sekitar US$ 15 miliar dibanding di laut lepas. Shell pun hengkang.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, juga berpendapat perubahan skema proyek di Blok Masela menjadi penyebab proyek terus molor. “Ini bisa jadi pelajaran berharga. Jangan sampai sesuatu yang sudah jalan tiba-tiba ditarik mundur, kemudian malah tidak jalan,” ujarnya.
Komaidi mengatakan Shell sudah cukup ideal sebagai mitra. Saat ini sulit mencari mitra yang ideal lantaran investor akan bersikap menunggu setelah melihat langkah pemerintah mengubah skema. “Shell punya teknologi, punya modal, dan bujet besar,” ucapnya.
Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, menilai Pertamina sebagai perusahaan negara sudah seharusnya bergabung di Blok Masela. Sebab, selama ini Pertamina hanya masuk sebagai investasi terminasi blok yang sudah selesai masa kontraknya. Dia menyebutkan sekarang-lah momentum yang tepat bagi Pertamina untuk masuk. “Masalahnya apakah Pertamina berani atau tidak?”
ERLITA NOVITANIA | VINDRY FLORENTIN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo