Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Bog-Bog, Lucunya Tidak Bohong

Bog-Bog satu-satunya majalah humor yang tersisa. Pasar terbesarnya orang asing.

26 Maret 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Uang dolar seukuran poster film tertempel di dinding. Bukan muka mantan Presiden Amerika Serikat George Washington yang terpampang, melainkan senyum Made Bogler, ikon majalah Bog-Bog, lengkap dengan gigi tonggosnya. Di bawah gambar itu tertulis ”One Bogllar”, pelesetan dari nama Bogler.

Dari kantor redaksi di Jalan Kedondong I Nomor 3, Denpasar, itulah nama Bog-Bog dikenal jauh melampaui Bali. Bog-Bog adalah nama majalah humor, terutama berisi kartun. Bog-Bog sekaligus menjadi satu-satunya majalah humor yang masih hidup di Indonesia, setelah majalah Humor kandas pada 1995. Awal April nanti, usia Bog-Bog akan genap enam tahun.

Pada 2000, Jango Pramartha, 41 tahun, alumnus Universitas Udayana, Bali, Cece Riberu, dan Putu Ebo mendirikan majalah itu. Ketiganya sudah malang melintang di media cetak lokal sebagai kartunis dan sudah beberapa kali berpameran, di antaranya sampai ke Australia. Bosan menyindir dunia politik di koran, mereka bertiga sepakat banting setir membuat majalah humor.

Ide nama didapat Jango, Direktur Bog-Bog, dari tulisan stiker ”Don’t Say Bog Twice, Because It Means Bullshit” di sebuah toko kaus oblong di Kuta. Turis-turis yang membaca, kata Jango, malah berteriak ”bog-bog” keras-keras. Kedengarannya enak, dan akrab di telinga orang Bali. Jadilah Bog-Bog menjadi nama majalah mereka.

Trio ini kemudian memilih 1 April—hari kebohongan sedunia, saat setiap orang ”sah” berbohong—untuk meluncurkan edisi perdana majalah ini. Pas dengan arti bog-bog, yang dalam bahasa Bali berarti bohong.

Modal edisi pertama berasal dari kantong Cece, yang menang lomba desain, ditambah pendapatan iklan, yang tak lebih dari Rp 30 juta. Awalnya, Jango khawatir, jangan-jangan Bog-Bog dianggap pembohong betulan dan dijauhi pembaca. Tapi ia terus saja. ”Karena nama itu gampang diingat,” katanya.

Sebagai ikon, mereka memilih Made Bogler. Tokoh rekaan karya Cece ini mewakili orang Bali kampung, bersahaja dengan kain kotak-kotak hitam putih, bertelanjang dada, dan memakai udeng, ikat kepala khas Bali. Wajah-nya yang kekanak-kanakan dan selalu tertawa hingga tampak gigi besarnya muncul di setiap sampul.

Penampilan Bogler pun disesuaikan dengan tema yang diangkat majalah tersebut. Misalnya, ketika Bog-Bog mengambil tema bulan, si maskot tampak mengenakan baju astronot, tapi tetap pakai udeng. Topik yang lain pun senada, mengenai bulan.

Ada juga kartun: mula-mula gelap-gulita, yang tampak hanya sepasang mata melotot, lalu berpikir dan bertanya-tanya. Kemudian tampak sinar lampu senter menyoroti stop kontak di dinding. Tangan Bogler mencolokkan steker, dan jreng… menyalalah bulan purnama menerangi Bogler dan pura di belakangnya. Dalam edisi itu juga dimunculkan kartun dengan gambar dua astronot yang kebingungan membaca peta dan bertanya kepada seorang penduduk desa berpakaian tradisional Bali tentang arah Desa Batu Bulan.

Atau pada saat Bog-Bog meluncurkan edisi serangga sebagai topik. Bogler nampang dengan pakaian lebah. Dalam edisi ini juga ditampilkan berbagai pelesetan tentang serangga. Which fly makes films? (Lalat apa yang bisa membuat film?) Stephen Speilbug! Atau: What is the most religious insect? (Serangga apa yang paling religius?) Mosque-ito!

Nah, untuk edisi Maret ini, redaksi memilih cerita sampul tentang hari raya. Pada bulan ini memang ada hari raya Nyepi, yang jatuh pada 19 Maret. Jonathan, turis asal Selandia Baru yang beberapa kali datang ke Bali, adalah seorang penggemar Bog-Bog. Dia pun tertawa ketika melihat salah satu halaman Bog-Bog yang berisi gambar seorang pria menunjuk tanggal perayaan Galungan, salah satu hari raya di Bali, di kalender. Di sampingnya, seekor babi menggigil ketakutan. Di Bali, Galungan memang sekaligus dikenal sebagai ”hari pemotongan babi sedunia”.

Bog-Bog semula memang menggunakan bahasa Inggris karena yang menjadi sasaran utama pasarnya adalah para turis. Para penggagasnya punya misi ingin mengaitkan budaya Bali dengan dunia. Hal itu selalu tecermin dalam rubrik surat dari redaksi. Namun, sejak sekitar setahun lalu, Bog-Bog memuat juga terjemahan dalam bahasa Indonesia,

Pada awal terbit, Jango sa-ngat yakin majalahnya bakal menuai sukses. Empat edisi pertama yang dibagikan gratis di kafe-kafe atau hotel selalu ludes. Selidik punya selidik, ternyata sebagian majalah itu dibawa pulang para pegawai kafe dan hotel sehingga tak sampai ke tangan turis.

Jango dan kawan-kawan pun memutuskan menjual Bog-Bog mulai edisi kelima, Rp 5.000 per eksemplar. Eh, oplahnya malah naik dari 3.000 sampai 12 ribu eksemplar—sekarang harga Bog-Bog di Bali Rp 7.500 dan di luar Bali Rp 15 ribu. Malang tak dapat ditolak, bom Bali meledak pada Oktober 2002, dan turis asing takut datang ke Pulau Dewata. Oplah Bog-Bog pun terjun bebas.

Napas majalah itu kembali lancar setelah ada investor baru yang menyuntikkan modal. Tahun lalu, mereka mendapatkan hak paten untuk nama Bog-Bog. Bahkan, menurut Jango, ada ratusan pekerja asing di Jakarta yang gara-gara melihat dan membaca Bog-Bog ketika berlibur ke Bali menjadi pelanggan majalah bulanan ini. ”Bahkan beberapa artis kita, seperti band Gigi, juga berlangganan,” kata Jango.

Sekarang Bog-Bog diawaki sepuluh kartunis tetap, yang wajib datang hanya menjelang tenggat, tanggal 5 tiap bulan. Porsi iklan yang tak pernah lebih dari 30 persen—dari 34 halaman majalah—membuat Jango melebarkan bisnisnya untuk menyokong hidup majalah ini. Ia mendirikan perusahaan periklanan Bog Design, juga Bog-Bog Bali Cartoon Arcade yang menjual kaus dan aksesori Bog-Bog.

Selain mengembangkan bisnis untuk tetap bertahan hidup, redaksi Bog-Bog tak lupa berhati-hati. Meskipun, kata Jango, tak ada yang tabu dikartunkan di Bali, bila menyerempet agama, ”Kami pasti berkonsultasi dengan para pedanda (pendeta) Hindu,” katanya. Ya, tentu saja agar Bog-Bog tidak dianggap bog-bog beneran.

I G.G. Maha Adi, Rofiqi Hasan (Denpasar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus