Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Gara-gara Murid Tak ’Pede’

Banyak sekolah menggandeng lembaga bimbingan belajar untuk membantu siswa menghadapi ujian nasional. Hasilnya tak selalu meyakinkan.

26 Maret 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lembaga ini sekarang makin beken di kalangan siswa dan guru sekolah. Namanya bimbel. Kependekan dari bimbingan belajar. Dulu lembaga semacam ini hanya digunakan siswa SMA untuk membantu persiapan menghadapi ujian masuk perguruan tinggi negeri. Kini bimbingan belajar juga menjadi semacam obat penangkal kecemasan menghadapi ujian nasional. Tak cuma bagi siswa SMA, tapi juga SMP.

Mari kita tengok contohnya di SMP Negeri 18 Solo, Jawa Tengah. Dalam empat tahun terakhir, sekolah ini mengundang lembaga bimbingan belajar untuk mendongkrak kemampuan siswa menghadapi ujian nasional. Lembaga itu memberikan pelajaran tambahan dan latihan ujian bagi siswa. Tentu saja jasa yang mereka berikan tidak gratis.

Zadrak Titus Blegur, wakil kepala sekolah, menjelaskan bahwa separuh ongkos dibayar sekolah. Sisanya dibeban-kan ke orang tua siswa. Saat itu, tiap siswa ditarik Rp 45 ribu untuk beberapa kali uji coba dan pembahasan soal. Hasilnya? Tak terlalu memuaskan. Tingkat kelulusan siswa SMP 18 Solo tetap rendah. Tahun lalu, dari 263 siswa yang mengikuti ujian, 117 siswa tidak lulus. ”Itu menyakitkan,” ujar Zadrak.

Namun, kekecewaan tak membuat jera. Menghadapi ujian nasional pada April mendatang, SMP 18 tetap menggandeng lembaga seperti itu. Namun kali ini hanya untuk melakukan uji coba pembahasan soal. Pertimbangannya adalah keterbatasan dana. ”Kami kasihan pada kondisi keuangan orang tua siswa. Selain itu, sekolah juga tak punya cukup dana,” kata Zadrak.

Ia mengakui bahwa keputusan menggandeng lembaga bimbingan karena sekolah tak cukup percaya diri dalam memompa kemampuan siswa. Padahal metode pengajaran lembaga itu dinilainya tak jauh berbeda dengan yang diberikan sekolah. Soal ujian yang diberikan juga mirip dengan standar soal ujian yang diberikan Badan Standardisasi Nasional Pendidikan.

Tapi, katanya, keputusan pemerintah untuk terus menaikkan standar minimal kelulusan membuat banyak sekolah semakin tidak pede alias tidak percaya diri. Tahun ini, misalnya, standar ke-lulusan dinaikkan menjadi 5 dari sebelumnya 4,26. Tak ayal, soal-soal seperti itulah yang membuat sekolah, guru, dan murid kalang-kabut.

Kepanikan mereka agaknya tercium para pengelola lembaga bimbingan belajar. Aneka jasa bimbingan pun ditawarkan, dari program reguler, intensif, sampai kelas eksekutif. Biayanya bervariasi, dari ratusan ribu rupiah hingga jutaan rupiah per paket. Boleh dibilang, lembaga-lembaga itu cukup agresif untuk masuk ke sekolah. Bisnis ini pun tumbuh bak cendawan di musim hujan.

Hampir di tiap kota besar ada lembaga semacam itu. Beberapa lembaga bimbingan belajar bahkan memiliki cabang sampai ratusan di berbagai kota, contohnya Nurul Fikri, Primagama, dan Bimbingan Tes Alumni (BTA). ”Kami punya 549 cabang dari Aceh sampai Papua,” kata Supriyanto, Direktur Primagama, lembaga bimbingan belajar yang bermarkas di Yogyakarta.

Banyaknya pemain membuat persaingan menjadi ketat. Mereka menempuh berbagai cara untuk menarik siswa. Misalnya memasang iklan di media massa, menyebar brosur di acara arisan atau rapat RT, dan menyusup ke acara pengajian agama.

Nurul Fikri termasuk lembaga bim-bingan belajar yang sukses menjaring peserta melalui kegiatan pengajian. Lembaga yang kini memiliki 55 cabang itu juga menjalin kerja sama dengan sekolah. ”Biasanya sekolah meminta kami setelah menyebar kuesioner ke siswa,” kata Bachtiar Sunasto, Direktur Nurul Fikri.

Ada pula bimbingan belajar yang memanfaatkan jaringan alumni, seperti Bimbingan Tes Alumni (BTA) Group. Lembaga yang digagas enam alumni SMA 8 Jakarta tahun 1980-an ini awalnya hanya mengurusi alumni sekolah mereka. Belakangan banyak sekolah lain juga mengajak bekerja sama.

Kiat lain yang biasa digunakan untuk menarik siswa adalah menggelar diskusi strategi menghadapi ujian nasional dan seleksi penerimaan mahasiswa baru, menawarkan diskon dan beasiswa, menawarkan uji coba, menyediakan modul soal, sampai program kerja sama bimbingan belajar di sekolah. ”Intinya, kami berusaha menjemput bola,” ujar Bob Foster, Direktur Ganesha Operation, yang bermarkas di Bandung.

Kerja sama antara lembaga bimbingan belajar dan sekolah, menurut Direktur BTA Hasahatan Manullang, idealnya berlangsung setahun. Masa itu dianggap cukup maksimal untuk menggembleng siswa, baik dari segi pengetahuan maupun mental dalam menghadapi ujian nasional ataupun seleksi penerimaan mahasiswa baru.

Biasanya, pada awal tahun ajaran, lembaga bimbingan belajar berlomba mengajukan proposal kerja sama dengan sekolah. Sejumlah kepala sekolah yang dihubungi Tempo mengaku biasa menerima proposal dari 5 hingga 6 lembaga. ”Ada juga dua proposal dari satu lembaga bimbingan belajar. Mereka hanya beda alamat,” kata salah satu kepala SMA unggulan di Jakarta yang menolak disebut namanya.

Bentuk kerja sama biasanya berupa penyediaan ruang atau tempat belajar dari sekolah, sementara bimbingan belajar menyediakan materi, silabus, dan tutor. Lembaga itu biasanya menerapkan kuota jumlah siswa. Tiap paket pelajaran cuma boleh diikuti 25 siswa kelas III.

Target jumlah murid ini tergantung sekolah. Demikian pula teknis pembayarannya. Di sinilah kerap terjadi ekses komersialisasi. ”Faktor harga dan pembagian keuntungan sangat menentukan. Kualitas materi urusan kedua,” ujar sang kepala sekolah tadi.

Ada berbagai model kerja sama. Di beberapa sekolah, bimbingan belajar dilakukan secara ekstra atau di luar jam sekolah. Misalnya pada Sabtu dan Minggu. Ada pula penerapan bimbingan belajar yang bersisipan dengan jam sekolah. Misalnya pada jam pelajaran pertama atau kedua. BTA melakukan model itu di beberapa SMA di Jakarta. Namun model itu hanya dilakukan di semester ganjil. ”Sifatnya hanya penajaman konsep dengan penyelesaian soal,” kata Hasahatan.

Masuknya lembaga bimbingan belajar ke sekolah, menurut Hasahatan, banyak membantu mengatasi masalah teknis, akademis, dan psikologi siswa. Pengalaman menunjukkan, banyak siswa tak paham bagaimana sistem penilaian dan jawaban dalam ujian nasional dan seleksi penerimaan mahasiswa baru.

Siswa juga diberi tahu cara menghadapi urusan remeh seperti lembar jawaban, jenis pensil, atau menghindari kesalahan dalam mengisi formulir pendaftaran. Begitu pula cara menjawab soal. ”Dalam seleksi penerimaan mahasiswa baru, kalau jawaban salah biasanya nilai dikurangi satu. Ini berbeda dengan cara menjawab ujian nasional,” ujar Hasahatan.

Di kalangan pendidik, keagresifan lembaga bimbingan belajar masuk sekolah menimbulkan pro dan kontra. Wakil Kepala SMA 8, Ahmad Yani, berpendapat bahwa sekolah dan lembaga bimbingan belajar bisa saling melengkapi. Menurut dia, sekolah menekankan pada proses belajar, sedangkan bimbingan belajar menekankan pada penyelesaian soal.

Sebaliknya, Kepala SMA 70, Asyikin, menilai banyaknya siswa memburu lembaga bimbingan belajar lantaran tren dan faktor psikologis semata. ”Ada yang karena diajak teman atau tak percaya diri dengan kemampuannya menyerap pelajaran sekolah,” ujarnya.

Bila benar-benar menyimak pelajaran di sekolah, memahami konsep mata pelajarannya, menurut dia, siswa tak perlu ikut bimbingan belajar. Lagi pula—terutama di sekolah unggulan—siswa sudah diberi materi yang cukup untuk menghadapi ujian. Belajar dan bekerja keras seperti yang dilakukan lewat bimbingan belajar sebetulnya bisa dilakukan sendiri.

Widiarsi Agustina, Sunudyantoro (Surabaya), Imron Rosyid (Solo), Syaiful Amin (Yogyakarta), Rana Akbariawan (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus