Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sampai hari ini, pertemanan itu memang belum berbuah nyata. Proyek-proyek Pertamina yang dicabut dari keluarga Soeharto, misalnya, tak dialihkan ke konco baru. Kalau tak dikerjakan Pertamina sendiri, ya, ditenderkan terbuka.
Tender impor beras juga begitu. Semula, Timmy Habibie dan Aburizal Bakrie diduga kuat akan mudah memenangkan pertarungan. Hasilnya? Timmy sama sekali tak dapat jatah. Bakrie cuma menggaet 10 ribu ton atau 10 persen dari yang direbut empat pemain lain.
Jadi, kroniisasi dalam Kabinet Habibie cuma isu?
Entahlah. Yang pasti, usaha ke arah lahirnya konglomerasi baru dan pemerataan cukup kencang. Di Bappenas, misalnya, dikabarnya ada dana Rp 10 triliun lebih untuk pinjaman khusus bagi pengusaha "lemah". Di bank-bank pemerintah, tersedia pelbagai fasilitas kredit murah, dari kredit impor-ekspor sampai proyek penanaman tanaman pangan. Belum lagi, pembentukan Komite Distribusi Indonesia yang akan menguasai bisnis penyebaran bahan pokok. Lalu ada juga rencana program redistribusi aset yang memberi peluang pengusaha kecil untuk membeli 20 persen aset yang dikuasai pemerintah. Dan yang paling baru, sejumlah pengusaha pribumi akan diberi peluang ikut mengelola aset konglomerat pemilik bank yang kini disita pemerintah.
Menurut sumber TEMPO, 120 perusahaan milik Salim yang disetor ke pemerintah akan dikelola holding company bernama Crown Jewel, sementara aset BDNI dikumpulkan dalam "Jade". Kedua induk perusahaan permata ini akan dikelola konsorsium yang terdiri atas pemerintah, pengusaha pribumi, dan investor asing. Mereka bertiga tentu punya kesempatan pertama untuk memulung aset-aset sitaan.
Namun, menurut Goei Siauw Hong, bekas analis saham termahal Indonesia yang kini bekerja di Nomura Institute, Singapura, pelbagai fasilitas itu tak segera melahirkan konglomerat baru. Soalnya, ekonomi sedang kena sembelit. Kredit perbankan, dalam dan luar negeri, mustahil didapat, bukan cuma karena suku bunganya menggila, tapi juga tidak adanya kepercayaan bankir kepada pengusaha kita.
Padahal, pengusaha kita tengah kesulitan uang. Jangankan untuk membangun proyek baru, untuk menutup ongkos produksi saja sulit. Kebanyakan mereka terjepit utang dolar. Bakrie & Brothers, misalnya, utangnya mencapai US$ 1,5 miliar (lebih dari Rp 15 triliun). "Tanpa mukjizat, Bakrie bakal jatuh," kata Wilson Nababan, Direktur CISI Raya, sebuah lembaga riset bisnis di Jakarta.
Kesimpulannya, dengan dukungan fasilitas seempuk apa pun, untuk sekarang ini megaproyek kroni baru tak akan muncul. "Diberi pembebasan pajak untuk bangun tol, pabrik semen, atau stasiun TV pun tak akan ada yang mampu," kata Hong.
Karena itu, gejala kroniisasi saat ini tak bisa dilihat dari siapa yang terpilih mendapat proyek, tapi siapa yang digusur. Apakah pemerintah pandang bulu? Menurut Hong, cara Habibie menangani perbankan bisa menjadi contoh pilih kasih itu. Kebobrokan bank bukan cuma karena kesalahan bankirnya, tapi juga dosa debitur dan lemahnya pengawasan. Lalu, mengapa yang digasak cuma para bankir?
Kroniisasi, kalau tetap ada, akan memupuk inefisiensi. Fungsi ekonomi akan mengalir bukan ke pelaku terbaik. Akibatnya, etos kerja terpasung. Buat apa kerja keras kalau yang terpilih sudah ditentukan? Kalau sudah begini, bersiaplah menunggu meledaknya bom waktu: krisis ekonomi Indonesia II.
DSI, MC, ANY
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo