Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Obligasi? Tunggu dulu. Program ini butuh dana besar. Dengan taksiran kasar kredit macet 50 persen, pemerintah memerlukan sedikitnya Rp 240 triliun untuk injeksi modal perbankan. Anggap saja yang Rp 140 triliun berasal dari bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang sudah kadung dikucurkan. Masih ada Rp 100 triliun yang mesti dicari.
Jumlah segede itu, siapa pun tahu, tak mudah didapat, dengan obligasi pemerintah sekalipun. Di mata investor asing, nama Indonesia sudah bonyok. Pengadilan niaga kita baru saja mencederai kepercayaan kreditur asing dengan menolak sebuah petisi bangkrut. Kita juga baru saja mengantre di Paris Club, meminta penjadwalan pembayaran utang. Proses penjadwalan itu sendiri pernah selip sehingga sebuah bank besar di Prancis merasa dikemplang tanpa pemberitahuan.
Ringkasnya, tingkat risiko negeri ini sudah begitu tinggi. Lembaga-lembaga pemeringkat internasional menempatkan Indonesia hanya beberapa strip menjelang default, hampir bangkrut. Surat utang yang ditebitkan negara ini masuk dalam kelas non-investment grade hampir menjadi junk bond, semacam "kertas rombengan" tak berharga. Lembaga dana pensiun dan yayasan hari tua di Amerika Serikat dilarang membeli surat utang pemerintah RI yang berdenominasi dolar.
Kalaupun ada pembeli, itu datang dari para pengadu untung yang gemar menempuh risiko. Untuk menarik minat mereka, kupon (suku bunga) obligasi harus tinggi. Lin Che Wei menaksir, obligasi Indonesia bisa terjual jika bunganya 22 persen. Kecil? Ingat, ini dalam hitungan dolar. Jika dihitung pakai rate rupiah, dengan patokan nilai swap 55 persen, bunga yang ditanggung pemerintah bisa mencapai 77 persen. Alamak!
Dijual di dalam negeri? Sami mawon. Likuiditas begitu terjepit. Bunga juga lagi galak. Belum lagi soal kepercayaan publik terhadap pemerintah. Tampaknya, kalaupun masih ada yang mau memborong, pembelinya adalah para beking Indonesia. Kalau bukan Dana Moneter Internasional (IMF), ya, Bank Dunia.
Atau, mungkin saja, "obligasi" ini cuma akal-akalan. Surat utang ini bisa saja diborong oleh Bank Indonesia (BI) dengan mencetak uang. Ini persis seperti dulu, ketika dana bantuan likuiditas BI tiba-tiba membengkak luar biasa. Ketika itu, Menteri Keuangan bilang sumber dana BLBI berasal dari obligasi pemerintah senilai Rp 80 triliun yang habis dibeli oleh bank sentral. Nah, ketika bantuan likuiditas akhirnya membengkak sampai Rp 140 triliun lebih, saat ini, "obligasi pemerintah" tadi tak terdengar lagi kabar beritanya...
Atau, boleh jadi juga kesulitan skenario pendanaan ini menjadi sinyal bahwa program rekapitalisasi bank tak akan menghabiskan banyak uang. Maksudnya, cuma sedikit bank yang masih memenuhi syarat untuk disehatkan. Selebihnya, apa boleh buat....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo