Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyarankan kepemilikan saham 10 persen di PT Freeport Indonesia untuk masyarakat Papua tidak dilakukan melalui setoran penyertaan modal, tetapi menggunakan pola perhitungan deviden atau laba perusahaan. Saran ini diberikan BPK agar tidak ada penumpang gelap dalam proses divestasi saham PT Freeport seperti yang dikhawatirkan Presiden Joko Widodo alias Jokowi.
Baca: Divestasi Freeport, Jokowi: Orang Lain Jangan Masuk dengan Gelap
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kayak nggak tahu saja, itu untuk menghindari penumpang gelap supaya saham itu betul-betul dinikmati oleh rakyat Papua," kata Anggota IV BPK, Rizal Djalil, dalam konferensi pers di Kantor Pusat BPK, Jakarta, Rabu, 19 Desember 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam konferensi pers ini, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya Bakar dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan ikut hadir mendengarkan penjelasan Rizal.
Persoalan penumpang gelap dalam proses divestasi saham PT Freeport Indonesia ini sebelumnya sempat menyulut polemik antara PT Indonesia Asahan Alumunium atau Inalum dan Pemerintah Provinsi Papua. "Presiden menekankan, harus kita hati-hati untuk keberpihakan kepada Pemerintah Provinsi Papua dan Kabupaten Mimika. Jangan sampai ada orang lain masuk dengan gelap," kata Gubernur Papua Lukas Enembe usai mengikuti rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis, 29 November 2018.
Masalah bermula ketika pemerintah pusat dan Inalum mengalokasikan 10 persen saham Freeport Indonesia untuk Pemerintah Kabupaten Mimika dan Pemerintah Provinsi Papua. Sementara 41 persen saham lainnya dikuasai oleh Inalum. Nah, kepemilikan total 51 persen saham ini akan dilakukan melalui PT Indocopper Investama sebagai sebuag perusahaan patungan antara ketiga pihak tersebut.
Gubernur Papua Lukas Enembe menolak skema ini, apalagi dengan keterlibatan PT Indocopper Investama. Sebab, sejak jauh-jauh hari Lukas menyebut Pemda Papua telah menyiapkan sendiri Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang akan bekerja persis seperti Indocopper. Usulan itulah diduga diganti oleh Inalum ditengah jalan dan menggantinya dengam Indocopper.
BPK, kata Rizal, sebetulnya menyerahkan mekanisme penyerahan saham sebesar 10 persen PT Freeport Indonesia kepada masyarakat Papua ke tangan pemerintah. Hanya saja, BPK memiliki pengalaman empiris pada pemeriksaan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang bekerja sama dengan pihak-pihak tertentu. Banyak masalah ditemui pada proses tersebut.
Jika Pemerintah Provinsi Papua menggunakan BUMD untuk penyertaan modal ke PT Freeport Indonesia, maka BPK mempertanyakan sumber pendanaan modal tersebut. "Kalau pakai BUMD, saya mau tanya, dari mana duitnya?" Sebab, skema penyertaan modal dari BUMD pun, kata Rizal, lagi-lagi harus meminta persetujuan DPRD Provinsi Papua. "Memang gampang meyakinkan DPRD?"
Itulah sebabnya, BPK lebih menyarankan agar menggunakan pola perhitungan deviden saja. Nantinya, deviden dari PT Freeport Indonesia tinggal dipotong sesuai besaran yang menjadi hak masyarakat Papua. Sehingga, langkah tersebut dinilai lebih mudah dan menjadi jelas 100 persen milik masyarakat Papua. "Agar nggak ada kejadian-kejadian yang kayak dulu lagi," ujar Rizal.