Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

BPS Ungkap Disparitas Kemiskinan di Pedesaan dan Perkotaan Masih Tinggi, Ini Datanya

BPS mencatat bahwa disparitas kemiskinan di pedesaan dan perkotaan Indonesia masih tinggi. Seperti apa detail datanya?

15 Juli 2022 | 15.41 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Warga tengah beraktifitas di depan rumah mereka di pinggiran rel kereta kawasan Kampung Bandan, Jakarta, Kamis 30 Juni 2022. Presiden Joko Widodo atau Jokowi menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2022 Tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem. Inpres ini diterbitkan untuk mencapai target untuk menghapus kemiskinan ekstrem pada 2024. Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pusat Statistik atau BPS mencatat bahwa disparitas kemiskinan di pedesaan dan perkotaan Indonesia masih tinggi. Pada Maret 2022, tercatat 7,5 persen dari seluruh penduduk Indonesia merupakan penduduk miskin di perkotaan. Sedangkan di pedesaan, persentase jumlah penduduk miskin mencapai 12,29 persen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kecepatan penurunan kemiskinan di pedesaan juga disebut lebih cepat dibandingkan di perkotaan. "Tingkat kemiskinan di pedesaan sudah kembali ke level sebelum pandemi, sedangkan di perkotaan masih lebih tinggi dibandingkan sebelum pandemi," tutur Kepala BPS Margo Yuwono dalam konferensi pers virtual pada Jumat, 15 Juli 2022. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Margo menjelaskan angka tersebut berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang berlangsung pada Maret dan September setiap tahunnya. Adapun jumlah penduduk miskin pada Maret 2022 sebanyak 26,16 juta orang atau 9,54 persen penduduk Indonesia. Angka tersebut turun 0,34 juta orang terhadap September 2021 dan turun 1,38 juta orang terhadap Maret 2022.

Adanya tren penurunan kemiskinan tersebut, menurutnya merupakan kabar baik. Sebab, perekonomian Indonesia mulai berangsur membaik. "Artinya sudah ada perbaikan, tetapi belum kembali ke kondisi sebelum pandemi," kata Margo.

Sementara itu, BPS mencatat jumlah penduduk miskin terbanyak berada di pulau Jawa. Total penduduk miskin yang tercatat sebanyak 13,85 juta orang atau sebanyak 52,96 persen. Jumlah ini turun sebanyak 9,61 persen.

Kemudian jumlah penduduk miskin kedua terbanyak berada di pulau Sumatera. Jumlahnya mencapai 5,74 juta orang atau sebanyak 21,93 persen. Angka ini juga turun sebanyak 9,49 persen. Lalu jumlah penduduk miskin ketika terbanyak berasal dari pulau Bali dan Nusa Tenggara yaitu 2,07 juta jiwa atau sebesar 7,91 persen. 

"Seluruh pulau mengalami penurunan persentase kemiskinan," kata Margo. 

Di Sulawesi, jumlah penduduk miskin mencapai 2,01 jiwa atau sebanyak 7,69 persen. Jumlah tersebut naik 10,02 persen. Sementara itu di Maluku dan Papua, jumlah penduduk miskin mencapai 1,51 juta orang atau 5,78 persen. Jumlah penduduk miskin di Maluku dan Papua turun sebanyak 19,89 persen. 

Jumlah penduduk miskin terkecil adalah di Kalimantan yaitu 0,92 juta orang. Persentase penduduk miskin di Kalimantan adalah 3,73 persen atau turun sebanyak 5,82 persen. 

Margo mengklaim pemulihan ekonomi yang terjadi pada kuartal satu 2022 juga berpengaruh terhadap penurunan jumlah penduduk miskin. "Sejalan lah, ekonomi membaik, kemiskinan berkurang," kata Margo. 

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan pandemi Covid-19 ditambah perang antara Rusia dan Ukraina telah membuat sebanyak 267 juta orang di dunia menghadapi krisis pangan akut. Angka tersebut dua kali lipat naik dari yang tercatat pada tahun 2019 lalu.  

"(Berdasarkan data) World Food Programe, orang yang menghadapi krisis pangan akut meningkat dua kali lipat dari 2019, 135 juta menjadi 276 juta orang (pada 2022)," kata Sri Mulyani saat memberikan keynote speech dalam pembukaan Finance Minister and Central Bank Governors atau FMCBG G20 Indonesia di Nusa Dua, Bali, Jumat, 15 Juli 2022.

Ia menjelaskan, hampir semua menteri keuangan dan gubernur bank sentral di berbagai belahan dunia menghadapi situasi sulit. Para pejabat itu, kata Sri Mulyani, memperhatikan kenaikan risiko krisis pangan setelah perang rusia dan ukraina, pembatasan ekspor, dan dampak pandemi covid-19 yang mendorong harga pangan melonjak drastis.

Oleh karena itu, para menteri keuangan dan gubernur bank sentral yang tergabung dalam G20 harus mengatasi masalah ini. "Bagaimana (caranya) agar harga pangan tidak terus menanjak. Dengan meningkatnya harga pangan, jutaan orang akan terancam," ujarnya.

Untuk mengatasi masalah itu, menurut bendahara negara ini, perlu ada mekansime pembiayaan diperlukan untuk menyelematkan orang dan masyarakat dari krisis pangan. "Selain itu, perlu adanya kebijakan makroekonomi yang baik untuk melindungi negara dari krisis."

Gejolak ekonomi global saat ini, menurut dia, sangat butuh tindakan nyata dari kolaborasi dan konsensus G20. G20 pun sebelumnya sudah pernah mengambil peran penting saat krisis ekonomi global pada empat tahun silam yakni pada tahun 2008.  

RIANI SANUSI PUTRI | BISNIS

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.

Riani Sanusi Putri

Riani Sanusi Putri

Lulusan Antropologi Sosial Universitas Indonesia. Menekuni isu-isu pangan, industri, lingkungan, dan energi di desk ekonomi bisnis Tempo. Menjadi fellow Pulitzer Center Reinforest Journalism Fund Southeast Asia sejak 2023.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus