Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rencana pemerintah menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia menuntut banyak perubahan yang mendasar dan strategis. Pasalnya, sampai saat ini, tak ada pelabuhan besar yang benar-benar menjadi titik utama (hub) internasional. Kecilnya skala ekonomi Pelabuhan Tanjung Priok membuatnya tak bisa menjadi magnet yang menarik kapal-kapal besar melempar sauh.
Kementerian Perhubungan tentu tak tinggal diam. Namun, sejauh ini, berbagai kebijakannya belum mangkus benar. Salah satunya mendorong terbukanya pintu ekspor di banyak pelabuhan di Nusantara. Di satu sisi itu bagus, tapi di sisi lain, saudagar justru makin bergantung pada Pelabuhan Singapura sebagai bandar.
Kepada wartawan Tempo, Ayu Prima Sandi dan Agus Supriyanto, Kamis pekan lalu, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menjelaskan latar belakang kebijakannya.
Kementerian Perhubungan membuat banyak penyesuaian dalam rencana induk pelabuhan. Bisa dijelaskan seperti apa perubahannya?
Inisiasi ulang poros maritim dan tol laut, menurut saya, relevan sekali. Kita negara besar, lautnya luas, banyak tempat yang belum terlayani. Tapi, menurut saya, konsep poros maritim dan tol laut ini proses mengendus-endus. Kami ingin Kementerian tidak hanya menyelesaikan masalah, tapi juga mencari permasalahan yang terjadi.Berkaitan dengan master plan, namanya juga planning, ini dinamis, baik karena soal internal yang memang kita butuhkan maupun eksternal jika tiba-tiba harus merespons gerakan-gerakan atau potensi-potensi secara internasional. Ada beberapa titik perubahan, tapi yang agak signifikan itu Patimban. Kami akan membangun Patimban, pelabuhan yang tidak kecil dan harus dikoordinasi dengan pelabuhan-pelabuhan sekitarnya. Bisa dibayangkan kenapa mengangkut barang ke Eropa lewat Singapura itu lebih cepat. Artinya, barang-barang dari Indonesia yang menuju mana pun di dunia harus melalui negara lain dan tidak ekonomis.
Kami semula punya niat membuat tiga pelabuhan hub internasional: Tanjung Priok, Kuala Tanjung, dan Bitung. Tapi, riil, player international hub itu adalah Jakarta saja, Tanjung Priok. Sebab, yang namanya angkutan internasional itu tidak hanya impor, tapi juga ekspor. Kita ini lucu, negara besar seperti ini cuma 6 juta TEUs setahun, sementara Singapura 30 juta TEUs setahun.
Dulu Bitung dan Kuala Tanjung disiapkan menjadi hub internasional untuk menerima impor. Apakah konsep baru masih seperti itu?
Akan begitu, tapi butuh proses. Contoh, Kuala Tanjung bisa lebih cepat karena barang baliknya lebih bisa dijamin karena ada Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mangkei. Ada kelapa sawit, orangnya banyak, dan segala macam. Bitung belum bisa begitu. KEK Bitung juga belum jalan.
Sebenarnya lebih menguntungkan kita punya hub sendiri atau transshipment di Singapura seperti selama ini? Bukankah Priok tidak direncanakan untuk transshipment?
Ada dua hal yang mesti kita ubah cara berpikirnya. Masak sih kita mendesain pelabuhan bukan sebagai transshipment? Kita tetap harus punya kemandirian. Dan ini jelas menguntungkan. Kalau tidak untung, kok, CMA-CGM (perusahaan pengiriman barang raksasa dari Prancis) mau? Dia tentu melihat potensi yang besar di Jakarta karena barang yang ke dan dari Jakarta itu besar banget. Kalau dibilang Priok tidak didesain sebagai transshipment, kok, orang mau ke sini? Dulu kita mengeliminasi diri sendiri. Ya, sudah saatnya mandiri.
Bagaimana dengan ekspor yang selama ini dikirim dari banyak titik? Apa Anda tidak takut konsolidasi justru membuatnya tidak efisien?
Selama ini juga ada double handling, tapi di negara lain. Jadi, kalau punya 500 TEUs, ya, enggak ada kapal jauh-jauh yang mau datang. Ya, harus double handling, tapi di negara kita sendiri.
Soal daya saing, adakah strategi tertentu dari pemerintah agar keterlibatan pemain besar seperti CMA-CGM ini berkelanjutan?
Common sense, ya, partner itu harus dikasih volume perdagangan yang memadai supaya skala ekonominya terpenuhi. Dari saya, melindungi CMA-CGM menjadi prioritas. Infrastruktur kita benahi. Kualifikasi drafnya itu bisa 14 meter, bahkan bisa sampai 16 meter. Hal-hal yang sifatnya software, regulasi, dan deregulasi kita tingkatkan.
Berapa lama Anda mendekati CMA-CGM agar mau mampir ke Priok?
Sebetulnya baru, lho. Dua bulan enggak sampai. Maersk Lina itu lama. Pendekatannya setahun lebih malah enggak jadi.
Dalam waktu dekat, ada shipping line besar lain yang akan masuk?
Biar dia dulu. Kasihan, jangan menduakan cinta.
Kalau didefinisikan, ini uji coba atau reguler?
Saya pikir, kalau sudah 2.000 TEUs, sudah reguler. Sudah lumayan. Tapi kita mesti hati-hatilah, kalau dia mengundurkan diri, malu banget kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo