Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tak Mudah Menyalip Negeri Singa

SINGAPURA seperti tak pernah berhenti berbenah. Pada akhir April lalu, sebuah megaproyek pelabuhan anyar resmi dimulai di sana. Namanya Pelabuhan Tuas. Fase pertama direncanakan selesai dibangun pada 2020. Kelak terminal peti kemas itu mampu menampung 20 juta unit ekuivalen dua puluh kaki (TEUs) per tahun.

8 Mei 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SINGAPURA seperti tak pernah berhenti berbenah. Pada akhir April lalu, sebuah megaproyek pelabuhan anyar resmi dimulai di sana. Namanya Pelabuhan Tuas. Fase pertama direncanakan selesai dibangun pada 2020. Kelak terminal peti kemas itu mampu menampung 20 juta unit ekuivalen dua puluh kaki (TEUs) per tahun.

Tak cukup sampai di situ. Fase kedua, ketiga, dan keempat sudah direncanakan dan akan rampung dalam 30 tahun. Setelah semua selesai, keseluruhan megaproyek itu ditargetkan berkapasitas 65 juta TEUs per tahun. Ini enam kali lipat dari kapasitas pelabuhan Rotterdam, Belanda, saat ini yang sebesar 10 juta TEUs.

"Kami berkomitmen mempertahankan status sebagai negara maritim global," kata Menteri Koordinator Infrastruktur Singapura Khaw Boon Wan, yang juga Menteri Transportasi, dalam keterangan tertulisnya, seperti dikutip dari www.mpa.gov.sg.

Detail nilai investasi Pelabuhan Tuas memang tidak diumumkan terbuka. Yang jelas, total lahan yang dibutuhkan adalah 1.339 hektare. "Terminal Tuas adalah inti dari visi pelabuhan masa depan Singapura," ujar CEO Otoritas Pelabuhan dan Maritim (MPA) Singapura Andrew Tan dalam pernyataan tertulisnya.

Desain pelabuhan ini memang futuristik. Dengan dilengkapi gudang bawah dan atas tanah, manajemen pelabuhan ingin memastikan layanan prima dengan meningkatkan produktivitas bongkar-muat. Tenaga kerja akan digantikan teknologi crane otomatis serta drone untuk inspeksi dan pengisian barang ke kapal di laut. Ujungnya, biaya makin murah.

Beberapa tahun terakhir, Singapura amat agresif membangun pelabuhannya. Selain Tuas, kapasitas Pelabuhan Pasir Panjang ditambah menjadi 50 juta TEUs pada akhir tahun ini. Berdasarkan riset Economist Intelligence Unit, dalam jangka panjang, aktivitas pelabuhan di Tanjong Pagar dan Pasir Panjang akan dialihkan ke Tuas mulai 2027.

Hasilnya sudah terlihat. Laporan perusahaan konsultan ekonomi Norwegia, Menon Report 2017, yang dipublikasikan pada 26 April lalu, menobatkan Singapura sebagai pemimpin maritim dunia melampaui Hamburg, Jerman, dan Oslo, Norwegia, yang ada di peringkat kedua dan ketiga. Negeri jiran ini memimpin untuk kategori pengapalan, pelabuhan dan logistik, serta daya saing. Adapun kategori keuangan dan hukum dijuarai London, Inggris, dan kategori teknologi maritim dimenangi Oslo.

Pengembangan pelabuhan tidak hanya dilakukan Singapura. Malaysia juga memperkuat Pelabuhan Tanjung Pelepas sebagai terminal peti kemas utama. Lokasinya yang terletak di sebelah barat daya Selat Johor, berhadap-hadapan langsung dengan Terminal Tuas, Singapura. Nilai investasinya direncanakan US$ 2 miliar (sekitar Rp 26,6 triliun).

Indonesia tak mau ketinggalan. Saat ini pemerintah sudah mempersiapkan peta jalan pembangunan pelabuhan hingga 2030. Total nilai investasi yang dibutuhkan US$ 47 miliar (sekitar Rp 626 triliun) dengan pembiayaan 72 persen swasta dan sisanya pemerintah (PPP). Dalam rencana itu, 52 pelabuhan bakal berstatus pelabuhan utama, 261 pengumpul, 224 feeder daerah, dan 704 feeder lokal. Pemerintah juga mengembangkan proyek tol laut dengan menetapkan lima pelabuhan utama, yakni Belawan/Kuala Tanjung, Tanjung Priok/Kalibaru, Tanjung Perak, Makassar, serta Bitung dan 19 pelabuhan lain sebagai pelabuhan feeder.

Meski demikian, rencana Indonesia menjadi pusat maritim dunia tampaknya belum bakal terwujud dalam waktu dekat. Masalahnya: tak mudah menyalip Singapura. Negara yang luasnya lebih kecil dari Provinsi DKI Jakarta itu masih menguasai pasar logistik Indonesia. Apalagi dua anak usaha PT Pelabuhan Indonesia (Persero) II, yakni PT New Priok Container Terminal One (NPCT1) dan PT Jakarta International Container Terminal (PT JICT), merupakan anak usaha atau terafiliasi dengan PSA International Pte Ltd, operator pelabuhan pelat merah Negeri Singa.

Sampai saat ini, PSA tercatat sebagai pemegang saham NPCT1 bersama Pelindo II, Mitsui & Co Ltd, dan Nippon Yusen Kabushiki Kaisha (NYK Line). Sementara itu, 51 persen saham JICT dimiliki oleh Hutchison Port Holding Group (HPH Group) dan 49 persen oleh Koperasi Pegawai Maritim, unit usaha Pelindo II. Pada April 2006, PSA mengakuisisi 20 persen saham Hutchison senilai US$ 4,4 miliar dan 80 persen sisanya masih dipegang CK Hutchison Holdings, perusahaan konglomerat asal Hong Kong.

"Jadi bagaimana New Priok mau bersaing dengan Singapura kalau yang mengelola juga sama-sama Singapura?" ucap Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia Zaldy Ilham Masita kepada Tempo, Senin pekan lalu.

Pelabuhan Indonesia memang masih kalah dibandingkan dengan Singapura. Meski biaya jasa pelabuhan (terminal handling charge/THC) Priok yang sebesar US$ 95 untuk kontainer 20 kaki, lebih murah daripada Singapura yang sebesar US$ 138,2, total biaya logistik di Indonesia masih lebih mahal. Apalagi waktu bongkar-muat barang (dwelling time) Singapura hanya 0,5-1 hari dibanding Tanjung Priok, yang masih 2,9 hari. "Kalau THC-nya benar lebih murah, tapi secara total kita jauh lebih mahal," Zaldy mengungkapkan.

Pelaksana tugas Sekretaris Kementerian Koordinator Kemaritiman, Ridwan Djamaluddin, mengakui pelabuhan Indonesia masih sulit bersaing dengan Singapura. "Bersaing bagus-bagus saja, tapi berteman jauh lebih baik," ujarnya kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Karena itu, Ridwan tak keberatan ada kepemilikan saham PSA di NPCT1. Menurut dia, soal itu bukanlah porsi pemegang saham pengendali. Apalagi PSA juga butuh pasar Indonesia. Namun bukan berarti Priok tak bakal bisa berkompetisi dengan Singapura. Kalau mau berhadapan, kata dia, pelabuhan Indonesia harus menekan biaya-biaya sehingga menjadi efisien. "Di Indonesia ada biaya-biaya lain dan ada pemain bisnisnya, ini harus dibenahi," ujarnya.

Ketua Indonesia National Shipowners Association Carmelita Hartoto membenarkan. Saat ini, menurut dia, Indonesia tidak bisa menyaingi Singapura. Secara geografis dan kondisi masyarakat, kata Carmelita, Indonesia memang berbeda dengan Negeri Singa.

Di Singapura, barang yang datang di pelabuhan langsung dipindahkan ke kapal besar. Adapun di Indonesia, barang harus dikumpulkan dulu, menunggu pengiriman dari pelabuhan-pelabuhan lain di daerah. Kalau mau berbenah, dia menyarankan pemerintah Indonesia bersaing dengan pelabuhan Thailand dan India, yang karakternya mirip.

Abdul Malik, Ayu Prima Sandi, Agus Supriyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus