Produsen karbon black, Cabot Indonesia, memang bukan Bogasari Flour Mills. Kendati Komite Anti-Dumping Indonesia (KADI) sudah sejak Juli lalu mengirim rekomendasi ke Menteri Perindustrian dan Perdagangan agar karbon black impor dari Korea Selatan, Thailand, dan India dikenai bea masuk antidumping, sampai Jumat pekan lalu masalah tersebut masih terkatung-katung. Menurut Sekretaris Eksekutif KADI, Bachrul Chairi, pergantian menterilah yang menyebabkan surat dari Menteri Perindustrian dan Perdagangan kepada Menteri Keuangan belum juga dibuat. Pada akhir Juli lalu, pemerintahan memang berpindah dari Abdurrahman Wahid ke Megawati Sukarnoputri.
Tapi keputusan untuk Bogasari toh tetap dibuat tanpa tanda tangan Rini M.S. Soewandi, Menteri Perindustrian dan Perdagangan yang baru. KADI mengajukan rekomendasi pada 21 September lalu, dan pada hari yang sama keluar surat dari Departemen Perindustrian dan Perdagangan yang hanya ditandatangani sekjennya, Muchtar. Padahal, KADI juga membuktikan bahwa produk terigu dan karbon black impor harganya didumping. Produk karbon black Korea, misalnya, dijual di pasar lokal US$ 605 per ton, tapi dijual ke Indonesia US$ 390. Akibatnya, Cabot Indonesia tak mampu bersaing dan sempat menutup satu dari dua pabriknya pada 1998-1999. Kapasitas pabriknya juga cuma terpakai 60 persen.
Pemerintah sebetulnya sempat memberikan keputusan berupa pengenaan bea masuk antidumping sementara sebesar 21-53,72 persen selama empat bulan, yang berakhir April lalu. Tapi, setelah itu, produk impor kembali dengan harga dumping. "Kondisi sekarang ini sangat berat," kata Waspada Marbun, Direktur Cabot Indonesia. Kini, Cabot Indonesia menunggu keputusan Rini. Kabarnya, bekas Direktur Utama Astra International itu akan menekennya pekan-pekan ini. Yang pasti, tetap kalah cepat ketimbang Bogasari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini