Hingga pekan ini nasib Bank Internasional Indonesia (BII) masih menggantung. Padahal, akuisisi BII oleh Bank Mandiri sedianya akan dilakukan 12 Oktober lalu. Kok, gagal? Ternyata BPPN, yang bertugas menyehatkan BII, belum juga bersepakat dengan Menteri Keuangan.
Semula, baik Bank Mandiri maupun BPPN yakin bahwa akuisisi itu bakal berlangsung setelah didahului dengan pengalihan kredit Grup Sinar Mas sebesar US$ 1,2 miliar, US$ 48 juta, plus Rp 170 miliar di BII ke BPPN, yang kemudian menukarnya dengan recycle bond. Secara bersamaan recycled bond itu langsung ditukar hedge bond (obligasi valuta asing dengan lindung nilai). Tetapi, "Kami masih menunggu keputusan Menteri Keuangan untuk menerbitkan hedge bond," kata Ketua BPPN, I Putu Gde Ary Suta.
Hedge bond itu memang belum juga diterbitkan. Soalnya, masih ada pertanyaan seputar jumlah kredit yang diberikan BII kepada Grup Sinar Mas. Bisa jadi, jumlah kreditnya tidak sampai sebesar itu, tapi digelembungkan karena yakin bahwa pemerintah memberi jaminan bila BII pingsan. Akibatnya, "Kita masih menunggu klarifikasi dulu," kata Menteri Keuangan Boediono.
Berlarutnya proses akuisisi itu mulai membuat Bank Mandiri ragu. Bila mundur, pemerintah bisa sesak napas. Sebab, pemerintah masih harus menanggung sekitar Rp 25 triliun untuk dana pihak ketiga yang ada di BII. Kalau maju, berat bagi Bank Mandiri untuk menyangga BII, setelah mengetahui kondisi BII. Selain itu, saham pemerintah di BII sebesar 58 persen atau 52,6 miliar saham yang bernilai Rp 1,5 triliun dianggap masih terlalu tinggi. Tetapi BII bukan sama sekali tak bernilai. Bank ini memiliki internet banking yang oke. Selain itu, bisnis dan jaringan kartu kreditnya pernah ditawar US$ 120 juta oleh salah satu bank asing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini