Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TENGGAT bagi Riau hampir jatuh. Setelah diberi waktu satu bulan, Pemeritah Daerah Riau harus menyerahkan usulan pengelolaan ladang minyak Coastal Plain Pekanbaru (CPP) pekan ini juga. Bagaimana kira-kira bentuk usulan itu belum jelas benar. Hanya, satu hal sudah pasti: Riau akan mencari sendiri mitra untuk mengelola ladang minyak bekas Caltex itu. Dalam soal pemilihan pasangan inilah, peta pertarungan menjadi ramai. Menurut sumber TEMPO, Riau akan menggandeng pemain baru sekaligus mendepak Pertamina serta Caltex dari CPP.
Siapa pemain baru itu? Hari-hari ini, sejumlah calon partner tengah mengajukan lamaran ke Pemda Riau. Namun, kata sumber TEMPO, ada satu nama ”paten” yang sudah tersimpan dalam amplop tertutup di kantong para pejabat tinggi. Kendati demikian, Ketua DPRD Riau, Chaidir, tetap membuka peluang kepada siapa saja. ”Ibaratnya rumah kontrakan yang kosong,” katanya mencoba menghindar, ”kalau ada penyewa baru, mengapa mesti ditolak?”
CPP adalah rumah kontrakan Caltex. Sumur minyak dengan kapasitas produksi 70 ribu barel per hari itu habis masa kontraknya Agustus tahun depan. Semula, pemerintah akan menyerahkan pengelolaannya kepada Pertamina. Waktu itu, perusahaan negara ini bahkan sudah pula menggelar pelbagai negosiasi dengan Caltex untuk menentukan berapa kira-kira pembagian saham yang pantas untuk CPP. Namun, belakangan, seiring derasnya tekanan otonomi daerah, Pemda Riau berkeinginan mengelola salah satu sumber duit itu secara swadaya. Keinginan yang disertai ”tekanan” niat merdeka ini, mau tak mau, direstui Jakarta.
Bahkan, untuk mempertebal restu itu, Presiden Abdurrahman Wahid menyempatkan diri terbang ke Riau. Akhir April lalu, dalam acara pertemuan jamaah thariqoh di Pekanbaru, Gus Dur melobi sejumlah tokoh masyarakat Riau dengan mendukung penuh niat Pemda mengelola sendiri CPP, termasuk menentukan mitranya. Dalam pertemuan itulah, kabarnya, Gus Dur membisikkan nama ”paten” itu, yakni China Petroleum, sebuah perusahaan milik pemerintahan Cina yang baru-baru ini menjual sebagian sahamnya kepada publik internasional.
Ketua Komisi VIII (yang membawahkan Energi dan Pertambangan) di DPR, Irwan Prayitno, juga menyebut nama China Petroleum sebagai calon kuat mitra Riau dalam pengelolaan CPP. Perusahaan minyak yang berbasis di Singapura itu diketahui sudah lama mengincar ladang minyak Riau. Namun, niat itu selama ini terhambat karena Pertamina dan Caltex sudah bercokol puluhan tahun di kawasan tersebut.
Kali ini, dengan habisnya masa kontrak CPP, kesempatan itu terbuka lebar. Berkat lobi Menteri Perdagangan dan Perindustrian Luhut Panjaitan, hasrat China Petroleum ini tampaknya akan kesampaian. Caranya gampang. Jika Riau gagal meyakinkan publik bahwa China Petroleum merupakan calon terbaik, menurut sumber TEMPO, perundingan akan dibuat buntu. Jalan keluarnya: pemerintah yang akan menetapkan mitra bagi Riau, dan itu adalah China Petroleum.
Melihat hangatnya poros Jakarta-Beijing belakangan ini, masuknya China Petroleum memang masuk akal. Dalam enam bulan terakhir, setelah kunjungan Gus Dur ke Cina, tak kurang dari tiga rombongan partai besar (Golkar, PDI Perjuangan, dan PPP) melawat ke Beijing. Respons Cina terhadap pelbagai persoalan Jakarta juga begitu rikat dan hangat belakangan ini. Beijing termasuk dalam daftar terdepan mereka yang mendukung Negara Kesatuan RI (saat menghadapi ide Papua merdeka) dan menyatakan belasungkawa atas musibah gempa Bengkulu.
Namun, cerita bahwa Gus Dur menitipkan China Petroleum disanggah orang-orang penting Riau. Erman Suparno, anggota F-PKB DPR dari Riau yang selama ini menjadi ”jembatan” komunikasi pemerintah pusat dengan Riau, misalnya, membantah Gus Dur telah menyodorkan satu nama tertentu. ”Kalau Gus Dur memberitahukan akan ada investor baru yang masuk, apa itu salah?” katanya.
Lepas dari siapa yang membawa, munculnya China Petroleum, sebatas sebagai salah satu calon alternatif, layak disambut gembira. Bahkan bukan cuma China, mestinya semua perusahaan minyak dunia diundang untuk mengikuti tender terbuka. Siapa yang bisa dan berani memberikan imbalan terbesar, itulah yang menang. Tak peduli apakah dari Cina atau Arab, apakah dekat dengan Gus Dur atau tidak.
Dwi Setyo, Nugroho Dewanto, Adi Prasetya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo