Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Nyanyian Suap Texmaco

Isu suap dalam kasus Texmaco meruap. Pemeriksaan berjalan amat lamban.

18 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Opera sabun Texmaco terus berlanjut. Lakonnya sedih, gembira, ganti-berganti penuh tanda tanya, dalam hitungan hari. Begitu penyidikan kasus penyelewengan kreditnya dihentikan, Texmaco langsung mendapat hadiah dari Presiden Abdurrahman Wahid. Gus Dur, begitu presiden dipanggil, menawarkan agar utang Texmaco Rp 28,5 triliun kepada pemerintah ditukar dengan 52 persen saham. Hebatnya lagi, tawaran diberikan sebelum isi perut industri tekstil dan mesin terpadu itu diketahui. Uji tuntas (due diligence) keuangan Texmaco sedang dilakukan, dan hasilnya baru diketahui akhir pekan ini.

Misteri tawaran Gus Dur belum lagi jelas, kini datang lagi tanda tanya baru: Texmaco diduga melakukan penyuapan. Anggota Komisi IX DPR Zulvan Lindan mengungkap, auditor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan aparat Kejaksaan Agung yang menangani Texmaco kena suap. Penghentian penyidikan atas kasus penyelewengan kredit Texmaco dilakukan setelah kejaksaan mempertimbangkan audit BPKP yang menyatakan bahwa aset perusahaan itu lebih besar dari utangnya—sehingga kalau utang itu ditukar dengan aset Texmaco, pemerintah tak akan rugi.

Menurut Zulvan, tugas auditor BPKP yang dibon kejaksaan cuma mengaudit ada tidaknya kerugian negara, bukan melakukan penilaian (appraisal) aset Texmaco. Mereka, katanya, tak pula punya kewenangan menghitung kerugian perekonomian negara (sebagaimana diatur Undang-Undang Antikorupsi).

Zulvan bahkan menyebut angka uang sogok itu dengan ”persis”. Katanya, tiap anggota pemeriksa kejaksaan kebagian Rp 1 miliar. Uang suap itu dibagikan melalui Mundhofar, salah seorang auditor BPKP. ”Pembagiannya,” ujarnya, ”dilakukan lewat sebuah bank di Singapura.” Kalau saja angka ini benar, tentu saja itu jumlah yang teramat kecil dibandingkan dengan jumlah utang yang diduga telah diselewengkan Texmaco. Menurut catatan, jumlah kredit yang diduga telah diselewengkan Texmaco mencapai US$ 1,4 miliar. Karena itu, Zulfan minta agar kasus ini diusut hingga tuntas.

Tapi Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung, Ris Pandapotan Sihombing, enteng saja menyangkal berita tak sedap itu. ”Mana ku tahu, mana buktinya?” ujarnya seperti dikutip Kompas. Berbeda dengan Kejaksaan Agung, BPKP terlihat sigap. Hadi, Kepala Seksi Pemeriksaan Khusus BPKP yang juga atasan langsung auditor yang diperbantukan ke kejaksaan, mengaku tengah menyelidiki dugaan suap itu. ”Kami,” katanya, ”sudah menahan dan meneliti paspor Mundhofar.” Tapi ia tak mendapati catatan perjalanan ke luar negeri atau Singapura dalam dua bulan terakhir sebagaimana disebut Zulvan.

Bagaimana bila Mundhofar punya paspor lain? Hadi mengaku sudah minta Kantor Imigrasi mengecek apakah ada catatan perjalanan ke luar negeri. ”Hasilnya negatif,” katanya. Untuk membuktikan dirinya bersih, Mundhofar serta dua rekannya, Nurharyanto dan Herry Muryanto, malah membuat surat pernyataan tertulis. Mereka menyatakan tak pernah bertemu dan menerima apa pun dari pemilik Texmaco, Marimutu Sinivasan, atau orang suruhannya.

Namun, seorang pejabat BPKP mengaku tak mempercayai pernyataan tersebut. Karena itu, setelah pemeriksaan internal selesai awal pekan lalu, BPKP mengirim surat resmi ke kejaksaan. Intinya, meminta Kejaksaan Agung yang mempekerjakan ketiga orang itu melakukan pemeriksaan. ”Kendati harus ’menewaskan’ orang yang bersalah, kami tak keberatan,” katanya. Tapi, menurut juru bicara BPKP, Herutomo, sampai akhir pekan lalu mereka tak tahu apakah Mundhofar dkk. telah diperiksa Kejaksaan Agung atau belum.

Pemilik Texmaco, Marimutu Sinivasan, tentu saja menyangkal keras dugaan suap itu. ”Saya tak pernah melakukan,” katanya geram. Ia pun mengaku tak kenal dan tak pernah bertemu dengan para auditor BPKP tersebut. Karena itu, pengusaha yang akrab dipanggil Wasen ini balik mengancam media yang dianggapnya ikut menyebarkan fitnah. ”Akan saya tuntut,” katanya sengit. Ia menduga ada semacam orkestrasi dan konspirasi yang secara sistematis ingin menjatuhkan Texmaco.

Di tengah kekusutan dan situasi saling tuding seperti itu, kebutuhan untuk memiliki sistem hukum dan peradilan yang tak pandang bulu kian mendesak. Celakanya, kebutuhan yang mendesak itu makin jauh saja dari jangkauan.

Nugroho Dewanto, Edy Budiyarso

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus