Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PABRIK elektronik agaknya mulai memanaskan soldernya. Dalam data terbaru yang diumumkan dua pekan lalu, Biro Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor elektronik sepanjang April mencatat rekor US$ 659,4 juta. Ini menyalip nilai ekspor dari tekstil dan kayu, komoditi unggulan kita selama ini. Dengan rekor ini, untuk pertama kalinya sejak dikembangkan 30 tahun lalu, industri elektronik Indonesia menduduki peringkat pertama ekspor non-migas.
Naiknya angka ekspor barang elektronik tak lepas dari krisis yang terjadi dua tahun lalu. Saat itu pasar dalam negeri, yang jadi andalan, sedang keok. Nilai mata uang dolar melonjak empat atau bahkan enam kali lipat, sehingga semua harga kebutuhan meningkat pesat. Sementara itu, lapangan kerja makin sempit setelah banyak perusahaan gulung tikar.
Akibatnya, penjualan barang-barang elektronik di pasar domestik menukik tajam. Sebut saja televisi. Tiga tahun lalu, produksinya masih bertengger 2,7 juta unit. Namun, tahun berikutnya benar-benar terjadi paceklik. Penjualan televisi berwarna tak lebih dari setengah juta unit, turun lebih dari seperlimanya. Departemen Perindustrian dan Perdagangan mencatat, dari 30 perusahaan yang beroperasi, cuma empat yang mampu memanfaatkan 80 persen kapasitas produksinya, separuhnya bekerja pada 50 persen kapasitas produksi, dan sisanya kembang-kempis.
PT Sony Manufacturing Indonesia menjadi contoh korban yang paling jelas. Pabrik elektronik yang baru setahun dibangun dengan investasi US$ 15 juta itu terpaksa dilikuidasi. Sebagian lini produksinya akhirnya digabung dengan PT Sony Electronic Indonesia, sementara sebagian lagi direlokasi ke Malaysia.
Dalam kondisi pasar dalam negeri yang sedang lumpuh itu, tak ada pilihan lain. ”Terpaksa kita mengais pasar ekspor, asal enggak rugi,” kata Raymond Tjoa, Direktur Perencanaan PT Sharp Yasonta Indonesia. Tak cuma Sharp, hampir semua industri elektronik melirik pasar luar negeri. Tujuannya agar mesin-mesin yang sudah terpasang tidak karatan, dan gelombang pemecatan buruh-buruhnya bisa ditekan.
Namun, mengalihkan pasar tak semudah memindahkan toko. Apalagi produk elektronik Indonesia, sejak dari sononya dulu, niatnya cuma untuk melayani kebutuhan dalam negeri. Penduduk yang jumlahnya ratusan juta merupakan pasar yang masih terbuka. Permintaan pasar makin meningkat saat televisi swasta bermunculan, sehingga, seperti kata Raymond, “Kita sebenarnya tak pernah berpikir untuk ekspor.” Hingga tiga tahun lalu, dari 285 ribu produksi televisi Sharp, tak satu pun yang diekspor. Sementara itu, produk lemari es-nya cuma 5 persen yang dijual ke luar negeri.
Tapi, begitu krisis, Raymond mulai coba-coba. Ekspor kecil-kecilan ini, katanya, lebih bersifat latihan agar terbiasa bersaing di pasar dunia ketimbang benar-benar melakukan penetrasi pasar. “Kalau tak dipaksa,” tuturnya, ”kita tak tahu perkembangan.” Selain harus bersaing dengan produk yang sudah lebih dulu dikenal, transportasi bisa juga menjadi kendala. Sebab, perusahaan elektronik multinasional rata-rata sudah punya pabrik di sejumlah negara yang punya potensi pasar bagus. Sharp, misalnya, sudah mencengkeram Filipina karena mereka punya pabrik di sana. Sony juga sudah menancapkan kuku di Malaysia, juga Taiwan.
Untunglah, pasar yang dibangun secara terpaksa itu ternyata bisa jadi sekoci penolong. Makin rusak dan runyamnya pasar domestik membuat pasar luar negeri digarap lebih serius. Tahun 1998, nilai ekspor produk elektronik Indonesia cuma US$ 2,7 miliar, tahun lalu sudah menanjak sampai US$ 3,4 miliar. Singapura dan Inggris tercatat sebagai negara tujuan terbesar, kemudian disusul negara-negara Arab dan Afrika.
Bagaimana ini semua bisa dilakukan? Grup Maspion, jagoan pembuat perkakas berbahan plastik dari Surabaya, mengaku harga sebagai senjata andalan. Produsen kipas angin, rice cooker, dan perkakas dapur ini mengaku mengalami kenaikan ekspor hingga 25 persen sepanjang kuartal pertama tahun ini, setelah terus menekan harga jual. Harga bisa ditekan karena biaya produksi relatif lebih rendah. Negara-negara penghasil elektronik yang lain di kawasan Asia seperti Malaysia, Filipina, Korea, dan Taiwan memiliki daya saing lebih rendah ketimbang Indonesia karena upah buruhnya jauh lebih tinggi.
Selain itu, produk Indonesia bermain untuk konsumen kelas menengah ke bawah. Misalnya televisi ukuran 14 inci, atau kulkas ukuran kecil. Humas Maspion, Soeharto, menyatakan pesaing paling potensial dalam soal banting harga datang dari negeri Cina. Untunglah, produk dari Negeri Naga itu kualitasnya masih ala kadarnya.
Sung Kiun, Sekjen Electronic Marketer Club (EMC), menyebut tingginya komponen lokal produk Indonesia ikut berperan menekan harga. Untuk televisi dan kulkas, misalnya, 70-80 persen komponennya sudah dibuat di Indonesia. Jadi, ketika harga dolar melonjak, harga kedua produk itu mestinya tak terlalu terpengaruhi. Ini sedikit “membantu” para produsen kulkas dan televisi melindungi dirinya dari hantaman krisis ekonomi. Sayang, komponen biaya yang lain seperti transportasi juga menaikkan tarifnya sampai 50 persen.
Sementara pasar ekspor terus bisa digeber, bagaiman dengan pasar lokal yang sudah mulai “terbebas” dari krisis? Ternyata permintaan dalam negeri juga sudah mulai rakus. Menurut EMC, setelah terempas badai krisis, permintaan pasar domestik kuartal pertama tahun ini naik 85 persen dari periode yang sama tahun lalu. Pesawat televisi, lemari es, pendingin ruangan, dan mesin cuci telah menjadi produk yang paling populer.
Menurut BPS, kondisi ini sangat dipengaruhi oleh kembalinya kepercayaan pasar. Mulai antengnya kurs rupiah terhadap dolar sejak tahun lalu juga membuat pasar mulai yakin bahwa harga sekarang tak akan banyak berubah. Kenaikan harga 30 persen dua pekan lalu gara-gara rupiah kembali berulah tak banyak berpengaruh terhadap penjualan.
Meningkatnya permintaan juga diimbangi dengan kenaikan layanan jasa keuangan. Dana segar dari perbankan telah menambal sebagian darah dan vitamin bagi pabrik-pabrik elektronik untuk kembali bekerja. Sharp, misalnya, bahkan mampu membuat pabrik baru untuk meningkatkan kapasitas produksi di bidang audio.
Apakah kondisi sudah pulih? “Belum seperti masa pra-krisis,” kata Yoshinori Ishikawa, Direktur Utama PT Sony Indonesia. Dengan kurs dolar Rp 8.500 saat ini, “kurs” telah berlipat tiga kali dari nilai pra-krisis. Padahal, kenaikan penghasilan konsumen belum berlipat sekian banyak.
Ekspor pun tak mungkin langsung tancap gas. Pasar di kawasan Asia juga belum pulih benar. Namun, beberapa perusahaan berhasil memanfaatkan jaringan multinasional itu untuk mengisi pasar yang belum tergarap. Hal ini dilakukan induk perusahaannya untuk menolong investasi yang telanjur ditanam di Indonesia agar tidak hancur.
Menurut Sekretaris Jenderal Departemen Perindustrian, Muchtar, peningkatan nilai ekspor elektronik juga banyak ditopang produksi setengah jadi. Barang-barang ini tak banyak dipengaruhi angin krisis. Meskipun para perakit harus mengimpor bahan bakunya, mereka bisa mendapatkan kompensasi karena akan mereekspor seluruh produksinya.
Asia Market Intelligence, sebuah perusahaan riset dan konsultan, mulai menaksir bahwa industri elektronik Indonesia akan kembali pada kondisi puncak dua tahun mendatang. Diramalkan penjualan televisi warna akan melonjak sampai 2,24 juta. Proyektor TV akan terjual hingga 1.400 unit, VCD player naik hingga 300.000 unit, dan DVD naik menjadi 18.500 unit.
Berarti mesin-mesin industri elektronik akan makin panas dan siap digeber. Kerja lagi, Bung!
Agung Rulianto, Agus S.R., Rian Suryalibrata
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo