BANYAK penjaja mobil agak grogi, ketika Holden Camira mulai diluncurkan, awal Agustus tahun lalu. Soalnya, mobil penumpang mentereng dengan isi langkah 1.600 cc itu ditawarkan dengan harga hanya Rp 16,750 juta - sementara mobil sekelasnya, seperti Honda Accord, dijajakan Rp 20 juta, dalam kondisi sama-sama kosong. Tak heran, hanya beberapa minggu sesudah diperkenalkan, Camira dengan cepat merebut pasar. Tapi sukses di pemasaran itu, belakangan, diketahui punya latar belakang sedikit gelap. Sebanyak 300 unit dari 690 unit Camira, yang dimasukkan dalam bentuk terurai (semi- knocked down), ternyata dianggap tidak beres bea masuk dan pajaknya. Berita kurang mengenakkan itu, pekan lalu, diungkapkan Susandi, S.H., kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur di Surabaya. Ketidakberesan pembayaran bea masuk dan pajak penjualan (PPn) impor mobil itu menyebabkan "Negara dirugikan lebih dari Rp I milyar," kata Susandi kepada TEMPO. PT Indauda, importir mobil tadi, mengaku tidak tahu-menahu dengan ketidakberesan pembayaran itu. Sebagai importir, anak perusahaan PT Udatimex ini mempercayakan pemasukan seluruh komponen mobil itu kepada EMKL PT PIDC (Pelita Indonesia Development Co.). Menurut A.W. Suwu, direktur utama Indauda, perusahaan jasa itulah yang bertanggung jawab melakukan pembayaran segala bea masuk dan PPn impor tadi ke Bea & Cukai, dengan giro bilyet importir. "Jadi, bukan pihak kami yang langsung membayar ke Bea & Cukai," tambah Suwu. Dan tugas itu, kabarnya, sudah dijalankan dengan baik oleh Pr, seorang oknum yang biasa bekerja dengan menggunakan bendera PIDC, bersama sejumlah konconya. Dia bekerja bersama sejumlah orang yang biasa dan paham betul bagaimana mengisi dan memainkan formulir PPUD (Pemberitahuan Pemasukan barang untuk Dipakai). Hanya dengan kerja sama petugas Bea & Cukai juga, akhirnya, barang yang dikeluarkan dari gudang bisa lebih besar daripada jumlah yang tercantum dalam PPUD. Karena jumlah Camira yang tertera dalam PPUD lebih kecil, bea masuk dan PPn impor yang masuk Bea & Cukai jadi kecil pula. Eloknya, komplotan ini malah memberi kesempatan importir untuk membayar seluruh biaya, yang semestinya dilunasi secara kontan itu, dengan mengangsur 10 kali. Tapi, ketika importir baru mengangsur sampai tujuh kali, keributan mulai muncul. Uang yang masuk ternyata jauh dari perhitungan. Dari perkiraan pihak Bea & Cukai yang Rp 1,2 milyar, sampai menjelang angsuran ketujuh itu, bea masuk dan PPn impor yang dibayar ternyata baru Rp 300 juta. Tak jelas benar berapa sesungguhnya bea masuk dan PPn impor Camira harus dipunut. Sebuah sumber memperkirakan, jika semua prosedur normal dilewati dengan baik, setiap mobil itu akan kena biaya sebesar tidak kurang dari Rp 4,6 juta. Di tengah makin sengitnya persaingan menjual sedan, beban biaya sebesar itu jelas akan semakin meningkatkan harga jual kendaraan. Namun, sebelum sasaran penjualan Camira dari Agustus 1983 sampai Juli 1984 mencapai 1.500 unit, keributan itu sudah keburu muncul. Di luar kehendak importir, soal itu pada akhirnya sempat menghentikan kegiatan perakitan Camira. Sejumlah 240 unit mobil itu, yang masih dalam bentuk terurai, hingga kini masih tersimpan rapi dalam puluhan peti kemas. Suplai mobil ke para agen dan penyalur juga terganggu. "Penjualan kami turun drastis," kata Suwu. Untuk sementara keunggulan sedan Camira dilupakan sejenak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini