TERNYATA tidak mudah menghabiskan anggaran pembangunan. Buktinya, Sisa Anggaran Pembangunan Daerah (Siapda) Pemerintah DKI Jakarta 1983-1984 mencapai Rp 70 milyar. Atau 41% dan seluruh anggaran pembangunan pada tahun anggaran itu (Llhat: Graftk). Karena besarnya Siapda itu sudah melampaui batas maksimum, 25%, gubernur DKI Jakarta Soeprapto, tentu saja, jadi prihatin dibuatnya. Di depan sidang DPRD, pekan lalu, Gubernur menyebut perlunya mempersingkat prosedur administrasi untuk menekan besarnya Siapda yang cenderung naik terus dibandingkan tahun anggaran sebelumnya. Katanya, banyak waktu dihabiskan sejak membuat rencana, menyiapkan dokumen teknis sampai akhirnya sebuah proyek memasuki tahap pelelangan. Jika sumber pembiayaan sebuah proyek juga diperoleh dari APBN Bank Dunia, atau badan multilateral lain prosedur itu cenderung akan makin rumit. Karena melibatkan banyak instansi, prosedur administrasi untuk proyek semacam itu, bukan tak mungkin, bisa memakan waktu sampai enam bulan. Sementara itu, harga tanah untuk proyek bersangkutan merayap secara perlahan-lahan. Hingga, sering terjadi, pada saat pelelangan sebuah proyek sudah disetujui, harga tanah di atas kertas ternyata tidak cocok lagi dengan kenyataan dilapangan. Pemda Jawa Timur, yang juga sering menghadapi kenyataan semacam itu, kadang terpaksa memperbarui anggaran khusus untuk memperoleh tanah proyek. Kepala Biro Keuangan Pemda Jawa Timur Soebakir, mengaku menemui cukup banyak kesulitan dalam membuat perkiraan perkembangan harga tanah untuk suatu proyek, apalagi jika dimiliki perorangan. Akibatnya, banyak proyek Inpres, seperti pembangunan gedung SD, jadi terhambat karenanya. "Kalau itu tanah negara, kami kira tidak akan sulit," katanya. Pemda Jakarta sering harus berebut tanah dengan berbagai perusahaan real estate. Kesulitan makin berat, bila sejumlah orang yang mempunyai kelebihan uang ramai-ramai ikut menubruk tanah untuk menyelamatkan rupiah mereka. Apalagi pada tahun anggaran itu, sesudah di evaluasi pada bulan Maret 1983, rupiah menunjukkan tanda-tanda makin merosot nilainya. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa kebijaksanaan moneter pemerintah pusat, sesungguhnya, secara tidak langsung juga ikut menambah kesulitan Gubernur Soeprapto dalam mencari lokasi tanah untuk proyeknya. Dalam keadaan kepepet seperti itu, bulan Januari tahun ini, harga BBM dinaikkan pula. Apa mau dikata anggaran proyek akhirnya tidak sesuai lagi dengan perkiraan, karena harga pelbagai bahan-bangunan, misalnya semen, ikut terdorong naik mengekor kenaikan harga BBM. Tapi problem berat seperti Pemda Jakarta itu, rupanya, tak banyak dihadapi Pemda Sum-Ut. Tanah di kawasan itu tersedia cukup luas. Eskalasi harga proyek, tampaknya, juga tidak terlalu besar Karena itulah, Siapda Sum-Ut 1983-1984 hanya Rp 2,8 milyar, atau 11,5% dari seluruh anggaran pembangunan. Dari tahun ke tahur Siapda daerah itu memang selalu ada, "Namun kami mengusahakan tidak pernah lebih dari 20%," ujar Rudolf Siahaan, kepala Biro Humas Pemda Sum-Ut. Mungkinkah Siapda dihapuskan? Menurut Gubernur Soeprapto dengan sistem penganggaran dan tata kerja yang selama ini berjalan, tidak mungkin pemda bisa menghapuskan Siapda. Realisasi dana proyek, yang tidak selalu tepat dilakukan pada 1 April, sesungguhnya juga sudah membuka kesempatan munculnya Siapda - apalagi anggaran makin bertambah besar saja. Karena itu, Gubernur Soeprapto berpendapat, "Siapda hanya bisa ditekan sampai batas kewajaran." Sampai di mana batas wajar itu tentu masih bisa diperdebatkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini