BEBERAPA pengusaha kayu di Kalimantan Barat dikejar-kejar krediturnya. Sampai pekan lalu, mereka telah meminjam sekitar Rp 20 milyar, sebagai kredlt langka pendek dengan bunga 3%-6% per bulan. "Cek mundur" yang dijaminkan kepada kreditur, ketika jatuh tempo ternyata tak bisa dicairkan di bank. PT Benua Indah disebut-sebut sebagai salah satu di antaranya. Manajer umum PT Benua Indah, Alex Tursanto, 38, mengakui bahwa perusahaannya terpaksa mencari dana sangat mahal - di luar bank pemerintah. Tapi Alex alias Song Teng tidak menganggap krediturnya rentenir atau bank gelap. "Kami meminjam berdasarkan kepercayaan. Dalam bisnis, tentu saja ada balas jasa, tapi kami tidak menganggap sebagai bunga," katanya kepada Djunaini K.S. dari TEMPO per telepon. Seorang direktur utama sebuah perusahaan kayu di Jakarta, yang mempunyai grup di Kalimantan, menganggap bahwa bunga pinjaman di luar bank 3%-6% per bulan itu juga masih wajar. "Di kalangan bank di Jakarta sendlri, 'kan ada pinjaman antarbank dengan bunga 90% per tahun," katanya. Sebaliknya, direktur eksekutif Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo), Karsudjono Sinduredjo, menganggap kreditur yang memberi pmjaman sampai 6% per bulan itu rentenir atau bank gelap. Bank pemerintah biasa memberi pinjaman modal kerja dengan bunga 18% per tahun dan kredit ekspor 15 % per tahun. "Bunga kredit ekspor itu dibayarkan kembali 6% kepada pengusaha, bila ekspor telah dilaksanakan," kata Karsudjono. Namun, direktur eksekutif Apkindo itu mengakui bahwa sudah biasa kalau pengusaha kayu meminjam di luar bank. Bank pemerintah sudah menutup pintu kredit, karena, antara lain, pengusaha tidak bisa memenuhi kewajibannya melunasi kredit sebelumnya. Sepinya pasar kayu lapis yang menyebabkan pengusaha tak bisa melunasi utangnya. Ia juga menganggap wajar saja kalau cek mundur yang dibayarkan kepada kreditur ternyata kosong. Seorang direktur utama perusahaan kayu menuding peraturan pemerintah, yang menyuruh pengusaha cepat-cepat melaksanakan industrialisasi, yang menyebabkan mereka kepepet. Ekspor kayu bulat (10g), katanya, terlalu cepat dibatasi - dari 6 juta kubik pada 1981, tinggal 1,5 juta kubik tahun ini dan nol kubik mulai tahun depan. "Bagaimana pabrik-pabrik berkapasitas produksi 18 juta kubik bisa melemparkan seluruh lognya?" katanya. Pasar kayu lapis juga sedang sepi, sehmgga perusahaan tak mempunyai penghasilan. Otomatis bank pemerintah menutup pintu kredit, setelah perusahaan yang bersangkutan tak memenuhi kewajibannya. Untuk mempertahankan kelangsungan perusahaan, terpaksa pengusaha menjaminkan cek mundur dengan jaminan onggokan kayu yang hendak dijual. Hanya bagi perusahaan kayu lapis yang besar-besar, seperti Benua Indah, pemberian kredit cukup dengan jaminan kepercayaan. Alex Tursanto mengaku bahwa jumlah kredit Benua Indah di luar bank "tidak sampai tiga jari" atau Rp 3 milyar. Sampai Senin pekan ini ia merasa, Benua Indah belum diadukan kreditur kepada polisi. "Kredit akan kami lunasi, hanya soal waktu. Balas jasa tentu tetap senilai faktur yang telah dijanjikan," katanya. Benua Indah masih menjalankan pabrik kayu lapis di Sei Adung Pontianak, yang kapasitas produksinya 90.000 m3 per tahun, tapi pabrik hanya dijalankan separuh kapasitas. Kendati beberapa pedagang yang memberikan kredlt itu mengalami kesulitan uang tunai, situasi perekonomian di Pontianak (Kalimantan Barat) tidak lumpuh. "Apalah artinya Rp 20 milyar itu dibandingkan misalnya dengan anggaran pembangunan daerah," kata sumber TEMPO di Bank Indonesia Cabang Pontianak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini