Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

CAR Bank Tambah Modal Agar Kebal

Pemilik bank kecil kalang kabut karena Bank Indonesia mewajibkan mereka menambah modal hingga Rp 150 miliar. Bila sampai September belum dipenuhi, banknya terancam kehilangan status bank devisa.

1 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASA bermurah hati sudah lewat bagi Bank Indonesia. Kebiasaan berkompromi dan membiarkan berbagai peraturan dilanggar juga sudah tidak zamannya lagi. Lagi pula pengalaman pahit masa lalu cukup menjadi pelajaran. Dulu, semua orang dengan gampang bisa memiliki bank, kendati modalnya cekak. Tapi, begitu terjadi krisis, Bank Indonesia (BI) yang harus jungkir-balik mengucurkan bantuan likuiditas bagi mereka. Dan pemerintah pun mesti ikut menyingsingkan lengan baju dengan menyuntikkan dana rekap. "Penyanderaan" semacam itu tentu tak boleh terulang lagi. Kini BI sibuk membenahi sistem perbankan, terutama mengawasi agar ketentuan kecukupan modal (CAR, capital adequacy ratio) benar-benar dipatuhi. Tujuannya agar kelak perbankan lebih tahan banting, bahkan kalau bisa lebih kebal menghadapi krisis. Dalam rangka itu, bank sentral menetapkan sejumlah persyaratan yang mesti dipenuhi pemilik dan manajemen bank, termasuk rasio kecukupan modal minimum 8 persen, yang mesti terlaksana akhir tahun ini. Memang, dengan program rekapitalisasi yang menghabiskan dana triliunan rupiah itu, kondisi permodalan bank agak membaik. Menurut data BI, keseluruhan modal bank pada caturwulan empat tahun 2000 telah mencapai Rp 54,7 triliun?berarti meningkat Rp 21,1 triliun ketimbang kondisi tiga bulan sebelumnya, yang masih Rp 33,6 triliun. Kendati demikian, ada sejumlah bank yang modalnya masih pas-pasan. Sumber TEMPO menuturkan, berdasar stress test (simulasi dengan metodologi pertumbuhan kredit aktual dari Bank for International Settlement) terhadap 103 bank, diketahui ada 20 bank yang diperkirakan akan sulit mencapai CAR 8 persen. Bank-bank tersebut hanya bisa lolos bila modalnya dikatrol dengan tambahan dana sekitar Rp 7 triliun. Dana ini jelas cukup besar. Hanya, masih jauh lebih kecil ketimbang Rp 60 triliun, yakni jumlah yang mesti dibayarkan pemerintah bila bank-bank itu harus ditutup. Tak aneh bila bank sentral makin ketat meminta pemilik bank menyetor modal tambahan. Terakhir, Dewan Gubernur BI memerintahkan semua pemilik bank kategori A?yang CAR-nya di atas 4 persen?untuk menambah modalnya hingga Rp 150 miliar. Tenggat yang ditetapkan untuk melaksanakan ketentuan itu adalah akhir September mendatang. Bila membandel, BI mengancam akan mencabut status bank devisa, yang selama ini dimanfaatkan bank-bank tersebut. Ketentuan itu kontan mengundang reaksi keras dari sejumlah pemilik bank. Apalagi, Rp 150 miliar bukanlah jumlah yang kecil. Komisaris Bank Global, Riyanto Sastroatmodjo, menganggap aturan itu tak realistis dalam kondisi ekonomi yang belum membaik. "Tak mudah mencari dana sebanyak itu di saat ekonomi sedang sembelit seperti sekarang," ujarnya. Riyanto tidaklah memusuhi ide penyetoran modal tambahan. Tapi, ia lebih setuju bila aturan itu ditujukan kepada bank yang modalnya memang sudah menipis. "Jadi, tidak dipukul rata," katanya. Pencabutan status bank devisa pun menurut dia justru akan menimbulkan kerugian bagi bank. Paling tidak, mereka kehilangan sesuatu yang sudah diinvestasi cukup lama, seperti sumber daya manusia, jaringan kantor, dan korespondensi yang sudah dijalin dengan bank-bank di luar negeri. Berbeda dengan Riyanto, analis perbankan Mirza Adityaswara berpendapat bahwa ketentuan penambahan modal itu tak bisa ditawar lagi. Alasannya, dibandingkan dengan negara lain, jumlah Rp 150 miliar itu pun masih terbilang kecil. Lagi pula, bank adalah bisnis kepercayaan yang membutuhkan modal besar. "Kalau mereka tak mampu menambah modal, sebaiknya bergabung saja," ujarnya tegas. Karena itu, Mirza meminta BI tetap konsisten, termasuk "memaksa" bank-bank kategori A itu untuk melakukan merger. Bila hanya mengancam untuk mencabut status bank devisa, hal itu dianggapnya cuma gertakan anak-anak. Soalnya, dalam kondisi sekarang, kegiatan ekspor atau korespondensi dengan bank di luar negeri memang sudah sangat jarang. Eksportir lebih suka berhubungan langsung dengan bank asing karena bank lokal sulit memberikan fasilitas impor. Mirza boleh bersuara keras, tapi pimpinan BI tampaknya akan mengambil jalan tengah. Menurut Deputi Gubernur Burhanudin Abdullah, BI pada dasarnya tetap menekankan pada ketentuan pemenuhan CAR minimal, ketimbang pada nilai absolut modal. Namun, kewajiban menyetor modal Rp 150 miliar itu tidak dicabut. Hanya, penerapannya dibuat lebih luwes dan tenggat pemenuhannya bisa diulur melebihi September. Apakah semua keringanan itu hanya lebih memperkuat kekhawatiran kita bahwa disiplin masih bisa ditawar-tawar di negeri ini? Tampaknya demikian. Kini, isu bahwa Indonesia akan diamuk krisis kedua sehingga perlu rekapitalisasi kedua telah bergaung ke mana-mana. Dalam hal ini, bank sentral tinggal memilih: apakah lebih suka jatuh sedikit korban sekarang, atau jatuh lebih banyak korban kelak kemudian hari. Nugroho Dewanto, Leanika Tanjung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus