Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bea dan Cukai Bea Cukai Diamputasi Lagi?

Peran Bea dan Cukai dalam pemeriksaan barang impor akan diganti. Menteri Keuangan Prijadi Praptosuhardjo menolak.

1 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bea dan Cukai segera dipreteli. Kabar ini sudah sepekan berputar-putar di lingkungan Kantor Bea dan Cukai. Asalmuasalnya adalah Keputusan Menteri Koordinator Perekonomian Rizal Ramli untuk membentuk tim kecil guna mengatasi penyelundupan. Pemerintah kesal melihat penyelundupan semakin subur akhir-akhir ini. "Yang dibawa keluar BBM dan kayu, sementara yang dimasukkan ke Indonesia adalah produk elektronik," kata Rizal seusai rapat ekonomi di Istana Merdeka, Senin pekan lalu. Menurut sumber TEMPO, yang punya usul memangkas Bea Cukai adalah Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Luhut B. Panjaitan. Usulnya, agar peran Bea Cukai dalam pemeriksaan barang impor digantikan oleh Australia Customs Service (ACS). Penolakan datang dari Menteri Keuangan Prijadi Praptosuhardjo dan Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Permana Agung. "Memang ada usul dari Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Tapi saya bilang nanti dulu. Kita kaji dulu dengan tim kecil," kata Prijadi. Permana juga bertahan. Menurut dia, jika hendak mengalihkan kegiatan Bea dan Cukai, yang harus diubah lebih dulu adalah dua undang-undang, Nomor 10 dan 11 Tahun 1995 tentang Kepabeanan dan Cukai. "Sistem yang akan dipakai Australia sama dengan yang diterapkan Societe Generale de Surveillance (SGS) dulu, yakni pre-shipment inspection (pemeriksaan prapengapalan)," kata Permana. Dan sistem itu sudah ditinggalkan begitu dua undang-undang tersebut diberlakukan pada 1997. Selain itu, biaya yang harus dikeluarkan pemerintah akan sangat besar. Sebab, dengan sistem prapengapalan, semua barang harus diperiksa di negara asal. Permana memperkirakan biaya atau fee yang harus dibayarkan kepada Badan Kepabeanan Australia itu mencapai sekitar US$ 500 juta per tahun (Rp 5 triliun). "Bandingkan dengan anggaran Bea dan Cukai yang cuma Rp 279 miliar," kata Permana. Jumlah ini akan makin besar jika kegiatan ekspor-impor meningkat. Permana juga menolak dikatakan gagal mengatasi penyelundupan. Menurut dia, Bea dan Cukai telah berbuat banyak untuk mencegah penyelundupan, antara lain dengan menangkap 13 tanker yang hendak menjual minyak ke luar negeri. Selain itu, Bea dan Cukai telah menangkap sejumlah penyelundup, mulai dari narkotik sampai mobil mewah. "Kalau memang dianggap tidak mampu, cari jalan keluarnya. Tapi jangan kemudian menyewa Australia," kata Permana. Namun, kabar soal ACS ini dibantah oleh Kepala Lembaga Penelitian dan Pengembangan Industri dan Perdagangan, Manahan Laut Simbolon. Pihaknya memang telah sebulan ini melakukan kajian terhadap kepabeanan dan cukai. "Kita memang heran mengapa penerimaan kepabenanan seperti tidak sesuai dengan peningkatan impor," katanya kepada Rommy Fibri dari TEMPO. Tapi dia menolak keras jika dibilang departemennya telah membuat rekomendasi, terutama yang berkaitan dengan ACS. Apa pun bantahan itu, Prijadi dan Permana telah mengonfirmasi kemungkinan pengalihan peran Bea dan Cukai ke pihak asing. Dan usul tentang ini bukan cuma datang dari Luhut. Pertengahan tahun lalu, Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (Ginsi) juga meminta sistem post-audit (pengecekan barang setelah tiba di pelabuhan tujuan) diganti dengan prapengapalan. "Sistem yang ada sekarang memberikan peluang terjadinya manipulasi," kata Amiruddin Saud, Ketua Umum GINSI ketika itu. Peluang itu muncul terutama karena tak semua barang impor diperiksa. Bea dan Cukai akan menentukan barang apa saja yang harus diperiksa dan mana yang tidak. Barang yang diperiksa harus melewati jalur merah, sementara yang lain melalui jalur hijau. Kebijakan ini ditempuh untuk memperlancar arus barang di pelabuhan. Tapi, menurut Saud, pada titik inilah adanya kerawanan. "Barang haram" bisa masuk dengan berbagai modus, misalnya barang disebut tidak sesuai dengan dokumen atau harganya diturunkan supaya pajaknya kurang (under invoicing). Karena itu, GINSI mengusulkan perubahan dan bahkan bersedia menanggung biayanya. Usul GINSI itulah yang kini diajukan kembali oleh Luhut. Jika akhirnya usul ini diterima, Bea dan Cukai akan kembali "menganggur" seperti era 1985-1997, ketika pemerintah menyewa SGS dari Swiss untuk menjalankan fungsi pemeriksaan. Adakah penyelundupan diberantas tuntas waktu itu dan pendapatan pemerintah dari pajak naik tajam? Itu yang harus dikaji dulu, sebelum melangkah jauh. M. Taufiqurohman, Dwi Wiyana, Arif Kuswardono, Rumbadi Dalle (Batam)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus