Sidang persiapan Consultative Group on Indonesia (CGI) sudah di depan mata, tapi pemerintah belum siap. April mendatang delegasi RI mesti melaporkan kepada kumpulan negara dan lembaga donor itu apa saja yang sudah dikerjakannya sejak pertemuan CGI terakhir di Tokyo, Oktober tahun lalu. Paling tidak, ada empat agenda yang laporannya ditunggu: masalah penebangan hutan secara liar (illegal logging), pemberantasan kemiskinan, desentralisasi fiskal, dan good governance.
Dari empat agenda itu, penebangan hutan secara liar tampaknya bakal menjadi masalah gawat. Soalnya, kendati sewaktu di Tokyo pemerintah sudah menjanjikan delapan program aksi?belakangan bertambah menjadi 12 program?dan membentuk Inter-Departmental Committee on Forestry (IDCF) untuk mengurangi penebangan liar, ternyata sampai sekarang kedua PR itu masih dikerjakan secara tambal sulam. Bahkan IDCF belum menghasilkan apa-apa kecuali mencorat-coret konsep di atas kertas.
Padahal, ketika di Tokyo, negara dan lembaga donor bersedia memberikan pinjaman US$ 4,836 miliar ditambah hibah US$ 530 juta dengan beberapa syarat. Salah satunya menyelamatkan hutan Indonesia sebagai paru-paru dunia. Kenyataannya, kini kerusakan hutan akibat penebangan liar justru menggila.
Setiap tahun, jumlah hutan yang rusak diperkirakan meningkat dari 900 ribu hektare menjadi 1,6 juta hektare. Hingga kini luas hutan yang mengalami kerusakan diperkirakan lebih dari 15,3 juta hektare. Adapun total lahan kritis diperkirakan mencapai 41,75 juta hektare. Dari jumlah itu, lahan kritis di wilayah konservasi mencapai 6,3 juta hektare. Tak mengherankan jika beredar isu bahwa Menteri Kehutanan Nurmahmudi Ismail dipecat gara-gara soal ini.
Nurmahmudi membantah isu itu, tapi mengakui negara rugi besar akibat praktek pene- bangan liar ini. "Kita tidak bisa menarik dana reboisasi dan provisi sumber daya hutan," katanya. Mengutip data Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Nurmahmudi menyebut ekspor kayu bulat ilegal selama tahun lalu mencapai 10 juta meter kubik. Dari situ gampang dihitung, negara kehilangan pendapatan sekitar US$ 360 juta alias Rp 3,6 triliun karena kontribusi 1 meter kubik kayu bulat terhadap pendapatan negara sekitar US$ 36," ujarnya.
Nurmahmudi mengaku sudah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi penebangan liar itu, mulai dari tindakan preventif, edukatif, sampai represif. Dibantu Sekjen Soeripto, misalnya, ia berhasil mengidentifikasi 18 orang mafia kayu yang selama ini menjadi beking penebangan liar. Mereka memiliki banyak uang sehingga bisa menebang di mana saja, termasuk di taman nasional yang dilindungi. Mereka juga mampu membangun jaringan begitu luas yang melibatkan berbagai pejabat tinggi.
Dari 18 orang itu, mereka berhasil menangkap tiga orang, yaitu Ali Jambi, yang melakukan penebangan kayu secara liar di Provinsi Riau, Hartono asal Pasuruan, dan Sadono dari Surabaya. Dalam melakukan operasi penertiban itu pihak Departemen Kehutanan bekerja sama dengan aparat kepolisian. Namun, Nurmahmudi mengungkap ada permainan tingkat tinggi untuk melepas gembong penebang liar yang sudah ditangkap. Akibatnya, Ali Jambi akhirnya bebas dari tahanan lantaran Kapolda setempat ditelepon oleh pejabat sebuah lembaga yang hierarkinya lebih tinggi.
Namun, Longgena Ginting dari Walhi berpendapat, komitmen pemerintah untuk mengurangi penebangan liar cuma sekadar pemanis bibir. "Hingga hari ini tidak ada satu pun janji itu yang dikerjakan di lapangan," katanya. Sejauh ini belum ada satu pun gembong penebang liar yang sudah ditangkap, diajukan ke pengadilan. Yang sudah dilakukan pemerintah, menurut Longgena, cuma menerbitkan buku action plan dan menyelenggarakan lokakarya tentang penebangan liar.
Pendapat Longgena disokong Hapsoro dari Telapak. Ia mengambil contoh kerusakan Taman Hutan Nasional Tanjungputing, habitat alami orangutan di Kalimantan Tengah. Di sana, menurut Hapsoro, pemerintah cuma melakukan operasi temporer yang tak menghasilkan apa-apa. Malah razia aparat berubah menjadi operasi pemutihan kayu ilegal, karena kayu curian itu bisa dijual asal pemiliknya membayar pajak kepada pemerintah daerah setempat.
Itu sebabnya, Nurmahmudi menganggap kegagalan operasi itu tak bisa ditimpakan sepenuhnya kepadanya. Sebab, Departemen Kehutanan semestinya memang mendapat dukungan dari departemen dan instansi lain yang tergabung dalam Komite Antardepartemen untuk Menangani Masalah Kehutanan (IDCF). Kenyataannya, IDCF sepertinya mandul. Hal itu, menurut Nurmahmudi, merupakan kesalahan koordinasi Rizal Ramli, yang menjadi ketua komite itu.
Jangankan bekerja, komite yang anggotanya melibatkan 13 jajaran selevel menteri itu tercatat baru sekali menyelenggarakan rapat yang dihadiri semua anggota. Pertemuan selanjutnya kerap dihadiri eselon lebih rendah. Itu pun orangnya selalu berganti-ganti. "Kecuali Departemen Kehutanan, yang menunjuk seorang pejabat tetap," ujar Nurmahmudi, yang dulu menjadi wakil ketua komite itu.
Boleh jadi, pekerjaan IDCF terbengkalai lantaran Menteri Rizal terlalu sibuk dengan tugas lain. Karena itu, Sekretaris Menko Perekonomian pernah menawarkan kepada Nurmahmudi untuk mengambil alih tugas Rizal sebagai koordinator komite. Tapi bekas presiden Partai Keadilan itu menolak karena Rizal tak pernah meminta kepadanya secara langsung. "Tanpa surat resmi dari Rizal, nanti saya dikira mau macam-macam," ujarnya.
Kini Nurmahmudi sudah lengser. Gawatnya, Marzuki Usman yang menjadi penggantinya bukan figur yang memiliki jam terbang dalam urusan kehutanan. Karena itu, tak aneh, di tengah urusan serius membahas penebangan liar dengan CGI, menteri di zaman Habibie itu malah menyatakan keinginannya mengurusi soal asap. Seorang pembantu dekat Marzuki Usman mengakui bosnya memang belum tahu apa-apa. "Urusan IDCF tanyakan saja sama Pak Rizal Ramli," katanya.
Ajaibnya, Rizal, yang dihubungi TEMPO, menyebut urusan IDCF sedang dirancang oleh Menteri Kehutanan yang baru. "Konsep IDCF sedang dipersiapkan secara matang menjelang pertemuan CGI di Yogya, 23 April mendatang," ujarnya. Jadi siapa yang benar?
Nugroho Dewanto, Dwi Arjanto, I G.G. Maha Adi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini