Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri PPN/Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa, pernah menyampaikan bahwa visi Indonesia emas 45 adalah negara Nusantara berdaulat, maju, dan berkelanjutan. Suharso pun berharap pendapatan per kapita Indonesia sudah setara negara maju. Dia menargetkan nominal US$ 30.300 per kapita pada 2045 atau US$ 21.000 pada 2037.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Untuk itu dalam mewujudkan visi besar tersebut kita memang harus bertransformasi,” tutur Suharso di Djakarta Theater, Jakarta Pusat, Kamis, 15 Juni 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pertumbuhan ekonomi pun menjadi tantangan yang harus bisa dijawab. Menurut Deputi Bidang Ekonomi Kementerian PPN/Bappenas, Amalia Adiniggar Widyasanti, pertumbuhan ekonomi Indonesia harus mencapai 6 hingga 7 persen sebelum 2045. Dengan capaian itu Indonesia bisa keluar dari middle income trap, yakni keadaan ketika negara berhasil mencapai tingkat pendapatan menengah tetapi tidak dapat keluar.
Transformasi perlu dipercepat
Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, mengatakan pemerintah mesti bergerak cepat dalam transformasi ekonomi jika ingin merealisasikan Indonesia sebagai negara maju pada 2045. Sebab, keluar dari status upper middle income country atau negara berpendapatan menengah atas tidak mudah.
"Kita hanya punya waktu sekitar 22 tahun lagi," kata Faisal kepada Tempo, Kamis, 13 Juli 2023.
Faisal mengatakan perjalanan dari upper middle income country menuju higher income country atau negara berpendapatan tinggi akan memakan waktu lama. Sebab, rentang batas atas dan bawah pendapatan per kapita dalam kategori ini lebih panjang.
Jika mengacu klasifikasi Bank Dunia, rentang pendapatan negara dalam kelas upper middle income, yakni US$ 4.466 hingga US4 13.845. Artinya, untuk menjadi higher income country, pendapatan Indonesia harus di atas US$ 13.845.
Rentang pendapatan itu jauh lebih panjang ketimbang yang dicapai Indonesia ketika keluar dari lower middle income country, yang rentang pendapatannya saat itu sekitar US$ 1.000 hingga US$ 4 ribu. Padahal ketika keluar dari lower middle income country menjadi upper middle income country, kata Faisal, Indonesia menghabiskan waktu sekitar 26 tahun.
"Kalau yang rentangnya sekitar US$ 3 ribu saja lama, berarti kalau mau mencapai higher income yang rentangnya hampir US$ 9 ribu, prosesnya lebih panjang," kata Faisal. "Jadi,harus dilakukan percepatan luar biasa," kata dia.
Butuh waktu lama untuk keluar dari upper middle income country ke higher income
Sementara itu, Ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan transformasi Indonesia dari negara berkembang menjadi negara maju pada 2045 membutuhkan proses panjang. Ada sederet tantangan yang mesti dilalui.
"Sekarang Indonesia masuk upper middle income country (negara berpendapatan menengah ke atas). Lompatan dari lower ke upper lebih mudah daripada upper ke higher income atau menjadi negara maju," kata Bhima kepada Tempo, Kamis malam, 13 Juli 2023. "Butuh waktu lama. Bahkan bisa jadi target 2045 meleset.
Sejumlah tantangan Indonesia jadi negara maju pada 2045
Bhima lantas membeberkan sejumlah tantangan yang menghadang Indonesia untuk menggapai cita-cita tersebut. Pertama, bonus demografi. Jika tidak dimanfaatkan dengan baik, pendapatan per kapita Indonesia akan tetap kecil. Kedua, ketersediaan lapangan kerja, kemampuan tenaga kerja, dan aspek lain yang menyangkut sumber daya manusia (SDM).
“Fenomena yang dikhawatirkan adalah kita terlalu cepat deindustrialisasi dini, sebelum lepas landas menjadi negara maju,” ujar Bhima kepada Tempo, Kamis, 13 Juli 2023.
Ketiga, eksploitasi sumber daya alam (SDA). Cukup riskan jika Indonesia terus bergantung pada SDA. “SDA akan habis. Harganya juga fluktuatif.”
Keempat, tantangan dalam inovasi dan digitalisasi. Hal ini yang membuat penyerapan tenaga kerja masih sedikit. Malah, tidak sedikit talenta digital Indonesia yang akhirnya bekerja di perusahaan digital di luar negeri. “Ini ancaman serius bagi kualitas ekonomi kita ke depan.
Di sisi lain, Indonesia mengalami banjir produk impor karena Indonesia masih dipersepsikan sebagai pasar. Jika tidak bisa mengelola digitalisasi dengan baik, kata Bhima, barang impor murah dari Cina akan terus datang ke Indonesia.
Tantangan selanjutnya, soal jaring pengaman sosial yang rendah. Jika besarannya hanya 2,3 persen dari PDB, jaring pengaman sosial, termasuk bantuan sosial dan subsidi, sulit mengangkat orang miskin keluar dari garis kemiskinan. Walhasil, ketimpangan sosial bisa menjadi lebar.
Terakhir, hilirisasi yang berpotensi blunder. Hal ini ketika Indonesia mendorong hilirisasi di sektor fosil. Misalnya, gasifikasi batu bara. Sedangkan Indonesia memiliki arah tujuan net zero emission (NZE) pada 2060.
“Akhirnya menjadi kontradiktif dan akan sulit mencari pembiayaan jangka panjang,” kata Bhima.
RIRI RAHAYU