Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Center of Economic and Law Studies (Celios) mengungkapkan kerugian yang diderita masyarakat akibat dugaan pengoplosan bahan bakar minyak (BBM) Pertamax oplosan ditaksir mencapai Rp 17,4 triliun per tahunnya. Direktur Ekonomi Digital Celios Nailul Huda mengatakan ketika terjadi dugaan pengoplosan itu harga minyak dunia sempat melonjak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sehingga, Huda berpendapat, pelaku pengoplosan tersebut menikmati keuntungan yang besar. Ia menguraikan, selisih harga jenis BBM Pertamax 92 dan Pertalite pada 2022 mencapai Rp 4.500 per liter. Sementara pada 2023, selisihnya sebesar Rp 3.400 per liter.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan asumsi selisih harga pada 2023, kerugian konsumen berdasarkan perhitungan Celios tercatat sebesar Rp 47,6 miliar per harinya, atau setara Rp 17,4 triliun per tahun. “Ini yang kami sebut sebagai kerugian konsumen, di mana konsumen seharusnya membayar produk tersebut dengan seharga Pertalite, tapi mereka membayarnya dengan harga Pertamax,” ujar Huda di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 20 Maret 2025.
Sebagai informasi, LBH Jakarta dan Celios membuka posko pelaporan untuk masyarakat yang merasa menjadi korban kasus dugaan korupsi pengadaan BBM di lingkungan PT Pertamina (Persero) selama seminggu, terhitung dari 26 Februari hingga 5 Maret 2025.
LBH Jakarta telah menerima laporan secara daring dan luring. Dalam pengisian formulir pengaduan tersebut, masyarakat harus menjawab sejumlah modeling pertanyaan. Misalnya, intensitas mengisi BBM Pertamax, hingga dampak atau bentuk kerugian yang diderita.
Dari ratusan laporan yang masuk itu, LBH dan Celios menemukan data mengenai perkiraan pengeluaran yang hilang akibat pengoplosan bahan bakar tersebut. Sebanyak 37 persen responden mengatakan uang yang dikeluarkan dapat digunakan untuk kebutuhan pokok.
Sementara itu, 23,2 persen menyebut uang mereka dapat digunakan untuk ditabung dan sebanyak 20,5 persen menyatakan biaya bisa dipakai untuk pendidikan. Sebanyak 17,2 persen responden mengatakan uang tersebut bisa dipakai untuk biaya kesehatan.
Artinya, Huda menjelaskan, jumlah kerugian tersebut seharusnya dapat digunakan untuk berbagai sektor dan untuk memenuhi berbagai kebutuhan. "Jangan lupa, uang Rp 17,4 triliun per tahun atau Rp 47,6 miliar per hari yang dikeluarkan oleh masyarakat seharusnya bisa untuk memenuhi kebutuhan pokok,” ucapnya.
Kerugian konsumen ini, lanjut dia, justru jarang dibahas oleh pemerintah. “Pemerintah selalu menekankan kerugian negara, kerugian negara dan sebagainya. Kami memandang bahwa ada dari sisi aspek konsumen yang memang dirugikan dengan adanya praktik pengoplosan Pertalite menjadi Pertamax ini,” ujarnya.
Adapun LBH Jakarta dan Celios mencatat telah menerima lebih dari 600 aduan masyarakat mengenai dugaan bahan bakar minyak Pertamax oplosan.“Dari pembukaan pos aduan bagi korban Pertamax yang kami buka selama satu minggu, tercatat sudah sebanyak 619 pengaduan yang kami terima,” ucap Kepala Bidang Advokasi LBH Jakarta Alif Fauzi Nurwidiastomo.
Alif berujar, masyarakat layak menuntut kompensasi, ganti kerugian dan/atau penggantian dengan cara melakukan gugatan perwakilan kelompok atau class action. Tak hanya itu, masyarakat juga bisa menuntut perbaikan kebijakan tata kelola minyak dan gas atau migas dengan melakukan gugatan masyakat atau citizen lawsuit.
Dugaan Pertamax oplosan mencuat setelah Kejaksaan Agung menetapkan sembilan tersangka kasus impor minyak. Ada sejumlah petinggi Pertamina yang menjadi tersangka. Mereka adalah Maya Kusmaya (MK) selaku Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga dan Edward Corne (EC) selaku VP Trading Operation Pertamina Patra Niaga.
Selain itu, ada juga Direktur Utama Patra Niaga Riva Siahaan, Direktur Optimasi Feedstock & Produk PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Sani Dinar Saifuddin, dan Direktur PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi.
Para tersangka korupsi Pertamina ini diduga melakukan blending atau mengoplos BBM jenis Pertamax dengan Pertalite. Direktur Utama Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan yang ditetapkan sebagai salah satu tersangka diduga membeli RON 90 atau lebih rendah, namun mengaku membeli RON 92. Kemudian RON 90 itu dioplos atau blending di storage atau depo untuk menjadi RON 92.
Pelaksana tugas harian Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Mars Ega Legowo Putra, membantah soal Pertamax oplosan seperti yang ditudingkan Kejaksaan Agung. Ega menjelaskan BBM yang diterima Pertamina Patra Niaga berasal dari dua sumber utama, yakni kilang dalam negeri dan pengadaan dari luar negeri. Produk tersebut sudah memiliki nilai RON yang sesuai sebelum didistribusikan.
“Baik yang dari luar negeri maupun yang dari dalam negeri, itu kita sudah menerima dalam bentuk RON 92. Yang membedakan adalah, meskipun sudah dalam RON 90 maupun RON 92, itu sifatnya masih base fuel, artinya belum ada aditif. Jadi Pertamina Patra Niaga itu mengelola dari terminal sampai ke SPBU,” ujar Mars Ega dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VII DPR RI, pada Rabu, 26 Februari 2025.
Alfitria Nefi P berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Permainan di Balik Tuduhan Bensin Oplosan Pertamina