BICARA banknya perusahaan-perusahaan multimasional di sini, orang tentu akan berpaling kepada Citibank, Iembaga keuangan swasta asing terbesar, yang pada September 1983 punya kekayaan Rp 491 milyar. Akhir Januari, dalam upaya menjangkau kalangan di Jakarta Selatan, bank ini membuka kantor cabang pembantu di gedung milik PT Roda Mas, Kapiing 14, di Jalan Gatot Subroto. Melalui kantor cabang pembantu itu, menurut Syahrul Ralie Siregar, manajer umum di situ, permintaan akan kredit profesi bisa dilayani. Seorang dokter yang butuh membcli alat-alat untuk buka praktek, misalnya, dengan jasa cabang itu bisa meminta kredit salllpai batas maksimum Rp 20 juta. Cabang di Jalan Thamrin sendiri akan jadi pusat pelayanan untuk nasabah-nasabah perusahaan. Melalui perbaikan seperti itu, Citibank yang di sini dikepalai Mehlimistri sebagai senior country officer - tampaknya ingin membuat betah para pemilik uang dan nasalah tetap loyal padanya. Kendati tingkat bunga deposito bank itu tidak tinggi, entah dengan daya tarik apa, Citibank bisa menggaruk rupiah dari situ sebesar Rp 136 milyar (September 1983), atau dua kali lipat posisi rekening korannya. Tapi keuntungan berjalan, sampai saat itu, diumumkan baru Rp 3 milyar, sedang pada 1982 laba sebelum pajak mencapai Rp 9 milyar. Sejak pertama kali datang di Jakarta, 1968, dengan nama mula-mula First National City Bank, lembaga keuangan dari AS itu memang sudah cukup banyak menangguk keuntungan. Secara terus terang, Walter B. Wriston, presiden direktur Citicorp, induk Citibank, mengungkapkan bahwa pada 1974 cabang Jakarta merupakan penyumbang laba terbesar. Pada tahun itu, kata Wriston kepada Anthony Sampson dalam buku The Mottey Lenders, 40% keuntungan perusahaan memang datang dari negara-negara berkembang. Keuntungan sebesar itu, tulis Sampson, hanya bisa diperoleh dengan menetapkan suku bunga kredit cukup tinggi dibandingkan dengan bunga rata-rata bank setempat. Dengan cara seperti itulah, tulis The New York Times Magazine, cabang Citibank di Brazil, misalnya, mampu memberikan keuntungan 20% dari seluruh penghasilan tahun 1982. Padahal, kekayaan yang ditempatkan di negeri berkembang itu hanya 4% dari seluruh kekayaannya yang US$ 130 milyar. Dalam kaitan itu, kalangan bankir yang cukup kagum pada kemampuan bank ini mengeduk laba menggelarmya sebagai "Fat City". Dengan pegawai berjumlah 59.000, dan 2.437 kantor cabang di 95 negara, Citibank dijuluki sebagai "raja uang" terbesar di dunia. Kolonel Samuel Osgooed, sahabat George Washington, tentu tak menyangka bahwa City Bank of New York, yang didirikannya pada 1812 di New York, sesudah melalui beberapa kali merjer bakal tumbuh demikian besar dan serba mutakhir organisasinya. Cabang-cabang utama bank ini, juga pelayanan pada nasabah, dihubungkan dengan suatu sistem komunikasi mahal. Dengan slogan The Citi Never Sleeps, hanya dengan komputer di rumahnya, seorang nasabah bisa memindahkan tabungannya atau berbelanja sesuatu tanpa pergi ke kantor bank itu. Pengaruh bank ini memang cukup besar. Ketika Ronald Reagan berkampanye untuk pemilihan presiden, Wriston diangkat sebagai anggota penasihat. Kini dia duduk sebagai ketua Badan Penasihat bagi Kebijaksanaan Ekonomi. "Kami bertemu empat sampai lima kali setahun. Biasanya presiden meluangkan waktu sekitar sejam sebelum akhirnya kami memutuskan suatu konsensus," kata Wriston. Tapi, dalam keadaan gawat, pertemuan dengan presiden tentu akan lebih sering.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini