JIKA tidak disebut berasal impor, hidangan daging steak di
restoran besar di Jakarta seakan-akan dianggap minder. Palin
akhir restoran di resident Hotel secara khusus menonjolkan segi
impor itu. Kenapa begitu?
Sukarno, petugas di restoran Oasis yang selalu berpakaian
lengkap, menjelaskan kepada Syarief Hidayat dari TEMPO begini:
"Habis, tamu selalu menanyakan lokal atau impor. Kalau dijawab
lokal, mereka terus pulang".
Gandy Steak House, kata manajer Yohan, memang bergantung juga
pada daging impor untuk memenuhi selera tamu sebagaimana halnya
dengan restoran besar lainnya. "Tapi itu adalah karena
persediaan daging lokal untuk steak masih kurang".
Untuk steak, biasanya disukai daging empuk dan lembut. Daging
lokal biasanya keras, hingga kurang cocok untuk dijadikan steak.
Tapi sekarang terdapat kemajuan orang Indonesia membuat daging
lokal supaya tidak kalah lembut, dengan cara memperbaiki mutu
hewan serta mempermoderen fasilitas pemotongan dan pemasaran.
Perbaikan mutu hewan, umpamanya kelihatan dari penyilangan
bibit, inseminasi dsb. Usaha peternakan besar - ranch -- sudah
muncul pula di lawa, Sulsel, Sumatera, NTB dan NTT, bahkan juga
di pulau Buru.
Milik Bulog
Dari ranch, di mana jenis unggul bisa dikembangkan, akan
dibangun orang pula khusus tempat hewan digemukkan sebelum ia
dibawa ke abattoir (rumah potong). Untuk memenuhi keperluan itu,
PT Tarakan Jaya Utama sedang membangun industri makanan ternak
di Pandaan, Jatim.
Adalah abattoir sesungguhnya yang mendesak minta ditingkatkan
dalam usaha mengimbangi daging impor. Sampai sekarang baru ada
tiga perusahaan - PT Surya di Surabaya, PT Bali Raya di Denpasar
dan PT Sampi Co Adhi di Tambun (Bekasi, Jabar) -- membuka rumah
potong yang dilengkapi alat pendingin. Ketiganya itu memenuhi
persyaratan sanitasi, bisa "melayukan" daging supaya empuk.
Proses "pelayuan" daging sesungguhnya sudah ada di zaman
Belanda. Umpamanya ini dijumpai di Rumah Pemotongan Hewan di
Jembatan Merah, Jakarta. Sesudah sapi dipotong di situ,
dagingnya digantung selama 24 jam pada suhu 10-15 derajat
Celcius, dan kemudian barulah boleh dibawa ke pasar. Ketika
rumah pemotongan Jembatan Merah tahun 1973 dipindahkan ke Pulo
Gadung, praktek pendingan itu terhenti. Sebagai pengganti, orang
memaka es untuk menyimpan daging. Akibatnya, daging tak empuk
dan tak pula tahan lama.
Perusahaan seperti PT Surya Jaya (usaha-patungan pemerintah
Surabaya dan DKI) dan PT Sampi Co Adhi (milik Bulog) bukan hanya
mencoba memperbaiki pemotongan hewan, melainKan juga cara
pemasaran dagingnya. Fasilitas pendinginan dan seleksi hewannya
demikian rupa hingga daging bekunya pun bisa cocok untuk steak.
Secara berangsur daging dari PT Sampi Co Adhi kini memasuki
hotel-hotel besar dan restoran. Sirloin atau T-bone steak yang
dihidangkan Oasis mungkin sekarang sudah ada yang berasal dari
Tambun. Kalau restoran kini menyebut dagingnya berasal impor
meskipun beku, agaknya boleh disangsikan.
PT Surya Jaya pernah mengeluarkan kwalitas daging yang bisa
diterima oleh perusahaan asing INCO di Soroako, pusat
pertambangan nikel. INCO biasanya mengimpor daging. Tapi
walaupun INCO masih mau membelinya dari Surabaya, Pemda Sulsel
berkeberatan, karena Sulsel juga punya banyak hewan.
Memang Sulsel berpotensi besar untuk mengembangkan ternak
potong, apalagi sudah ada ranch besar seperti di Maiwa (PT Bina
Mulya Ternak), Enrekang, Bila (PT United Livestock Services) dan
Sidrap. Tapi Sulsel masih belum memiliki abattoir yang modern,
sedang Pemda di Ujung Pandang belum bermaksud membikinnya. Kini
PT Sampi Co Adhi mempunyai rencana membangun abattoir di
Pare-pare, bertujuan melayani permintaan INCO (lk. 50.000 kg
daging sebulan) dan pusat pertambangan lainnya yang berdekatan.
Kini Tambun mempunyai kapasitas potong 75 ekor sehari, tapi
hanya bekerja 20%. Di Surabaya, PT Surya malah bekerja cuma 5%
dari seluruh kapasitas (350 ekor per hari) rumah potongnya.
Mereka tampaknya masih belum lancar membina pemasaran, walaupun
sudah memiliki fasilitas modern.
Maka PT SampiCo Adhi belakangan ini menawarkan pada siapa saja
berminat membuka toko daging. Sampai awalminggu ini ada 15
peminat di DKI yang bersedia menanam kapital antara Rp 8 juta
(toko daging kelas B) dan Rp 18 juta (kelas A). Ada kemungkinan
seluruh wilayah Jakarta tak lama lagi akan kebagian toko yang
menyalurkan daging beku dari Tambun.
Liwat PMA
Kepada wartawan TEMPO Yunus Kasim, Dirut PT SampiCo Adhi, Djaya
Gunawan, mengatakan pasar daging tradisionil tidak akan
dirugikan karenanya. "Di toko daging, harga lebih tinggi
10-15%", katanya. Memang konsumen gedongan yang ditujunya.
Karena diperlengkapi alat pendingin mulai dari rumah potong
sampai para penyalurnya, PT SampiCo Adhi kiranya akan dirasakan
sekali faedahnya bila lebaran sudah dekat. Harga dagingnya
mungkin bisa tetap stabil dan stocknya pun akan terjamin.
Setidaknya ia akan bisa meningkatkan derajat daging lokal,
meniadakan anggapan bahwa daging impor itu selalu lebih baik.
Biro Pusat Statistik mencatat Indonesia mengimpor daging beku
1163,6 ton pada tahun 1976, dibanding 614,4 ton pada tahun
sebelumnya. Diperkirakan ada 1000 ton lagi masuk tiap tahun
liwat fasilitas PMA yang tidak diketahui BPS, terutama untuk
pusat-pusat pertambangan yang terpencil letaknya.
Tapi kalau restoran sudah terbiasa pula dengan daging beku dari
abattoir lokal, mungkin sebagian konsumen akan kecewa. Manajer
Yohan dari Gandy Stea., House, umpamanya, berkata: "Cukup banyak
tamu Eropa menyukai daging lokal, karena lebih gurih rasanya".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini