Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Daging kita atau mereka ?

Restoran besar di jakarta agaknya tak perlu lagi menonjolkan daging impor. daging lokal ditingkatkan mutunya. fasilitas pemotongan dan pemasaran diperbaiki.

28 Mei 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JIKA tidak disebut berasal impor, hidangan daging steak di restoran besar di Jakarta seakan-akan dianggap minder. Palin akhir restoran di resident Hotel secara khusus menonjolkan segi impor itu. Kenapa begitu? Sukarno, petugas di restoran Oasis yang selalu berpakaian lengkap, menjelaskan kepada Syarief Hidayat dari TEMPO begini: "Habis, tamu selalu menanyakan lokal atau impor. Kalau dijawab lokal, mereka terus pulang". Gandy Steak House, kata manajer Yohan, memang bergantung juga pada daging impor untuk memenuhi selera tamu sebagaimana halnya dengan restoran besar lainnya. "Tapi itu adalah karena persediaan daging lokal untuk steak masih kurang". Untuk steak, biasanya disukai daging empuk dan lembut. Daging lokal biasanya keras, hingga kurang cocok untuk dijadikan steak. Tapi sekarang terdapat kemajuan orang Indonesia membuat daging lokal supaya tidak kalah lembut, dengan cara memperbaiki mutu hewan serta mempermoderen fasilitas pemotongan dan pemasaran. Perbaikan mutu hewan, umpamanya kelihatan dari penyilangan bibit, inseminasi dsb. Usaha peternakan besar - ranch -- sudah muncul pula di lawa, Sulsel, Sumatera, NTB dan NTT, bahkan juga di pulau Buru. Milik Bulog Dari ranch, di mana jenis unggul bisa dikembangkan, akan dibangun orang pula khusus tempat hewan digemukkan sebelum ia dibawa ke abattoir (rumah potong). Untuk memenuhi keperluan itu, PT Tarakan Jaya Utama sedang membangun industri makanan ternak di Pandaan, Jatim. Adalah abattoir sesungguhnya yang mendesak minta ditingkatkan dalam usaha mengimbangi daging impor. Sampai sekarang baru ada tiga perusahaan - PT Surya di Surabaya, PT Bali Raya di Denpasar dan PT Sampi Co Adhi di Tambun (Bekasi, Jabar) -- membuka rumah potong yang dilengkapi alat pendingin. Ketiganya itu memenuhi persyaratan sanitasi, bisa "melayukan" daging supaya empuk. Proses "pelayuan" daging sesungguhnya sudah ada di zaman Belanda. Umpamanya ini dijumpai di Rumah Pemotongan Hewan di Jembatan Merah, Jakarta. Sesudah sapi dipotong di situ, dagingnya digantung selama 24 jam pada suhu 10-15 derajat Celcius, dan kemudian barulah boleh dibawa ke pasar. Ketika rumah pemotongan Jembatan Merah tahun 1973 dipindahkan ke Pulo Gadung, praktek pendingan itu terhenti. Sebagai pengganti, orang memaka es untuk menyimpan daging. Akibatnya, daging tak empuk dan tak pula tahan lama. Perusahaan seperti PT Surya Jaya (usaha-patungan pemerintah Surabaya dan DKI) dan PT Sampi Co Adhi (milik Bulog) bukan hanya mencoba memperbaiki pemotongan hewan, melainKan juga cara pemasaran dagingnya. Fasilitas pendinginan dan seleksi hewannya demikian rupa hingga daging bekunya pun bisa cocok untuk steak. Secara berangsur daging dari PT Sampi Co Adhi kini memasuki hotel-hotel besar dan restoran. Sirloin atau T-bone steak yang dihidangkan Oasis mungkin sekarang sudah ada yang berasal dari Tambun. Kalau restoran kini menyebut dagingnya berasal impor meskipun beku, agaknya boleh disangsikan. PT Surya Jaya pernah mengeluarkan kwalitas daging yang bisa diterima oleh perusahaan asing INCO di Soroako, pusat pertambangan nikel. INCO biasanya mengimpor daging. Tapi walaupun INCO masih mau membelinya dari Surabaya, Pemda Sulsel berkeberatan, karena Sulsel juga punya banyak hewan. Memang Sulsel berpotensi besar untuk mengembangkan ternak potong, apalagi sudah ada ranch besar seperti di Maiwa (PT Bina Mulya Ternak), Enrekang, Bila (PT United Livestock Services) dan Sidrap. Tapi Sulsel masih belum memiliki abattoir yang modern, sedang Pemda di Ujung Pandang belum bermaksud membikinnya. Kini PT Sampi Co Adhi mempunyai rencana membangun abattoir di Pare-pare, bertujuan melayani permintaan INCO (lk. 50.000 kg daging sebulan) dan pusat pertambangan lainnya yang berdekatan. Kini Tambun mempunyai kapasitas potong 75 ekor sehari, tapi hanya bekerja 20%. Di Surabaya, PT Surya malah bekerja cuma 5% dari seluruh kapasitas (350 ekor per hari) rumah potongnya. Mereka tampaknya masih belum lancar membina pemasaran, walaupun sudah memiliki fasilitas modern. Maka PT SampiCo Adhi belakangan ini menawarkan pada siapa saja berminat membuka toko daging. Sampai awalminggu ini ada 15 peminat di DKI yang bersedia menanam kapital antara Rp 8 juta (toko daging kelas B) dan Rp 18 juta (kelas A). Ada kemungkinan seluruh wilayah Jakarta tak lama lagi akan kebagian toko yang menyalurkan daging beku dari Tambun. Liwat PMA Kepada wartawan TEMPO Yunus Kasim, Dirut PT SampiCo Adhi, Djaya Gunawan, mengatakan pasar daging tradisionil tidak akan dirugikan karenanya. "Di toko daging, harga lebih tinggi 10-15%", katanya. Memang konsumen gedongan yang ditujunya. Karena diperlengkapi alat pendingin mulai dari rumah potong sampai para penyalurnya, PT SampiCo Adhi kiranya akan dirasakan sekali faedahnya bila lebaran sudah dekat. Harga dagingnya mungkin bisa tetap stabil dan stocknya pun akan terjamin. Setidaknya ia akan bisa meningkatkan derajat daging lokal, meniadakan anggapan bahwa daging impor itu selalu lebih baik. Biro Pusat Statistik mencatat Indonesia mengimpor daging beku 1163,6 ton pada tahun 1976, dibanding 614,4 ton pada tahun sebelumnya. Diperkirakan ada 1000 ton lagi masuk tiap tahun liwat fasilitas PMA yang tidak diketahui BPS, terutama untuk pusat-pusat pertambangan yang terpencil letaknya. Tapi kalau restoran sudah terbiasa pula dengan daging beku dari abattoir lokal, mungkin sebagian konsumen akan kecewa. Manajer Yohan dari Gandy Stea., House, umpamanya, berkata: "Cukup banyak tamu Eropa menyukai daging lokal, karena lebih gurih rasanya".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus