Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Harga saham emiten tambang nikel melonjak seiring ramainya rencana investasi pengembangan baterai mobil listrik.
Modal utama bernama cadangan nikel.
Pebisnis tambang menuntut penerapan aturan tata niaga, juga regulasi turunan pengelolaan lingkungan.
MARAKNYA pemberitaan tentang mobil listrik mendorong Nafielah Mahmudah ikut memborong saham PT Aneka Tambang Tbk menjelang penutupan perdagangan, Desember 2020. “Sejauh ini akan dipertahankan sampai Tesla masuk,” kata perempuan 30 tahun yang berprofesi sebagai fotografer tersebut di Jakarta, Sabtu, 9 Januari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebulan terakhir, ramainya topik mobil listrik hampir menyamai intensitas berita tentang meningkatnya angka kasus Covid-19 dan rencana vaksinasi pemerintah. Pada 17 Desember 2020, pemerintah meluncurkan program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai yang realisasinya dipercepat sejak setahun sebelumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berselang sehari kemudian, kabar baru datang dari media massa di Korea Selatan. LG Energy Solution Ltd, anak usaha LG Group, disebut telah meneken nota kesepahaman rencana investasi senilai US$ 9,8 miliar atau sekitar Rp 142 triliun untuk pembangunan pabrik sel baterai kendaraan listrik di Indonesia.
Meski Badan Koordinasi Penanaman Modal baru mengumumkannya secara resmi pada Rabu, 30 Desember 2020, informasi tentang rencana investasi jumbo ini sudah cukup menjadi katalis bagi perdagangan Bursa Efek Indonesia. Apalagi proyek ini akan menggandeng MIND ID—merek dagang baru PT Indonesia Asahan Aluminium alias Inalum yang menjadi induk perusahaan tambang pelat merah, termasuk Aneka Tambang. Putra bungsu Presiden Joko Widodo pun ikut mencuit di akun Twitternya: “Hmmm $ANTM.”
Seperti Nafielah, investor mendadak sontak memburu saham perseroan yang memiliki portofolio tambang dan fasilitas pemurnian nikel—bahan baku baterai mobil listrik—tersebut. Kebetulan, pada saat yang sama, harga nikel di pasar berjangka London Metal Exchange sedang moncer menjelang awal tahun kerbau logam ini.
Reli panjang kenaikan saham Aneka Tambang (ANTM) dan dua anggota MIND ID lain, PT Timah Tbk (TINS) dan PT Vale Indonesia Tbk (INCO), berlanjut hingga pekan lalu. Hingga Jumat, 8 Januari lalu, ANTM mendominasi transaksi saham selama sepekan dengan nilai perdagangan mencapai Rp 13,88 triliun.
•••
PEMERINTAH sedang berambisi menjadikan Indonesia pemain utama industri mobil listrik di dunia. Tak hanya menggaet pabrik otomotif untuk membangun fasilitas produksi kendaraan, pemerintah juga menawarkan potensi investasi pengembangan baterai litium.
Sebelum LG Group, perusahaan asal Cina, Contemporary Amperex Technology Co Ltd (CATL), meneken pokok perjanjian proyek kerja sama rantai pasok industri baterai litium bersama Antam pada November 2020. Nilai investasinya mencapai US$ 5,1 miliar dan konstruksinya dijadwalkan bisa dimulai pada tahun ini.
Indonesia punya modal besar untuk memenuhi kebutuhan bahan baku produksi baterai yang menjadi komponen utama mobil listrik tersebut: cadangan nikel 21 juta ton, terbesar di dunia. Pada 2019, negara ini juga menjadi produsen bijih nikel terbesar di dunia sebanyak 800 ribu ton. Demi memenuhi kebutuhan kendaraan listrik dan penghiliran tambang, pemerintah melarang ekspor nikel mentah.
Besarnya potensi pengembangan baterai kendaraan listrik yang membuat bisnis tambang nikel menjadi potensi primadona masa depan. Bagi ANTM, yang memiliki portofolio cadangan bijih nikel sebesar 353,74 juta wet metric ton (WMT) dengan sumber daya 1,36 miliar WMT nikel, ini peluang besar untuk bisnis penghiliran tambang mereka. “Potensi cadangan dan sumber daya mineral nikel menjadi salah satu kekuatan pengembangan skala bisnis perusahaan melalui hilirisasi mineral nikel,” ujar Senior Vice President Corporate Secretary PT Aneka Tambang Tbk Kunto Hendrapawoko, Jumat, 8 Januari lalu.
Menurut Kunto, perseroan akan melanjutkan ekspansi tahun ini. Rencana itu mencakup menjalin kemitraan pengembangan produksi olahan baru dalam proyek-proyek penghiliran, baik berskala nasional maupun internasional. “Terutama mitra kerja yang memiliki akses terhadap teknologi, kapabilitas akses market, dan pendanaan untuk mengembangkan produksi mineral olahan baru dari cadangan yang dimiliki perusahaan,” kata Kunto. Selama ini, sejak kebijakan ekspor bijih nikel kadar rendah berakhir pada 2019, Antam memfokuskan produksi nikelnya sebagai umpan pabrik feronikel di Sulawesi Tenggara.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memaparkan, terdapat enam proyek pembangunan smelter nikel yang sedang berlangsung di Morowali Industrial Park, Sulawesi Tengah. Keenam proyek dengan teknologi high pressure acid leaching (HPAL) itu digarap oleh PT Halmahera Persada Legend, PT Adhikara Cipta Mulia, PT Smelter Nikel Indonesia, PT Vale Indonesia Tbk, PT Huayue Nickel Cobalt, dan PT QMB New Energy Materials.
Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Kementerian Energi Yunus Saefulhak mengatakan pembangunan smelter HPAL memerlukan kerja sama dengan investor asing. Sebab, dari sisi keekonomian, industri HPAL masuk kategori marginal. Penguasa teknologinya juga masih terbatas.
Dia menjamin rencana pemerintah memberikan kemudahan bagi industri kendaraan listrik, baik lewat fasilitas fiskal maupun nonfiskal, juga menjangkau sektor hulu pengolahan tambang. “Pemerintah di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi sedang menyiapkan regulasi untuk menciptakan ekosistem yang mendukung dari hulu sampai hilir,” tutur Yunus, Jumat, 8 Januari lalu.
•••
INVESTASI mobil listrik, terutama dalam pengembangan komponen baterai, tak hanya menjadi angin segar bagi perusahaan tambang milik negara. Penambang nikel swasta yang tergabung dalam Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) juga bersiap menangkap peluang besar ini.
Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey menuturkan, industri baterai listrik akan berjalan bila rantai pasok bahan bakunya lancar. Artinya, penghiliran produk tambang juga harus hidup. Penambang, dia menjelaskan, selalu melihat ada prospek cerah selama industri hilir ini berjalan.
Tapi, sebelum jauh ke sana, Meidy mengingatkan adanya persoalan yang perlu dituntaskan oleh pemerintah di sektor hilir industri tersebut. Dia mendesak pemerintah bertaji dalam mengimplementasikan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 11 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral Logam dan Batu Bara. Peraturan ini antara lain mengatur tata niaga dan harga nikel domestik.
Menurut dia, hingga saat ini masih ada transaksi jual-beli antara penambang dan smelter yang tak mengikuti harga patokan mineral. “Kami hanya meminta ada fairness, apakah smelter ini mau menerima harga sesuai dan pemerintah dapat mengawal transaksi dengan baik,” ucap Meidy, Jumat, 8 Januari lalu.
Di sisi lain, Chief Executive Officer PT Indonesia Morowali Industrial Park Alexander Barus menilai pemerintah perlu segera mengeluarkan aturan turunan dari Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai. Dengan begitu, program battery electric vehicle bisa menjamin keberlangsungan bisnis semua pelaku industri. “Kita perlu syarat kecukupan untuk membentuk budaya, kebiasaan infrastruktur, agar industri dalam negeri berkembang,” kata Alexander, Kamis, 7 Januari lalu.
Dia mencontohkan ihwal prinsip keberlanjutan dalam pengelolaan nikel. Dia menilai perlu ada optimasi jumlah nikel yang dapat diambil setiap tahun agar potensi besar ini tak hanya dimanfaatkan untuk kepentingan industri jangka pendek, tapi juga mempertimbangkan kebutuhan generasi mendatang.
Begitu pula dalam hal jaminan aktivitas penghiliran tambang yang ramah lingkungan. Saat ini telah banyak muncul keresahan mengenai pembuangan akhir (tailing) pencucian asam tingkat tinggi atau HPAL. Ada juga kekhawatiran tentang limbah baterai litium yang punya usia penggunaan terbatas. Adanya penetapan syarat kecukupan tailing semestinya bisa mencegah kerusakan lingkungan.
Menurut dia, belum adanya rumusan aturan turunan semacam itu sempat menghambat proses pembangunan empat pabrik katoda nikel kobalt dan satu pabrik daur ulang baterai litium di Morowali. Nilai investasi kelima proyek tersebut mencapai US$ 3 miliar. “Untuk bisa jadi pemain utama, harus melakukan pekerjaan rumah dengan baik. Bolanya sekarang ada di pemerintah,” ujar Alexander.
Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Kementerian Energi Yunus Saefulhak menyatakan pemerintah sedang mengkaji rumusan regulasi yang sesuai dengan standar internasional. “Industri baterai yang akan dibangun di Indonesia diharapkan dapat memenuhi standar internasional, khususnya untuk clean energy."
AISHA SHAIDRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo