BILA Anda sarapan roti dan makan malam dengan mi, mungkin Anda tak teringat Liem Sioe Liong. Memang, sambil mengunyah, banyak yang lupa: tepung terigu yang mengganjal perut Indonesia itu datang dari PT Bogasari Flour Mills (BFM), yang didirikan pengusaha besar Liem dan mulai berproduksi di akhir 1971. Praktis tanpa saingan, ia memasok 85% kebutuhan dalam negeri. Peringatan dua windunya, yang Ahad lalu dirayakan di Balai Sidang, Jakarta, menandai kejayaan pabrik ini, yang dinyatakan oleh manajemennya sendiri sebagai yang terbesar di dunia. Pabriknya terbentang di Cilincing, kawasan Kalibaru, Jakarta Utara, dan nampak menjulang seperti kastil modern bila dilihat dari Teluk Jakarta. Kapasitas terpasangnya bisa mengolah 5.500 ton biji gandum sehari. Selain itu, di Surabaya pun BFM punya pabrik, di atas tanah sekitar 7 hektar, yang berkapasitas 3.500 ton. Diresmikan oleh Presiden Soeharto 16 tahun yang silam, BFM memang diharapkan menyediakan jenis makanan lain bagi perut Indonesia, agar tak bergantung pada beras, yang waktu itu -- di zaman pra-swasembada -- secara besar-besaran diimpor. Kini pabrik Liem Sioe Liong itu tak hanya menghasilkan terigu, tapi juga tepung industri, yang bila dicampur dengan formaldehida. Jadi bahan perekat industri kayu lapis. Tiap hari bisa membuat 200 ton, cukup untuk memenuhi industri kayu lapis yang 6.000 ton per bulan. Tapi toh BFM baru bekerja dengan sekitar 70% kapasitasnya. Juga kini masa puncak sudah lewat, rupanya. Puncaknya terjadi pada 1984: tahun itu produksi mencapai lebih dari sejuta ton tepung terigu. Bukan berarti kini mundur. Tahun lalu, misalnya, BFM memproduksi 954,6 ribu ton, meningkat dari 836,5 ribu ton di tahun sebelumnya. Tapi pasaran dalam negeri memang sudah terbatas. "Sebenarnya, kami ingin mengekspor juga," kata Piet Yap, manajer umum BFM. Tetapi mustahil. Sebab, menurut Yap, sebagian impor biji gandum yang dipakai kini masih menikmati pinjaman lunak dari AS. Dan selama begitu, menurut perjanjian, BFM tak boleh mengekspor. Yang sekarang ini dieskpornya hanya produk sampingan tepung terigu, yang disebut bran dan pollard, yang bisa dipakai untuk makanan ternak. Dalam tiga tahun terakhir ini, produk sampingan itu mencapai sekitar 350 ribu ton per tahun, dan 65% diekspor. Dengan itu, BFM memperoleh sekitar 12 juta dolar setahunnya. Posisinya yang tanpa saingan di Indonesia memang menguntungkan, tapi tak serba mulus. Setidaknya menurut Peter Yap. Misalnya sehabis devaluasi rupiah tahun lalu. Dengan unsur impor yang besar, biaya produksi pun naik. "Kami rugi, karena Bulog tidak menaikkan harga jual terigu," kata Yap, tanpa merinci kerugian itu. Sebagai bahan pangan, harga jual tepung terigu memang diatur Bulog. Bulog pula yang mengatur distribusinya, di samping impor biji gandumnya yang umumnya dari AS, Kanada, dan Australia. Namun, BFM bukannya tak dapat kue dari impor itu. Pengapalan impor Bulog memakai armada milik BFM. Ada tiga kapal untuk pabrik di Jakarta dan Surabaya, yang ketiganya bisa mengangkut sekitar 100 ribu ton -- dan bisa langsung menuju darmaga BFM sendiri, di Jakarta maupun Surabaya, tanpa melalui pelabuhan bongkar muat di Tanjungpriok maupun Tanjungperak. Bidang terigu di Indonesia memang masih tetap bidang yang dapat perlakuan khusus. Belum ada usahawan lain yang masuk ke sini. Pabrik terigu lain di Indonesia ada juga, milik PT Berdikari di Ujungpandang, yang komisaris utamanya Bustanil Arifin, Menteri Koperasi yang merangkap Kepala Bulog itu. Pasaran utamanya Indonesia Timur. Tapi pabrik ini, seperti dikatakan Piet Yap, sampai sekarang masih dapat bantuan manajemen teknis dari BFM. Suhardjo Hs.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini